Aroma tubuhmu sedang menyeruak ke alam bawah sadarku saat ku tulis surat ini, sayang. Begitulah ketika rindu tengah berusaha menemukan bentuknya sendiri, ragaku hanyalah wadah yang membadani damba akan keberadaanmu. Senja ini lamat-lamat menyatakan diri, membuatku teramat menikmati suasana khas sore hari yang kerap kali menggambarkan wajahmu pada langitnya yang keunguan. Lelaki, bagaimana kabarmu di sana? Adakah bulan setengah matang juga lahir pada senjamu?
Sesak batinku lantaran rindu padamu sedikit terobati setelah semalam kita bertukar suara. Namun, hitungan jam dalam percakapan maya tidak juga setara dengan satu hari yang ku titi bersamamu. Jelas saja, telepon tidak mampu menggantikan senyummu, juga matamu yang menyipit saat senyum itu terbit. Begitu juga kata-kata yang dengan setia kita kirim setiap harinya, tidak cukup menghadirkan peluk yang sesungguhnya. Tak ada lain bisa kita buat, sayang. Inilah jauh yang harus kita tempuh, berdua kita mengarak cinta yang berjarak.
Lewat satu bulan silam kita bertemu, sebelum kereta itu membawamu. Dan hari lepas hari, tak bosan ku hitung waktu hingga tiba saat aku menjemputmu di tempat yang sama seperti saat aku mengantarmu. Akan aku tunggu waktu, kala rindu menghambur pada erat dekapmu. Kala kita tidak perlu lagi bertukar kata dan hanya perlu bertukar mata.
Demikianlah, sayang. Ku tuliskan surat ini di sebuah kota yang kau rindukan. Tanganku memang tak cukup panjang untuk merengkuhmu. Mataku juga tak mungkin selalu menjagamu. Namun yang perlu kita tahu, rentang tak pernah jadi dalang dalam pewayangan kita. Selalu ada hati yang menemanimu. Selalu ada batin yang membersamaimu. Dan soal rindu, bukankah rindu adalah takdir yang paling syahdu?
-Jogjakarta, 20 01 2012
untuk @adrianjonathanoleh: @puspapanglipur
diambil dari: http://puspaningtyaspanglipurjati.tumblr.com
No comments:
Post a Comment