Apa kabar, Kisha.
Senang rasanya dapat kembali berjumpa denganmu. Ini adalah surat ke-6
dariku. Tak terasa, sudah nyaris seminggu kita saling bersua, ya… Aku
memang telah merencanakan surat-surat ini, terutama sejak aku dapat
mengetahui kabarmu dari Hasyim. Setiap malam aku menulis surat-surat
untukmu. Saat pagi menjelang, hatiku berdebar-debar membayangkan bahwa
beberapa jam lagi kau akan membaca surat-surat yang telah kutulis. Aku
berdebar seperti benar-benar hendak berjumpa denganmu, bertatap-tatapan
mata. Debar yang juga pernah kurasakan tiap dekat denganmu saat kita
kecil dulu.
Ah, perjumpaan memang selalu indah, bukan? Namun sayangnya,
perjumpaan selalu berentetan dengan perpisahan. Dan yang lebih
disayangkan lagi, jarang sekali manusia yang mempersiapkan dirinya,
hatinya, dengan perpisahan – yang justru adalah kepastian. Kita hanya
menyiapkan sukacita untuk menyambut perjumpaan. Kalau kupikir-pikir,
sebenarnya manusia hidup di dunia hanya untuk mengalami perpisahan.
Bagaimana menurutmu, Kisha? Aku berkata demikian mungkin dikarenakan aku
telah kerap mengalami perpisahan. Setiap perpisahan, seindah dan
selapang dada apapun kita berusaha menerimanya, tetap mengguratkan rasa
sakit. Sebenarnya kita tak pernah siap dengan perpisahan. Yang sekedar
dapat kita lakukan hanyalah menerimanya mentah-mentah karena kita tak
lagi punya pilihan selain menghadapi perpisahan.
Lihatlah kematian. Ia adalah sesuatu yang pasti, sedang kurasa kita
tak pernah benar-benar siap untuk menyambutnya, menerimanya. Jika kita
memang benar-benar siap, tidak akan ada linangan air mata yang
mengiringi kematian, seperti halnya perjumpaan yang kita sambut
sedemikian rupa. Mereka yang menyatakan diri siap untuk mati sebenarnya
tak pernah benar-benar jujur mengatakan perasaannya. Bagaimana seseorang
dapat dengan enteng meninggalkan kehidupan di dunia yang telah
menorehkan sejuta kenangan dan rasa? Kita meninggalkan harta kita, anak
kita, pekerjaan kita, kehidupan kita, semua yang berarti bagi hidup
kita. Kurasa itu bukan hal yang mudah jika kita mencintai itu semua.
Tapi itulah resiko mencintai. Saat tiba waktunya perpisahan, kehilangan,
rasa sakit yang kita tanggung sungguh meluluhlantakkan.
Tapi kita takkan pernah mengetahui rahasia ini jika kita tak
benar-benar mengalaminya sendiri. Mengalami cinta, kemudian perpisahan
yang menyakitkan itu. Kita lebih senang dengan pengalaman daripada
peringatan yang telah Tuhan katakan jauh-jauh hari sebelumnya, bahwa
mencintai dunia dan seisinya adalah sebuah kerugian semata. Tuhan tahu
betul pahitnya rasa sakit itu. Dia memperingatkan kita karena Dia begitu
mencintai kita, dan tak ingin kita tersakiti. Namun kita memilih untuk
menjadi bebal sebelum benar-benar mengecap rasa sakit saat perpisahan —
yang adalah keniscayaan, benar-benar terjadi. Dalam perpisahan, selalu
ada luka jika ada cinta.
Bagiku, perpisahan yang menyakitkan adalah saat berpisah denganmu,
Kisha. Sampai kapanpun, aku takkan berhenti menganggapnya sebagai sebuah
tragedi. Betapa tidak, karena aku tak hanya mengalami rasa sakit karena
meninggalkanmu, namun juga menghadapi kemelut dalam keluargaku. Entah,
apakah aku patut menyalahkan ayahku. Namun jika tidak karena ulahnya,
barangkali kita masih akan bersama lebih lama lagi.
Kau masih ingat ayahku, bukan? Aku tahu kau tak terlalu suka padanya.
Bagi orang lain, ayah memang dipandang sebagai pribadi yang kurang
menyenangkan. Selain perawakannya yang tinggi besar, berkulit gelap, dan
raut wajahnya yang terlihat garang, pembawaannya pun ketus dan kasar.
Ia hanya mau bicara yang perlu-perlu saja. Jenis manusia seperti ayahku
itu tak suka berbasa-basi. Apa yang ada di hatinya, itu yang
dikatakannya. Aku ingat bahwa kau selalu enggan main ke rumahku jika
ayah ada di rumah. Kau pasti heran, mengapa dunia ini juga melahirkan
orang yang bicaranya selalu nyaring dan menyentak-nyentak. Mungkin ayah
pikir semua orang di dunia ini tuli, kecuali dia.
Meski demikian, bagi keluarga kami, sejatinya ia adalah seorang ayah
yang baik. Setidaknya dengan memiliki lima anak, itu membuktikan bahwa
ibuku amat mencintainya. Tidakkah seseorang yang baik itu pasti
dicintai? Dan asal kau tahu, ia pun mencintai anak-anaknya sepenuh hati.
Namun dikarenakan kemiskinan kami, cintanya tak tersalurkan dengan
baik. Ia terpaksa menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan yang
membosankan sekaligus melelahkan.
Sudah sepuluh tahun ayahku bekerja di pabrik pemotongan kayu. Karena
pendidikannya yang rendah, maka ia berlapang dada menerima nasib
senantiasa menjadi buruh. Bayaran yang ia terima sangat kecil, padahal
ia harus mencukupi keluarganya yang tidak sedikit. Ibuku terpaksa
membantu keuangan dengan menerima kue pesanan dan menjahit. Ibumu dulu
sering memesan kue pada ibuku, bukan? Jika ibumu yang memesan, aku
selalu lebih giat membantu ibu di dapur. Bagi kami keluarganya, kue
buatan ibu adalah yang paling enak. Tapi orang-orang pun banyak yang
mengatakan demikian. Anak-anak ibu selalu bergembira jika ibu membuat
kue. Kami bahkan selalu berebutan, tak jarang bertengkar, karena ibu
selalu menyisakan sedikit. Hanya ayah yang jarang menyantap kue-kue
bikinan ibu meski ibu telah memisahkannya tersendiri dalam sebuah piring
kecil. Bagi ayah, makanan wajibnya hanyalah segelas kopi dan sepiring
nasi. Kadang ia merokok, tapi tak terlalu banyak.
Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan ayah. Entahlah, mungkin
karena karakternya yang jauh berbeda denganku hingga membuatku sedikit
takut padanya. Ayah adalah seorang yang cukup tegas. Jika kami,
anak-anaknya, melakukan kesalahan, ia tak segan menghukum. Jika kau
pernah merasakan jewerannya, kau pasti takkan pernah melupakannya seumur
hidupmu. Aku justru lebih nyaman untuk dekat dengan ibuku.
Namun kadang aku merasa bahwa sesungguhnya ayah lebih menyayangiku
daripada saudara-saudaraku yang lain, terutama kedua kakak perempuanku.
Mungkin karena aku adalah anak lelaki pertamanya. Dan dibanding kedua
kakakku, prestasiku di sekolah jauh lebih memuaskan. Karena aku jarang
mengecewakan ayah dalam soal prestasi, tak heran jika ayah selalu lebih
mudah mengabulkan permintaanku, terutama untuk membeli buku-buku.
Ayah pun cukup menyayangi kedua adik lelakiku. Saat mereka masih
sedemikian kecil, ayah seringkali mengajak mereka ke pasar malam,
menikmati berbagai jenis permainan hiburan. Tentu saja tak mengajak
semua anak-anaknya, melainkan bergantian. Begitulah nasib jika tak punya
banyak uang. Andai kami memiliki uang yang lebih banyak, barangkali
ayah akan membawa kami semua bersama-sama ke tempat hiburan yang jauh
lebih besar daripada sekedar pasar malam.
