Kembali kutuliskan sepucuk surat untukmu Kak Adimas Immanuel.
Dari yang selalu membuka linimasamu tanpa bosan…
Kita tidak kenal dan memang aku tidak berniat mengenalkan diri. Biar kita berjabat lewat rajutan kata-katamu yang begitu indah membelai mata dan hatiku. Jutaan decak kagum tercipta tiapku membuka linimasamu. Boleh kutengok sebentar isi kepalamu, Kak?
Entah sudah berapa banyak kata yang kau rajut menjadi sebuah kalimat yang menghangatkan. Entah sudah berapa pasang mata yang kau buat enggan mengedip. Dan entah sudah berapa banyak hati yang kau terbangkan. Kau tau rasanya membaca semua tulisanmu? Seperti ada sesuatu yang menyelinap masuk ke dalam relung jiwa, kemudian menenangkan.
Sungguh, aku hanya jatuh hati pada jutaan kata yang menggantung indah pada lembaran ciptaanmu. Tapi mengapa kemudian aku ingin menikmati senja di pinggir pantai berdua denganmu? Apa kamu suka senja Kak? Apa kamu suka pantai Kak? Jujur saja, aku suka sekali. Apalagi jika ditambah denganmu duduk di sisiku.
Manusia berpijak di bumi ini selain untuk hidup juga untuk bermimpi bukan? Biarkan anganku terbang melintasi cakrwala, asal jangan kamu yang terbang sejauh Matahari terbenam yang hilang tanpa batas. Ada kiranya Kakak bersedia duduk sejenak denganku, membagi secangkir kehangatan, sepiring kisah romantis, dan kembali pada realita, ah Mimpi!
Biar kudecakkan kekesalan saat kulirik ada ribuan mata penuh cemburu melihat kita duduk bersisian pada muka pantai, menikmati pasir yang sama, dibasahi air yang sama, dan menonton keindahan alam yang sama. Begitu kan caranya mimpi tetap hidup dalam kepala?
Biarkan Isabella Swan bersanding dengan vampire paling keren sejagad raya, Edward Cullen. Biarkan Belle mendapatkan pangeran buruk rupanya. Biarkan Ginny Weasley yang ternyata berjodoh dengan penyihir tertampan, Harry Potter. Biarkan ribuan kisah romantis membuatku gigit jari. Tapi tidak ada lagi yang kuingin selain duduk bersama denganmu, menikmati senja yang semakin menua. Bedua.
Aku suka duduk di sisimu, seperti aku menyukai ribuan rima buatanmu, ada jutaan rasa yang sulit dijelaskan. Aku suka memandang senja dengan aroma tubuhmu, seperti akan selalu membawaku pada masa itu, ada jutaan rasa yang sulit dijelaskan. Dan aku suka menyesap malam sambil bersisian denganmu, seperti menikmati bintang yang mulai mengalung malam, ada jutaan rasa yang sulit dijelaskan.
Dalam keheningan, aku berusaha menghafal wangimu, gerakmu, dan rasa yang kemudian muncul saat aku kembali menatapmu tanpa jeda. Biarkan sejenak kita beri tempat pada hening, agar kita tau kiranya ada berapa juta menit yang tiba-tiba berlari terlalu cepat. Jarak kita, sekecil apapun itu, sebisa mungkin tidak ada.
Kubiarkan desir ombak menghantam telingaku sampai tuli, kubiarkan pasir menempel pada kulitku sampai gatal, kubiarkan semburat oranye menyilaukan pandanganku, dan kubiarkan hatiku berdebar hebat saat matamu melirik sedikit. Lihatkan bagaimana indahnya mimpi hidup dalam benakku?
Kembali pada siapa yang selalu menemaniku setiap kali menangis sudah kurasa tidak lagi cukup, matahari terbenam. Langit semakin tua dengan jejak oranye yang semakin memudar. Matahari kembali tenggelam seakan masuk ke dalam lautan sunyi. Dan kamu Kak, masih terduduk anteng pada sisiku. Inikah senja yang selalu inginku bekukan?
Segini dulu suratku. Ada kiranya kau terima surat ini, baca, dan bayangkan.
Aku suka menyapamu lewat surat ini, ada jutaan rasa yang sulit dijelaskan.
Biarkan senja kembali datang dan menua, kuharap kita bisa menikmatinya bedua.
Bolehkan aku menyesap sejenak wangimu? Hingga mungkin yang kudapat hanya asap.
Bintang kembali menghias malam, sampai matamu menenggelamkanku, dalam.
Seperti garis edar bulan yang mengelilingi bumi, aku mengagumimu tanpa ujung.
Aku buka peramu kata semacam kamu, aku hanya penikmat kata demi kata milikmu.
Tertanda,
Yang mencintai senja pada pantai,
Nisa,
Salam.
oleh @nisfp untuk @adimasimmanuel
diambil dari http://wordsroom.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment