Dear Mahyu,
Surat ini sedianya saya tulis bertahun-tahun lalu. Waktu itu saya terlalu malu dan merasa bersalah sehingga tidak menuliskannya. Setiap kali bertemu, meskipun jarang sekali, saya ingin menceritakan kisah ini, tapi saya selalu urung melakukannya. Rasa malu dan rasa bersalah ternyata seperti pohon jika disimpan. Mereka akan tambah tumbuh dan kian susah dicabut. Kini rasa bersalah itu selebat hutan.
Kamu masih berada di sekolah kala itu. Saya diserang meriang dan pura-pura tidur ketika Mama datang dari pasar. Saya mendengar dari dapur dia berusaha menyembunyikan tangis. Tetapi ketika saya mendengar ada piring jatuh dan pecah, dia tidak bisa menahan tangisnya. Dia kelelahan dan merindukan Ayah. Saya kira, seperti biasa, dia mendengar orang-orang di pasar bercerita lagi perihal statusnya: janda tergantung, perempuan sial yang ditinggalkan suaminya yang tidak pulang-pulang. Saya tahu Mama mencintai Ayah, seperti dia mencintai kita. Tetapi, siang itu, saya sangat membenci Ayah.
Besoknya, ketika kamu berangkat ke sekolah dan Mama ke pasar lagi membawa sayur dan bumbu-bumbu dapur jualanya, saya membongkar semua laci di rumah. Saya menemukan kunci lemari Mama di bawah bantalnya. Saya mengeluarkan semua foto Ayah dari bawah lipatan pakaian Mama. Saya mengambil semua foto ayah dari laci meja belajarmu. Saya melepaskan semua wajahnya dari album foto keluarga. Saya tidak menyisakan sehelai pun foto. Saya merobek semuanya menjadi serpihan-serpihan kecil sambil menangis—lalu menyembunyikannya di sebuah kardus kecil di bawah tempat tidur saya.
Saya baru ingat peristiwa itu lagi tiga tahun kemudian. Waktu itu saya sudah kuliah di Makassar. Hari itu menjelang lebaran, saya pulang kampung, seperti biasa. Saya tiba-tiba ingin menulis puisi tentang pohon belimbing di belakang rumah kita yang sedang berbuah lebat. Saya mencari pulpen di kamar kamu. Saya membongkar meja belajar kamu dan kaget menemukan lembaran-lembaran foto Ayah semuanya telah tersusun kembali, meski tentu saja tidak sempurna. Kamu ternyata sudah berusaha bersusah payah mengembalikan wajah-wajah Ayah.
Alangkah malu saya. Alangkah merasa bersalah saya telah membuat kamu melakukan semua itu. Saya tahu kamu sangat dekat dan mencintai Ayah. Saya tahu saya telah melakukan kesalahan besar. Saya membayangkan kamu menangis ketika berusaha menyatukan potongan-potongan kecil itu menjadi Ayah, menjadi foto yang selalu kamu pandangi dan peluk sebelum tidur.
Jika kamu membaca surat ini, mohon, maafkan kebodohan saya. Sungguh, sembuhkanlah rasa bersalah dan malu saya yang kian besar ini.
Saya mencintai kamu. Semoga istri dan anakmu selalu sehat.
Kakakmu,
Aan
Oleh: @hurufkecil
Diambil dari: http://hurufkecil.wordpress.com
No comments:
Post a Comment