Sebenarnya kehidupan kami yang sangat sederhana itu cukup
menyenangkan. Namun rupanya Tuhan tak pandang bulu dalam menimpakan
cobaan-Nya. Pada akhirnya, kami pun tak luput dari cobaan besar. Awalnya
dimulai di suatu hari, ketika kutemukan raut muka ayah yang paling
murung dari yang pernah kulihat selepas ia pulang dari bekerja.
Tiba-tiba seharian itu ayah menjadi amat pendiam. Ia bahkan tak
sedikitpun memberi komentar pada berita-berita di televisi, seperti yang
biasa ia lakukan. Ayah memang tak lihai menyembunyikan perasaannya,
terutama jika ia sedang bahagia atau sedang bermasalah. Ia seorang yang
terlalu apa adanya. Beberapa kali ibu mencoba untuk mencari tahu, apa
gerangan yang membuat ayah sedemikian terlihat susah. Namun ayah tetap
bungkam, tak juga menceritakannya pada ibu. Ibu jadi ikut-ikutan
gelisah. Nalurinya mengatakan ada hal buruk yang sedang menimpa ayah.
Malam itu, ayah tidur lebih cepat.
Baru tiga hari kemudian ayah sanggup membagi resah atas
permasalahannya pada ibu. Ia ceritakan bahwa ia telah memiliki utang
dalam jumlah besar pada seorang rentenir. Ibu sangat kaget, karena kami
tak biasa meminjam uang pada rentenir. Meski kami miskin, kami bahkan
jarang meminjam uang pada siapapun. Ibu sempat marah karena ayah tak
mengajak ibu berunding sebelum memutuskan untuk berhutang. Rupanya akar
permasalahannya adalah ayah tergiur dengan bujuk rayu salah seorang
teman baiknya yang mengajaknya untuk menginvestasikan sejumlah uang pada
sebuah usaha investasi. Jika ayah menginvestasikan sejumlah uang, ia
akan menerima keuntungan tiga kali lipat dalam waktu hanya tiga bulan.
Apalagi jika ayah menginvestasikan uang dalam jumlah besar, maka
keuntungannya akan terlihat lebih nyata. Kau pasti menilai betapa
bodohnya ayahku yang mudah percaya dengan hal-hal konyol seperti itu.
Tapi kenyataannya itu benar-benar terjadi dan ayahku memang bodoh.
Dengan setia ia mendengarkan temannya yang bercerita tentang pengalaman
keberhasilannya sendiri. Demi lebih meyakinkan, ayah pun diajak serta
menemui orang-orang yang telah sukses dengan investasi mereka. Tak
memakan waktu lama, ayah benar-benar tergiur. Ayah telah membayangkan,
jika ia telah menerima hasil investasinya, ia akan berhenti bekerja dan
membuka usaha perabotan seperti yang dicita-citakan sejak lama. Ia
benar-benar sudah bosan bekerja di pabrik pemotongan kayu, pun sudah
muak karena mereka tak pernah menghargai ayah. Bahkan untuk hari raya
pun mereka tak pernah memberikan jatah.
Sebenarnya teman yang menawari ayah ini adalah sahabat ayah sejak
lama. Itu sebabnya ayah menaruh kepercayaan yang sedemikian besar
padanya. Tanpa pertimbangan lebih jauh, ayah segera mencari pinjaman.
Untuk meminjam di bank diperlukan jaminan, sedang kami tak punya apapun
sebagai jaminan. Maka tak ada pilihan lain, ayah terpaksa meminjam uang
dalam jumlah yang cukup besar pada seorang rentenir.
Singkat cerita, ayah tertipu. Teman yang ia percayai sebegitu
besarnya telah tega melarikan uangnya. Ayah mencarinya kemana-mana,
namun teman sialan itu benar-benar telah kabur tak meninggalkan jejak.
Bahkan keluarganya pun tak ada yang mengetahui keberadaannya. Ayahku
yang lugu dan bodoh itu sangat terpukul. Pasalnya, ia sudah terlanjur
berhutang, dan kemudian ia harus menerima kenyataan bahwa uangnya telah
hilang. Padahal jatuh tempo pelunasan hutang itu sudah semakin dekat.
