Dear Papa,
Dengan segala pertimbangan, kuberanikan diri untuk mengirim surat ini kepadamu. Semoga, di sela-sela kesibukanmu, kau bisa menyempatkan diri untuk membaca suratku ini. Meskipun kau hanya membuka surat ini tanpa berniat membacanya, setidaknya kau tahu bahwa email ini datang dari putrimu, putri sulungmu.19 January 2012, you getting older, Dad. 47 years old. Wow, happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday happy birthday happy birthday to you! Hope all your wish will come true! And I hope all the best thing will come to you. Sorry if this letter comes too late, but I hope you will happy when this letter arrive.
Well, apa kabar Pa? Kami semua baik-baik saja disini. I try to phoned you, karena aku punya banyak hal yang ingin kubagi denganmu, Pa. But, everytime I called you, you never answered it, I believe that you didn’t mean to do it, I know that you are so busy. I always think that you are the best I ever had.
Seperempat otakku masih tidak bisa menerima kenyataan, Pa. Kenyataan kalau sekarang kau tinggal entah dimana dan aku hanya bisa berkomunikasi denganmu via e-mail. Kenyataan bahwa kau tidak lagi menjadi bagian dari kami dan kau sudah memiliki kehidupan baru dengan seseorang.
Why you’d have to go, Dad? Did you ever love me?
Kalau Papa masih menyayangi kami semua, kenapa harus pergi? Kenapa harus meninggalkan kami?
Papa ingat baju-baju tua dan polo shirt yang tak sempat kau bawa itu? Nah, setiap hari aku memakainya. Agak kebesaran sih, tapi aku suka. Setiap aku memakainya, aku merasa nyaman. Aku merasa hangat. Harum tubuh Papa seperti melekat kuat dalam semua baju itu. Dan aku sering menghirupnya dalam-dalam hingga dada-ku sesak, agar aroma tubuhmu tidak hilang. Terekam terus di memoriku. Aku merasa seperti Papa sedang memelukku dengan erat.
Kau tahu? Setiap malam aku memimpikanmu, Pa. Seseorang yang tetap menjadi yang terhebat. Seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidup kami. Seseorang yang masih kuanggap sebagai pahlawan, meski kau bukan lagi pahlawanku. Kau sudah menjadi seseorang yang hebat bagi orang lain. Dan itu bukan, kami.
Aku sayang Papa. Seseorang yang selalu menguatkanku untuk bangkit sekalipun aku berada dalam keadaan sangat terpuruk. Seseorang yang selalu memberikan mantra mujarab untuk tetap tegar apapun yang terjadi. Seseorang yang rela bekerja siang malam demi kelangsungan hidup kami. Seseorang yang berani berkorban demi keselamatan kami semua.
Kami masih membutuhkanmu, Pa. Kami masih butuh kasih sayangmu. Aku sering melihat Mama menahan tangis, saat Ara bertanya kemanakah dirimu. Mama berusaha mati-matian menjelaskannya pada Ara sambil menggigit bibir. Kasian Ara. Semenjak dia lahir, di belum pernah melihat wajah bersahajamu, Pa. Dia belum pernah merasakan telapak tanganmu yang kasar namun hangat, mengelus pipinya yang mungil. Dia bahkan tak mengenalmu.
Pa, maukah kau kembali? Atau paling tidak, maukah kau membalas suratku, untuk memberi tahu kami bahwa kau dalam keadaan sehat sentosa dan bahagia? Kami sangat menantikanmu, Pa. Pintu rumah ini masih terbuka lebar untukmu bila suatu saat kau memutuskan untuk kembali.
Sore hari ini, aku dan Mama duduk berdua di meja makan. Mengamati fotomu, Pa. Kuhapalkan lekuk wajahmu, rahangmu yang persegi, kumis tipis yang tumbuh di atas bibirmu, juga matamu yang menyorotkan kecerdasan. Aku berusaha merekam semua itu dalam benak, agar bayanganmu tidak hilang. Mama-pun begitu. Lama kita menghabiskan waktu dengan berdiam diri seperti ini sampai akhirnya Ara bangun dari tidur lelapnya, menangis dan kami berdua tersadar dari lamunan. Mama tergopoh-gopoh menuju kamar dan aku berlari menuju dapur untuk membuatkan susu Ara.
Sore ini, hari hujan. Kami bertiga duduk di teras. Memperhatikan buliran-buliran air bening yang menyerpih menjadi titik-titik hujan. Memandangi air yang terus turun dengan kecepatan konstan. Mengingat dirimu yang selalu menyukai hujan. Menghirup aroma tanah yang diguyur hujan. Menciumkah kau bau yang sama? Sore ini, cuaca cukup dingin dan kami bertiga saling menghangatkan. Bagaimana dengan kau? Apakah Papa merasakan hawa dingin ini juga?
Kami kangen. Bagaimana dengan Papa?
Salam hangat,
Putri sulungmu yang suka berimajinasi
N.B :Aku akan mengirim foto kami bertiga. Semoga setelah melihat foto ini, kenangan tentang kami dalam memorimu kembali terkuak bagaikan film pendek yang diputar. Yang berambut panjang itu aku, putrimu yang sudah berevolusi menjadi remaja anggun.
oleh: @punyatari
diambil dari: http://pujiekalestari.wordpress.com
surat ini bikin pengen nangis.jadi inget Papa aku juga yang ada diluar kota,jarang ketemu.hiks,,miss my Dad so much..
ReplyDeletetoo sweet for a bitter thing :'(
ReplyDelete