Pagi ini, sembari menunggu semburat kemuning muncul pada langit, aku mengingat-ingat. Ditemani secangkir susu cokelat hangat dan beberapa biskuit, memandang pergantian waktu, sesekali terpaku pada layar laptop. Ada yang ingin kukenang…
Aku masih ingat tentang perjumpaan kita 7 bulan lalu. Sama-sama belum saling kenal sebelumnya. Sama-sama masih meraba sifat satu sama lain. Tapi, kau datang dengan berani kepadaku, menawarkan sebuah janji. Janji yang sejujurnya aku sendiri masih belum yakin, secepat ini? Bahkan pertemuan kita hanya 3 hari. Benarkah?
Sudah kuduga, akan banyak orang yang mengomentari hal ini. Menyikapi kamu, yang menduduki jabatan penting, banyak orang yang haus akan informasi ini. Aku sendiri sebenarnya tidak begitu suka ekspos berita yang berlebihan seperti itu. Tapi, kalau dengan kamu, aku tak bisa menolak :”>
Mungkin hanya sebentar, tetapi sudah banyak yang kita lalui, bukan? Merentang jarak, menahan ego, memupuk cinta. Cinta? Sudah tepatkah aku berkata demikian? Entahlah..
Agaknya masih jauh bagi kita untuk menuju ke arah itu. Namun, sedari waktu tersebut, masih bisa dipupuk bukan? Kau bilang, aku dan kamu adalah kita. Iya, 21 dan 10 adalah 31. Benarkah?
Tapi kau bipolar.
Tak lama, segala keterburu-buruanmu berubah menjadi rasa yang menyakitkan buatku. Dan aku, dengan segala keterburu-buruanku, menuai hasil. Kau kini bermain dengan prioritas. Aku tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Namun kau membuatnya menjadi lebih rumit. Sesederhana itu kau selesai bertarung, melepaskan segala yang sudah kau bangun, lantas kau buang?
Aku memang tidak pernah mempermasalahkan bukan? Aku tak pernah memaksamu untuk menaruhku pada pilihan nomor duamu. Atau, aku juga tak pernah memaksamu untuk menjadikanku yang utama. Haha, kau kira aku begitu gila terhadap posisiku di hatimu? Tidak.
Tapi kau berani bermain prioritas di depanku, dan kau membuangku.
Aku bukanlah orang yang mudah untuk kau permainkan. Salah. Harusnya kau berpikir ulang untuk semudah itu melepaskanku. Akan kubuat kau menyesal dengan pilihanmu dulu, melepaskanku.
Bagaimana dengan rasa yang (dulu) kau miliki? Bagaimana rasa yang (dulu dan kini) kumiliki?
Ketahuilah, ketika kau menemukan yang baru di luar sana, aku mulai menutup hatiku untukmu. Rasa yang dulu menjalar penuh tentang kita, sudah ku tebas hingga ke akarnya. Iya, kau hebat bukan? Secepat itu mengenalku, sedalam itu penetrasi pengaruhmu pada hatiku, dan secepat itu kau mengakhiri dan membuangku. Dan, harus secepat itu juga ku tebas segala rasa yang mengganggu pikir dan hatiku. Rasa kecewa tentu saja pernah mengisi ruang hati. Namun, aku tak boleh berlama-lama. Toh, buat apa, aku memikirkan hal yang seharusnya bukan termasuk hal yang penting buatku?
Iya, aku kini sudah pandai memilah-milah. Belajar akan kesalahan yang telah lalu. Harusnya aku juga mengucapkan terima kasih padamu, ya?
Renungan pagi ini membuatku kembali bersyukur. Maaf kalau dulu aku begitu penuh amarah menghadapimu. Sinkronisasi hati dan kepala agaknya sulit untuk masalah hati. Dan itu kurasakan. Segala emosi membuatku hanya berpihak pada satu sisi permasalahan. Tanpa memikirkan hal lainnya. Dunia itu luas bung! Tidak sempit seperti daun kelor!
Terima kasih atas segala pembelajaran yang telah kau berikan. Bahwa hidup bukan hanya soal mimpi, tapi juga kenyataan. Menerima kenyataan bahwa kau tak lagi denganku awalnya memang sulit. Namun, percayalah, kini aku sudah ‘pindah’.
Satu yang tak pernah kau, bahkan aku, (dulu) tak tahu. Masih ada orang di luar sana yang menyayangiku apa adanya. Iya, aku yakini itu.
Dan, orang itu ada di sampingku sekarang.. :”>
Sedang menikmati pagi. Sedang mengamatiku merangkai surat ini untukmu, menyeruput teh, dan tersenyum kepadaku. Senyum yang tulus dan manis. Senyum yang mengisyaratkan kasih. Senyum yang ku balas dengan senyum penuh arti milikku. Sesederhana itu, sebab ia mencintaiku, apa adanya.
Jakarta, 21 Januari 2012
6:13 AM
oleh @fitrianggraini
dimbil dari http://pradityaningsih.tumblr.com/
too good to be rated
ReplyDelete