Ayah bingung hendak mencari uang kemana. Hendak meminjam pada tempat ia
bekerja pun percuma karena mereka terkenal sangat pelit, terutama pada
buruh rendahan seperti ayah. Hendak menjual sesuatu pun takkan bisa
menutupi hutang ayah yang nilainya terlampau besar. Ayah dilanda
kekalutan. Seketika itu ia tersadar bahwa kini ia adalah orang termiskin
dari yang paling miskin di dunia ini.
Dalam waktu dua bulan, kami tak kunjung menemukan solusi. Ayah pun
menjadi berubah. Pembawaannya selalu murung, bahkan ia nyaris tak bisa
lagi tertawa. Tubuhnya menjadi kurus dalam waktu yang sangat cepat. Ayah
hanya makan sedikit. Bahkan kadangkala ia tak menelan apapun. Ayah
benar-benar terguncang. Ibu mencoba memberi pengertian anak-anaknya
supaya untuk sementara tak mengusik ayah. Kami, anak-anaknya, sudah
mulai tahu bahwa keluarga kami sedang dilanda masalah. Sebuah masalah
besar.
Saat aku terjaga di tengah malam, seringkali kudengar sayup-sayup
isak tangis ayah yang tergugu. Ia menyebut nama Tuhan ratusan kali
dengan suaranya yang nyaris parau. Saat berdoa, bendungan emosi yang
selama ini ia pertahankan sekuat tenaga ambrol begitu saja. Sempat
kuintip ayah di ruang sembahyang kami yang sempit. Kulihat ayah bersujud
takzim. Ia tak henti memohon karena keputusasaannya sudah menggerogoti
habis harapannya. Melihat dan mendengar tangis ayah, tak jarang aku pun
ikut menangis tertahan-tahan, ikut berdoa dalam diam. Aku seolah dapat
merasakan beban berat yang sedang dipikul ayah. Tapi kadang aku sempat
merasa ragu, apakah Tuhan akan benar-benar menolong orang-orang seperti
kami. Aku ragu apakah tangis ayah mampu menggoyahkan bejana keajaiban
Tuhan. Jujur saja, kami bukanlah keluarga yang sangat rajin menjalankan
perintah agama. Bahkan ayah atau ibu pun seringkali melewatkan jadwal
sembahyang karena kesibukan yang tak bisa mereka tinggalkan. Andai kami
tidak semiskin ini, barangkali kami akan punya lebih banyak waktu untuk
memperhatikan Tuhan. Aku merasa malu sekaligus sangsi karena kami baru
benar-benar mendekat pada-Nya hanya ketika kami membutuhkan
pertolongan-Nya, saat kami sudah berada di ujung keputusasaan. Apakah
menurutmu Tuhan akan mengasihani orang-orang tak tahu diri macam kami?
Tak terasa, bulan berganti dengan teramat cepat. Empat bulan telah
berlalu, dan rumah kami mulai kerap didatangi para penagih utusan
renternir. Kami telah benar-benar terlambat dari jatuh tempo
pembayaran. Para penagih yang rata-rata bertampang seram itu tak pernah
ramah pada kami. Kemampuan mereka hanyalah berkata-kata keras dan
menggertak kami. Adik-adikku selalu ketakutan jika mereka datang, bahkan
adikku yang paling bungsu selalu menangis tiap kali mereka datang. Tapi
tak ada yang dapat kami perbuat selain terus menghiba sambil gemetaran.
Tak jarang mereka membuat keributan di rumah kami sehingga kami
terpaksa menjadi tontonan para tetangga. Kami benar-benar telah menjadi
sasaran empuk bagi para penggemar gosip. Mereka saling berbisik-bisik
dan memandang kami dengan sinis. Tiba-tiba kami menjadi orang yang
sangat hina karena urusan ini telah menjadi rahasia umum di kalangan
tetangga dan kawan-kawan baik keluarga kami. Rasanya benar-benar seperti
habis jatuh tertimpa tangga. Ibu mulai kerap mencucurkan air mata.
Hingga akhirnya, di suatu malam, ayah mengumpulkan kami semua,
keluarganya, di ruang tengah. Ia membawa kabar yang mengejutkan kami.
