Di surat ini, aku hanya ingin bercerita kepadamu tentang apa yang terjadi pada hari ini empat tahun yang lalu ketika kau pergi meninggalkanku. Mungkin saja kau belum tahu.
Kejadiannya bertepatan dengan Ujian Akhir Semester di kampusku, mata kuliah Pengantar Sosiologi. Sore, sekitar waktu sholat Ashar.
Semenjak pagi, entah mengapa perasaanku memang sudah runyam, seolah diliputi kabut kesedihan. Berbagai macam hal berkelebatan, berbagai kesimpulan kutarik, berbagai spekulasi tentang dirimu.
Aku bukannya tidak merelakan bila memang pada akhirnya kau harus pergi, aku hanya takut bila kau pergi dengan tidak membawa rasa bahagia pernah memilikiku. Aku takut kau tidak rindu padaku nanti. Aku takut, sangat takut.
Di ruang ujian, kuisi lembar jawaban seadanya, secepatnya, sekitar 15 menit kemudian kukumpulkan segera ke meja pengawas. Sekilas aku melihat ia mengerutkan dahi dan memicingkan mata tanda meragukanku, aku tak perduli. Segera kumenuju luar untuk menghubungi, mencari tahu kabarmu.
Sialnya, ternyata saldo pulsaku tak mencukupi untuk melakukan panggilan. Sementara itu, aku seorang diri diluar, tak ada yang kukenal, maklum mahasiswa semester awal. Terpaksa kutunggu yang lain keluar ruang ujian, “mungkin aku bisa meminjam telepon genggam mereka.” Ujarku dalam hati.
Kunyalakan sebatang rokok, sekedar usahaku untuk menenangkan pikiran, sejenak kuresapi proses pertukaran udara perlahan-lahan, aku mencoba menuju damai. Meski memang pada saat itu rasanya sungguh sulit untuk merasa damai meski sedetik, karena kepalaku sudah dipenuhi olehmu.
Beberapa teman yang sudah selesai ujian dan keluar ruangan datang menghampiri coba menghiburku, aku sendiri hanya bisa tersenyum simpul.
Tak lama kemudian telepon genggamku berdering. Anehnya, tanganku langsung gemetar saat melihat nama yang keluar di layar. Tubuhku pun setengah bergetar saat menekan tombol menjawab panggilan. Benar saja, belum sempat aku berucap sepatah kata salam, langsung ada suara yang berbicara seolah hendak memotong pembicaraan.
Dan sayang sekali, itu bukan suaramu..
Itu suara Mpok Iyuk, yang berbicara sambil menahan tangis diujung telepon sana. Dengan intonasi penuh wibawa seorang kakak tertua yang mencoba tegar dihadapan adiknya yang paling bungsu, ia berkata..
“Patan, Emak udah gak ada, tan.. Emak meninggal..”
22 Januari 2008, sore menuju senja.
oleh: @todjon
diambil dari: http://todjon.tumblr.com
Kejadiannya bertepatan dengan Ujian Akhir Semester di kampusku, mata kuliah Pengantar Sosiologi. Sore, sekitar waktu sholat Ashar.
Semenjak pagi, entah mengapa perasaanku memang sudah runyam, seolah diliputi kabut kesedihan. Berbagai macam hal berkelebatan, berbagai kesimpulan kutarik, berbagai spekulasi tentang dirimu.
Aku bukannya tidak merelakan bila memang pada akhirnya kau harus pergi, aku hanya takut bila kau pergi dengan tidak membawa rasa bahagia pernah memilikiku. Aku takut kau tidak rindu padaku nanti. Aku takut, sangat takut.
Di ruang ujian, kuisi lembar jawaban seadanya, secepatnya, sekitar 15 menit kemudian kukumpulkan segera ke meja pengawas. Sekilas aku melihat ia mengerutkan dahi dan memicingkan mata tanda meragukanku, aku tak perduli. Segera kumenuju luar untuk menghubungi, mencari tahu kabarmu.
Sialnya, ternyata saldo pulsaku tak mencukupi untuk melakukan panggilan. Sementara itu, aku seorang diri diluar, tak ada yang kukenal, maklum mahasiswa semester awal. Terpaksa kutunggu yang lain keluar ruang ujian, “mungkin aku bisa meminjam telepon genggam mereka.” Ujarku dalam hati.
Kunyalakan sebatang rokok, sekedar usahaku untuk menenangkan pikiran, sejenak kuresapi proses pertukaran udara perlahan-lahan, aku mencoba menuju damai. Meski memang pada saat itu rasanya sungguh sulit untuk merasa damai meski sedetik, karena kepalaku sudah dipenuhi olehmu.
Beberapa teman yang sudah selesai ujian dan keluar ruangan datang menghampiri coba menghiburku, aku sendiri hanya bisa tersenyum simpul.
Tak lama kemudian telepon genggamku berdering. Anehnya, tanganku langsung gemetar saat melihat nama yang keluar di layar. Tubuhku pun setengah bergetar saat menekan tombol menjawab panggilan. Benar saja, belum sempat aku berucap sepatah kata salam, langsung ada suara yang berbicara seolah hendak memotong pembicaraan.
Dan sayang sekali, itu bukan suaramu..
Itu suara Mpok Iyuk, yang berbicara sambil menahan tangis diujung telepon sana. Dengan intonasi penuh wibawa seorang kakak tertua yang mencoba tegar dihadapan adiknya yang paling bungsu, ia berkata..
“Patan, Emak udah gak ada, tan.. Emak meninggal..”
22 Januari 2008, sore menuju senja.
oleh: @todjon
diambil dari: http://todjon.tumblr.com
No comments:
Post a Comment