Dear Irfan,( @iphankdewe )
Menjelang pagi pecah segala sesuatu terasa damai. Selalu begitu setiap hari. Itulah mengapa saya memilih menulis surat ini sebelum jendela kamar saya dikecup cahaya. Pada saat yang sama, di sana, dari pucuk Bukit Malintang, matahari sudah bercermin di Teluk Ambon. Kamu barangkali masih lelap memimpikan kekasihmu ditemani lagu-lagu Iwan Fals dan mata lampu belajar bertudung merah yang selalu tunduk mengamati kacamatamu. Mereka selalu sengaja kamu biarkan terjaga, menjaga tidur kamu yang sesekali mengigau memanggil nama kekasihmu di Jakarta.
Sejak mengenal kamu, setiap kali saya menulis kata ‘damai’, saya mengingat Ambon dan kamu. Kata itu barangkali sudah jutaan kali mengendarai lidah dan mimpimu. Dari keresahan yang tidak mampu kamu sembunyikan, kamu selalu terlihat bersemangat ketika menceritakan mimpi ingin melihat Ambon betul-betul damai. Kamu ingin tersenyum melihat Ambon jadi kota yang aman dan nyaman bagi para penghuninya. Kamu lelah melihat Ambon sebagai kota yang warganya sering diserang rasa takut dan saling curiga.
Kemarin ketika membaca tulisan terbaru di blog kamu, saya ingat cerita kamu tentang masa ketika orang-orang di Ambon harus mengungsi karena kekacauan yang kamu tidak mengerti hulunya. Saya ingat suatu sore kita minum kopi dan ibumu berkaca-kaca mengenang masa itu. Segala hal bisa begitu menyedihkan dan menggelikan pada saat yang sama.
Saya tidak tahu persis apa yang saya rasakan ketika melihat kamu dan ibumu tertawa sambil bercerita. Tidak, kalian tidak menertawakan masa lalu. Kalian menertawakan masa sekarang yang tidak pernah terlalu jauh beranjak dari peristiwa 13 tahun lalu itu. Waktu itu kamu bocah berusia 11 tahun yang harus menerima keadaan sejumlah teman kamu tinggal di barak pengungsian yang sengaja diletakkan jauh dari barak pengungsian tempat kamu. Karena mereka berbeda agama, katamu. Entah karena apa, cerita kamu itu selalu membuat saya salah mengeja Natsepa jadi nestapa.
Ngomong-ngomong soal Natsepa, saya ingin sekali lagi ke sana menikmati rujak sambil menyaksikan matahari sore jatuh. Sebagai tempat wisata, sejujurnya saya tidak begitu menyukai Pantai Natsepa. Saya menikmati sore itu ketika berada di sana lebih karena kamu selalu mampu menghadirkan banyak cerita mengenai semua tempat yang kamu tunjukkan kepada saya. Saya pemulung cerita yang rakus dan teman bicara yang terlalu banyak bertanya.
Hari ini, Irfan, tanggal dimerahkan karena perayaan Tahun Baru Imlek. Saya mengingat daerah dengan nama paling puitis di Ambon. Air Mata Cina. Saya ingat, kamu tertawa heran ketika saya mengatakan betapa puitis nama daerah yang sering ditandangi kekacauan kecil dan dibesar-besarkan televisi di Jakarta sana. Saya masih berhutang menulis puisi tentang Air Mata Cina.
Saya belum menceritakan kepadamu perihal sejumlah cerita pendek yang masih butuh disunting di komputer saya tentang nama-nama tempat yang puitis di Ambon. Saya menulis cerita rekaan tentang Kuda Mati, Gunung Nona, dan Topi Capeo. Saya juga punya cerita tentang Tanjung Martha-Alfonso yang selalu kamu sebut sebagai Tanjung Jihad sambil tertawa. Kelak kamu akan membaca juga cerita dan puisi saya yang menyebut-nyebut Sungai Kuning, Kebun Cengkeh, Negeri Soya, Sibu-Sibu, dan kafe sudut yang pelayannya ramah tapi melarang pengunjungnya merokok. Nama kafe itu saya pikir terlalu asing bagi orang-beta. The Street Fish & Chips. Meskipun begitu saya suka Combo Fries bikinan kafe itu.
Ada beberapa hal yang akan membuat saya kembali ke Ambon, Irfan. Setelah nyaris menghabiskan Desember sepenuhnya di sana, saya merasa bersalah tidak pernah sempat membaca puisi seperti yang saya janjikan. Kamu tidak pernah berhasil menemani saya mengunjungi Taman Australia, tempat yang selalu kamu ceritakan dan kita lewati nyaris setiap malam saat pulang ke rumahmu. Saya juga ingin sekali mengulang menyaksikan Malam Natal ketika langit Ambon mandi kembang api. Tentu saja, saya merindukan juga masakan ibumu yang pemalu—dan perbincangan ayah dan tetanggamu yang selalu mengingatkan kita pada sandiwara radio.
Sebelum mengakhiri surat ini, saya ingin mengatakan bahwa candaan kamu menyebut saya pulang kampung ke Ambon itu sering membuat saya tersenyum di Makassar, kota yang kadang menyebalkan ini. Terima kasih telah mengenalkan saya kepada kota yang membuat saya tidak mampu menolak merindukannya.
Satu lagi, saya suka diam-diam mengunjungi blog yang kamu rahasiakan itu, tempat kamu menyimpan puisi-puisi kamu. Di sana, saya seperti duduk berbincang bersama kamu di hadapan jendela yang berisi langit yang tidak mudah ditebak kehendaknya.
Barangkali kamu sudah bangun. Saya harus berhenti menulis dan menemani kamu minum teh. Selamat pagi, Saudara.
Makassar, 23 Januari 2012
- Aan
p.s. Sampaikan salam saya kepada teman-temanmu, ibu-ibu penjual nasi kuning dan para tukang becak itu. Sampaikan juga hormat dan rindu saya kepada teman-teman yang sering mentraktir saya makan dan menemani kita ngobrol di The Street.
Oleh: @hurufkecil
Diambil dari: http://hurufkecil.wordpress.com
No comments:
Post a Comment