Dengan sikap yang sedikit kikuk, ayah mengatakan bahwa sudah tak ada
lagi jalan keluar kecuali menjual satu-satunya aset kami, yakni rumah
yang kami tinggali. Sepetak rumah yang sempit dan sudah tua milik kami
satu-satunya. Dengan uang hasil penjualan rumah, ayah baru dapat
melunasi hutang sekaligus memulai hidup baru. Ayah pun memberi kabar
bahwa ia sedang mempertimbangkan tawaran salah seorang adik ayah untuk
pindah ke Gulama, sebuah kota nun jauh disana, yang sebelumnya bahkan
tak pernah aku tahu. Konon, kota itu jauh lebih ramai dan lebih maju
daripada kampung Sammoa. Dan yang terpenting, adik kandung ayah atau
pamanku itu telah menyiapkan pekerjaan untuk ayah, yakni sebagai
asistennya di sebuah perusahaan pengepakan makanan. Tentu saja pekerjaan
ini jauh lebih bergengsi daripada sekedar sebagai buruh pemotong kayu.
Kata paman, upah yang akan ayah terima pun jauh lebih baik. Ayah memberi
gambaran bahwa kami akan memiliki kesempatan untuk berpenghidupan lebih
baik. Disana banyak sekolah maju dan bagus. Pamanku sendiri termasuk
orang yang cukup sukses setelah lima belas tahun merantau. Ia pun
menyatakan diri sanggup membantu ayah di bulan-bulan awal kepindahan
kami disana dengan menampung kami di rumahnya yang besar. Sepertinya
ayah melihat ini sebagai kesempatan yang tidak akan bisa ia tolak.
Namun ibu sempat protes. Ia yang seorang wanita tentu merasa berat
karena emosinya telah terlanjur terikat kuat dengan riak kehidupan
kampung Sammoa. Jika memang hasil penjualan rumah itu masih terdapat
sisa untuk kembali memulai hidup baru, mengapa tak mencoba bertahan
saja? Katanya. Tapi ayah bersikeras. Ia telah terlanjur kehilangan muka
di hadapan orang-orang. Tiada yang lebih baik selain pergi, menyudahi
hidup di Sammoa. Namun di balik itu semua, aku menduga bahwa
sesungguhnya ayah juga ingin menyudahi pekerjaannya di pabrik pemotongan
kayu tersebut. Di Sammoa kesempatan pekerjaan begitu langka. Kalaupun
ada, mereka hanya sanggup memberi upah yang rendahnya keterlaluan. Wajar
jika ayah berpikir barangkali ia bisa mengadu nasib di tanah lain.
Sepertinya ia benar-benar tak sabar untuk mencoba pekerjaan baru yang
ditawarkan paman. Siapa tahu keberuntungannya ada disana. Ayah sudah
terlanjur bosan dengan penderitaan yang melulu disuguhkan Sammoa
untuknya.
Rentenir itu membantu menjualkan rumah kami. Ia memiliki begitu
banyak kenalan sehingga membuat rumah terjual dengan cepat. Resikonya,
harga yang kami terima teramat murah. Katanya, rumah kami terjual murah
karena surat-surat yang tak lengkap. Apa mau dikata, kami terpaksa
menerima. Kami hanyalah orang-orang tak berdaya yang selalu menjadi
sasaran mereka yang gemar menindas. Dua minggu lagi, kami harus hengkang
dari rumah yang telah membesarkan dan menghidupkan kami puluhan tahun.
Dengan tergesa aku memberimu kabar sedih ini. Bagiku, ini lebih dari
sekedar kabar sedih. Adalah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan
bulat-bulat bahwa aku akan berpisah denganmu. Aku takkan bersamamu lagi,
takkan melihatmu lagi. Adakah yang lebih menyedihkan dari sebuah
perpisahan yang pahit? Kupikir, inilah saat cintaku telah benar-benar
kandas. Sebelum memiliki kekuatan untuk menyampaikan perihal kabar buruk
ini, aku telah menguras air mataku habis-habisan. Toh tetap tak
mengubah keadaan. Kami tetap akan pindah. Kau mendengarkan kabar yang
kusampaikan dengan muka muram. “Tidakkah ayahmu mau menunda setidaknya
sampai kenaikan kelas lima bulan lagi? Sebentar lagi kita kelas
sembilan, Ramu! Bagaimana dengan sekolahmu?” Kau mencoba berargumen,
seolah-olah hanya kau seorang yang memikirkannya. Aku tahu kau pun
menyimpan kepedihan. Delapan tahun kita bersama-sama, merajut masa kecil
yang indah, bagaimana bisa tiba-tiba berpisah begitu saja? Kita mencoba
untuk pura-pura tidak mengerti, tapi kita bisa menolak bahwa itulah
yang terjadi. Apa yang bisa kita lakukan?
