Surat Cinta terakhir.
Kutujukan kepada seseorang yang daripadanyalah segala inspirasi bermuara. Kepada orang yang sebenarnya akan kudedikasikan tulisan awalku padanya, namun akhirnya kujadikan ia penutup yang indah di surat terakhir ini, agar segala cerita dapat mengalir lancar di hari- hari akhir dan saya melunaskan segala kata yang tak terucap kemudian di surat ini, surat hari terakhir.
Hai kamu, sudah lebih sehat kan sekarang? Terserah kau mau memberitahuku sedang sakit atau tidak, tapi nyatanya saya tahu dan selalu tahu kondisimu.
Ketika saya memandangmu lagi untuk pertama kalinya-setelah pertemuan terakhir kita bertahun yang lalu- saya merasa demikian akrabnya saat menatap matamu. Kamu tahu, yang paling saya sukai dari wajahmu adalah matamu, mata yang selalu menampakkan sisi kekanakan darimu, namun pernah suatu kali saya melihat kekesalan yang tebal menutupi pandanganmu. Amarah pun pernah sekali muncul di mata itu, dan sejak saat itu saya brharap tak akan pernah melihat pemandangan itu lagi di matamu, karena terlalu menyeramkan untuk dapat kupandang.Tapi mata itu indah sekali, sudah pernahkah kusampaikan hal itu padamu sebelumnya?
Kuakui memang sulit saat harus bertemu lagi dengan sosokmu yang telah sekian lama menjadi sosok yang asing bagiku. Setelah waktu berjalan dengan caranya sendiri, rupanya kau pun berubah. Sulit bagiku untuk dapat bertemu denganmu, pikiranku selalu dipenuhi tanya. Seperti apa rupamu kini, masih samakah suara renyah tawamu, apakah kau bahagia dengan hidupmu sekarang, bagaimana saya akan memulai percakapan denganmu, mampukah saya menatap matamu dan berkata: ”SAYA MERINDUKANMU”, dan banyak pertanyaan lainnya yang menggelayut di pikiranku.
Akhirnya saya putuskan untuk mengabaikan semua keributan kecil di hatiku, kuputuskan untuk maju, bertemu denganmu, apapun yang akan terjadi, bagaimanapun reaksimu, dan entah bagaimana nantinya pertemuan perdana kita setelah lama tak bertemu.
Dan sungguh, ketika saya melihat sosok tubuhmu, bahkan saya belum melihat wajahmu, saya rasa saya tak mampu berjalan tegak. “Jangan senyum padaku, lututku akan lemah” ujarku dalam hati. Dan disanalah kau duduk, dengan santainya, pakaianmu santai malah menurutku terlalu santai karena,asal-kau-tahu-saja, untuk saat itu sebelum saya bertemu denganmu disana, segala macam hal hingga hal terdetil kupilihkan untuk melihatmu lagi, tapi rupanya kau malah muncul dengan gaya cuekmu. Tapi akhirnya hari itu, kita mampu melewatinya hingga batas akhir hari, asyik bertukar cerita tentang apa yang telah kita lewatkan dari hidup masing- masing. Dan hari pun berlalu begitu saja, meski sejak saat itu kekakuan yang ada bisa melebur sedikit, namun masih tetap seperti ada tirai tipis yang membuat kita tak bisa tertawa lepas layaknya dulu. Ah tapi apalah arti ‘dulu’ itu, jangan- jangan hanya saya yang memiliki kata ‘dulu’ dimana ‘dulu itu adalah kau bersama saya’.
Tapi ya nampaknya kini kau telah berubah menjadi sesosok orang yang berbeda dengan yang pernah kukenal. Saya tak pernah menyalahkan hal itu, toh nyatanya ketika waktu berjalan semua hal yang ada di bawah kuasanya mau tak mau harus berubah.
Sejauh ini, entah kau menyimak apa saja yang kutuliskan atau tidak, tapi saya yakin kau tahu sejauh mana saya mencampurkan fiksi ke dalam cerita-cerita yang mungkin pernah begitu kau kenal dulu, karena itu semua cerita tentangmu. Atau mari bertaruh, kau sekarang tak sepeka itu lagi menyimak apa saja yang kututurkan kembali tentangmu. Tapi begitulah adanya, ketika hingga saat ini sekalipun saya masih menganggapmu sebagai sebuah kisah yang tak akan pernah usang dimakan waktu.
Kamu, Sang inspirator yang dulu pernah rutin kusebut namanya dalam doa. Kupinta yang terbaik untuk terjadi padamu. Tapi kini tak lagi, saya belajar untuk bisa perlahan melupakan namamu, mulai mencoba tak menyebutnya atau tak mengingatnya lagi sekalipun dalam doa. Sekali waktu kau pernah keheranan mengapa saya seperti selalu ada jalan keluar untuk setiap masalahmu? Tidakkah kau mengetahui bahwa saya memang selalu ingin memberikan yang terbaik bagimu, ketika kau punya masalah maka saya dengan sekuat apapun berusaha mencari apa yang kau butuhkan.
Surat terakhir ini menjadi semacam rangkuman atas apa yang telah terjadi selama ini. Setelah semua rupanya tak sama lagi seperti yang dulu, maka saya sadar selama ini masih terjebak pada suatu persoalan klise dan akhirnya saya memutuskan untuk kembali bergerak, berjalan mencari arah tujuan yang lain.
Ketika kukirim surat ini padamu pun, saya yakin kamu pasti masih bisa mendeteksi seberapa banyak fiksi yang kutuangkan dalam tulisan ini. Kamu tahu saya penggemar kata- kata indah, maka terkadang saya tak enggan mencampurkan sesuatu yang indah ke dalam ramuan yang kubuat, maka tetaplah membaca tulisan ini. Karena sesungguhnya saya hanya ingin kau mengetahui satu hal: semua tulisanku ini bercerita tentangmu. Bolehkah kelak saya kembali menulis dan menceritakan kisah-kisahmu lagi? Terima kasih karena dengan sedemikian rupa, cerita tentangmu menjadi indah. Terima kasih karena kehadiranmu telah pernah menghias hari-hari dengan indahnya. Terima kasih untuk segala inspirasi yang sempat kau berikan.
Sekian dulu surat terakhir ini. Saya khawatir jika semakin panjang kisah ini kutuliskan maka akan ada pula kesan dan sikap yang berubah. Maka tetaplah kau disana, jangan pernah sekalipun berubah menjadi orang yang lain lagi. Dan saya disini selalu ada untuk menjadi teman terbaikmu.
Salam hangat,
Saya.
Terima kasih.
Oleh: @hannaahan
Diambil dari: http://hannasiahaan.blogspot.com