Hai sesuatu yang selalu aku sebut sahabat, apa kabarmu hari ini? Tidak pernah aku kira, kita yang tinggal berdekatan dan dulunya selalu menghabiskan waktu bersama ini sudah lama sekali tidak saling tegur dan sapa. Jujur bukannya aku sudah tidak memikirkan kamu lagi, bukannya aku tidak ingat atas setiap pembicaraan yang selalu kita habiskan bersama berjam-jam. Justru aku kangen kita saling berbicara bersama membahas mulai dari rindu, cinta, konspirasi, sampai dengan kiamat. Tapi aku masih takut untuk memulai pembicaraan semenjak kejadian itu dulu.
Masih marahkah kamu kepada aku? Masih bencikah kamu atas apa yang telah aku perbuat kepadamu, kepada kita dulu? Atau kamu masih marah kepada Tuhan yang telah mengutukmu, mengutuk kita atas segala perbuatan yang kita lakukan dahulu? Kalau saja kamu mau mendengarku sejenak, sebenarnya Tuhan tidak mengutuk kita, Tuhan justru memberikan jalan yang terbaik untuk dia, maupun untuk kita.
Bukankah kamu yang dulu selalu mengajarkanku tentang arti ikhlas? Mengajariku cara mencari arti dari segala keputusan yang Tuhan berikan kepada hamba-hambanya? Mengapa sampai hari ini justru kamu yang malah sulit untuk mengikhlaskan kejadian itu? Iya aku tau, kamu sakit karena sebelumnya belum pernah ada seseorang yang begitu berani menyakitimu, terlebih orang itu adalah orang yang sangat kamu sayangi.
Aku tau kita memang tidak selalu sejalan, bahkan kita sering bertengkar. Tapi itulah yang membuat kita berbeda, itulah yang justru membuat kita dekat, membuat kita sering berdiskusi, membicarakan segalanya. Lantas mengapa semenjak kejadian itu kamu diam membisu? Tertidur dalam waktu yang lama, berpura-pura seakan-akan kamu sudah mati. Tidakkah kamu memikirkan keadaanku saat kamu tinggalkan? Tidakkah kamu lihat apa yang terjadi padaku semenjak kamu pergi? Sepi, sendiri…
Kini sudah 3 tahun berlalu semenjak kejadian itu, dan kamu masih saja tidak mau berbicara lagi kepadaku. Apa kiranya yang harus aku lakukan agar kamu mau kembali berbicara denganku?
Ketika, waktu tlah menciptakan cerita tentang kita
Mestinya, semua indah kini yang terasa
Sejujurnya kadang akupun tak mengerti, peran apa yang kita jalani
Seindahnya dunia ini takkan seindah bila kumilikimu dan kumilikmu
Bila memang bukan kita yang tentukan kemana arah cinta ini kan membawa
Berikanlah aku, satu jalanMu Tuhan
Agar aku mengerti apa yang kita jalani, kini…
Bilakah waktu tlah menentukan saatnya
Saat-saat untuk bersama, saat-saat kita jelang bahagia
Percayalah sayang bukan aku tak sayang, bila cinta tak mampu bertahan
Seindahnya cinta ini takkan seindah bila kumilikimu dan kumilikmu
Bila memang bukan kita yang tentukan kemana arah cinta ini kan membawa
Berikanlah aku, satu jalanMu Tuhan
Agar aku mengerti apa yang kita jalani
Tetaplah tersenyum, yakinlah waktu kan tentukan saatnya
Aku dengan mu…
Maliq & D’Essential – Dan Ketika
Sekarang dengarkan baik-baik lagu itu dan coba kau ingat ketika kita sama-sama menangis mendengar dan meresapi lirik lagu tersebut. Membuat kita seolah-olah saling berpelukan dan melebur jadi satu oleh lagu. Lalu kemudian lagu itu menjadi ‘kado’ terakhir yang dia berikan kepada kita, sebuah tanda perpisahan antara dia dan kita. Perpisahan yang terjadi karena aku dengan kesombonganku justru memaksamu untuk diam dan tidak menyadari ada yang salah dengan kita. Membuat dia pergi dengan laki-laki lain yang lebih mengerti dan lebih mencintai dia dibandingkan kita.
Sekali lagi maaf. Maaf apabila kesombonganku membuat kita ditinggalkan oleh wanita yang saat itu kita beri gelar ‘calon istri’. Maaf apabila aku terlalu membiarkanmu larut dalam kesedihan hingga bertahun-tahun. Maaf bila aku tidak mampu menyapamu langsung, melainkan melalui surat ini. Lagi-lagi aku menyalahkan kesombonganku yang membuat aku menjadi lemah seperti ini.
Aku tau kamu mendengarku. Aku tau kamu akan membaca surat ini. Dan aku tau kamu belum mati. Aku tau kamu hanya terlalu berhati-hati, Hati.
Surat untuk: Hati. Sebuah sanubari yang hampir mati.
Surat dari: Logika. Sahabat yang merindukan sentuhan dari Hati
oleh: @SutradaraTop
diambil dari: http://tukangbikinfilm.wordpress.com
No comments:
Post a Comment