Dua hari kau tak mau menemuiku. Kesedihanku makin menjadi-jadi. Saat
itu, ingin rasanya kukatakan pada ayah bahwa aku tak ingin ikut pindah
ke Gulama. Aku tak peduli dengan kehidupan sebaik apapun yang ada
disana. Yang kubutuhkan hanya berdekatan dengan Kisha. Tapi aku tak
mungkin benar-benar mengatakannya, dan kalaupun aku punya keberanian
mengatakannya, ayah pasti takkan mengijinkanku. Sempat aku jadi membenci
ayah, membenci keadaan keluargaku yang miskin dan lemah, juga membenci
Tuhan. Bukankah ayah sudah bersujud setiap malam dan menghabiskan air
matanya? Aku pun telah sekuat tenaga menyambung doa. Namun lihat!
Nyatanya kami telah kehilangan rumah. Ayah kehilangan pekerjaan. Ibu
kehilangan tetangga. Adik-adikku kehilangan teman sepermainan. Aku
kehilangan perempuan yang kucintai! Apakah Tuhan tidak mau mendengar doa
kami? Apa Tuhan lupa dengan permohonan kami? Apakah Tuhan pilih kasih?
Bukankah katanya Dia selalu mengabulkan doa hamba-Nya? Tiba-tiba saja,
aku menjadi sosok yang dikuasai kebencian besar terhadap segala hal.
Bahkan aku pun membencimu karena telah bertemu, bermain, menghabiskan
waktu, sekaligus menghabisi hatiku.
Sementara kau berdiam dengan kesedihanmu, aku kerap berjalan-jalan
sendiri ke pantai, ke bukit mahligai, ke tempat manapun aku suka.
Kunikmati sisa-sisa waktuku di Sammoa dengan kesendirian. Pilu rasanya.
Seperti inikah rasanya sendiri tanpa kamu? Apakah aku bisa melalui
hari-hari ke depan tanpa kamu? Apakah aku dapat membiasakan bermain
tanpa kamu? Aku mulai mencoba untuk mengimajinasikan masa depanku yang
dalam kesendirian. Yang kulihat disana hanyalah sosok kecilku yang
menderita.
Baru beberapa hari kemudian kau mendatangiku. Seperti biasa, kita
menghabiskan waktu senggang berdua dengan membaca, banyak mengobrol,
atau sekedar berjalan-jalan ke pantai. Aku tak lagi melihat kemurungan
di raut wajahmu, seperti yang pernah kulihat sebelumnya. Kau masih
menyisakan tawa dan senyum di saat-saat terakhir sebagai bekalku nanti
ketika berada dalam kesendirian. Kita benar-benar menikmati hari-hari
terakhir itu dengan perasaan yang menyenangkan. Seolah-olah kau
melupakan hal kepergianku yang sebentar lagi. Aku pun tak berani
menyinggungnya di hadapanmu.
Akhirnya waktu keberangkatan tiba. Ayah menyewa sebuah mobil pikap
untuk mengangkut barang-barang kami. Demi menyewa mobil, ia telah
mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Padahal yang kami bawa sudah
seperlunya. Ibu telah menjual banyak barang demi menambah biaya
kepindahan sekaligus memperingan beban bawaaan. Kami telah pula
berpamitan dengan para tetangga kiri kanan, para kenalan, handai taulan,
termasuk juga dengan keluargamu. Beberapa berbasa-basi mendoakan kami
sukses di perantauan. Namun tak sedikit pula yang menampakkan rasa
keprihatinan. Padahal kami benci dikasihani.
