Sebenarnya aku bingung harus menulis apa di surat ini karena sebenarnya aku lebih suka menulisnya dengan pensil daripada harus menekan anak-anak huruf di keyboard komputer lipatku. Karena kalau menulisnya dengan pensil, aku bisa sambil menggambar-gambar wajahmu di samping tulisan ini.
Pasti kamu tahu kenapa aku menyebutmu Pangeran Tata Surya, tentu saja karena kamu tahu banyak hal tentang Tata Surya. Entah itu Bumi, Bulan, atau planet-planet lainnya yang ada di Tata Surya, dan kamu suka sekali menceritakannya padaku. Saat itu, matamu seolah menyala-nyala, berbicara, entahlah, aku tidak bisa menggambarkannya.
Ah, sampai lupa menanyakan kabarmu. Apa kabar, Pangeran Tata Surya? Semoga kamu baik-baik saja, ya? Sedang melanjutkan study di Bandung, kan?
Sekarang aku sudah kuliah di jurusan yang aku mau. Terimakasih ya, dulu kamu yang meyakinkan aku untuk terus bermimpi, dan harus memperjuangkan mimpi-mimpiku.
Hai Pangeran,
Tahukah kamu, aku sering mengunjungi ruang kerjamu? Aku suka memandanginya lama-lama, melihat kumpulan puisi-puisi dan foto-foto di atasnya. Kadang-kadang aku suka membayangkan kamu duduk di sana lagi, di depan komputer lipatmu sambil sesekali tertawa. Tawamu itu, selalu berhasil menenggelamkan sepasang matamu, lucu.
Setiap memandanginya, selalu berhasil membawaku ke masa-masa dulu. Masa-masa ketika aku sering berkunjung ke ruang kerjamu, mengganggumu dengan membawa kucing. Kamu jadi tidak jadi kerja, malah bermain bersama kucing dan aku. Kita tertawa bersama-sama.
Atau kadang-kadang aku membuka koran, melihat-lihat rumah yang sedang dijual, lalu aku memilih yang paling besar, kamu tidak setuju. Kamu lebih suka rumah yang kecil, minimalis. Katamu, rumah itu pasti cocok untuk kita, karena aku dan kamu sama-sama mungil. Dan kemudian aku mulai setuju, yang besar atau yang kecil sama saja, yang penting ada tempat untuk melihat Bulan di sana.
Ah, aku rindu bertukar cerita denganmu. Aku rindu memandangi dagu dan pipimu yang kadang penuh bulu, "Belum sempat dicukur." katamu, sambil menyeringai. Aku rindu mendengar suaramu dari seberang ponsel, kadang-kadang sinyal membuat kita kesal tapi tidak lama kemudian kita menertawai kekesalan kita barusan.
Sudah lama sekali rasanya kita tidak bersua, terakhir kali tiga tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum kamu menikah. Kamu mengirimkan pesan singkat ke ponselku, ingat? Pesan singkat yang menyatakan bahwa kamu akan menjalin sebuah ikatan pernikahan dengan seorang wanita, tapi bukan dengan aku.
Saat membaca pesan singkat itu rasanya dunia berhenti berputar, atau mungkin berputar sangat cepat? Entahlah, aku begitu kacau saat itu.
Malam itu aku sampai tidak bisa menangis lagi, Mama memelukku erat, sangat erat. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memelukku saja sambil mengelus punggungku. Mungkin ia tahu hati anaknya sedang terluka.
Sungguh, rasanya sangat menyiksa membayangkan kamu dengan istrimu sekarang. Dadaku sesak, seperti terjepit di antara pintu lift yang berkarat. Tidak ada yang bisa menolong dan tidak ada yang bisa kulakukan sampai rasa sakit dan sesak itu hilang sendiri atau dibiarkan saja sampai aku mati rasa, sampai tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Ah, Sudah, sudah, aku tidak mau lagi membicarakan rasa sakitnya.
Sepertinya aku sudah mengetik terlalu panjang ya? Seperti katamu, aku memang cerewet, bahkan di sebuah tulisan sekalipun. Sudah ya, sampai di sini dulu, aku akan menulis surat kepadamu lagi, suatu hari nanti.
Sampaikan salamku pada istrimu ya, bilang padanya bahwa dia adalah wanita yang beruntung. Dan satu lagi, anakmu sudah lahir? Jika sudah, aku yakin dia akan menjadi anak yang lucu karena mewarisi mata sipitmu dan kulit putihmu.
Salam hangat,
- @asakecil
No comments:
Post a Comment