Kau datang membawa bingkisan kecil terbungkus kertas kado warna biru.
Bergegas kau menghampiriku dan memberikan bingkisan istimewa itu. “ini
buat kamu, kenang-kenangan dariku. Jangan lupakan aku, ya. Suatu saat
nanti kita pasti bertemu. Kalau kau libur, mainlah kesini.” katamu
dengan bibir bergetar. Rasanya ingin sekali memelukmu, tapi tidak
kulakukan. Aku hanya menatap wajah polosmu, mata beningmu, mencoba
menyelami hatimu, dan menerima bingkisan berkertas biru itu. “Dibuka
nanti saja,” katamu lagi. Aku hanya tersenyum,kemudian kita bersalaman.
Salam perpisahan itu, meski begitu lembut kita lakukan, tetap terasa
menyakitkan.
Ayah dan kakak keduaku telah berangkat lebih dulu bersama mobil
pikap. Sedangkan aku, ibu, dan saudara-saudaraku lainnya menempuh
perjalanan dengan kendaraan umum, dengan bis yang kemudian berganti
kapal laut. Kami telah bersiap untuk perjalanan panjang yang melelahkan.
Paman Rosihan, tetangga kami yang memiliki mobil, berbaik hati
mengantar kami ke terminal. Ia telah siap menunggu kami masuk ke dalam
mobil, sedang ibu masih saling berpamit-pamitan, saling berpelukan
dengan orang-orang yang mengantar kepergian kami. Ibu tak bisa menahan
emosi. Ia tak henti-henti mengusap wajahnya yang berleleran air mata.
Aku cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Rasanya aku sudah tak sanggup
lagi berlama-lama memandangmu. Aku takut tak sanggup bertumpu pada
kakiku sendiri dikarenakan beratnya beban kepedihan yang kurasakan.
Kepalaku seperti mendengar suara-suara gaib darimu, “Ramu, jangan pergi!
Jangan pergi! Jangan pergi, anak bodoh!” Tapi kau sedang berdiri
bersama ibumu diantara orang-orang yang mengantar kepergian kami. Sempat
kulihat titik-titik air bening mengaliri pipimu. Hidungmu yang memerah
benar-benar tak bisa membohongi bahwa kau pun menelan duka yang
mendalam. Apakah kau merasa kehilanganku? Apakah kau akan merindukanku?
Apakah kau nantinya akan menyadari cintaku? Dengan susah payah aku
menyeret kenangan-kenangan kita demi ketenanganku. Suara mobil butut
Paman Rosihan yang begitu berisik menyamarkan keheningan hati yang
sesungguhnya kurasakan. Kulihat kau bersama orang-orang yang lain
melambaikan tangan. Air matamu semakin deras, aku semakin menjauh. Jauh
sekali.
Hingga beberapa jam perjalanan, hanya aku yang begitu sepi. Kucoba
untuk memejamkan mata, tapi justru bayangamu bermain-main di pelupuk
mata. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Batinku yang lelah. Ibu sempat
heran mengapa aku sedari tadi menyimpan suara. Tapi lambat laun ia paham
dengan apa yang kurasakan. “Kau akan menemukan banyak teman baru
disana, Ramu.” kata ibu menenangkan. Tapi ibu tak pernah mengerti
seberapa besar aku kehilangan.
Dear Kisha,
Begitulah rasanya kehilangan yang menyesakkan. Kupikir barangkali ini
adalah mimpi buruk terakhir. Kucoba-coba untuk bersikap seperti ayah,
ibu, dan saudara-saudaraku yang lain, menggenggam keyakinan bahwa hari
esok pasti akan lebih baik. Mimpi buruk itu tidak akan pernah terjadi
lagi. Namun kenyataannya tidak demikian, Kisha. Hidupku ke depan masih
teramat panjang, dan kurasakan tiba-tiba aku duduk di salah satu kursi
roller coaster kehidupan yang siap meluncur deras. Ternyata apa yang
kurasakan saat perpisahan itu hanyalah permulaan.
Kurasa aku harus mengakhiri dulu suratku ini. Aku takut kamu menjadi
semakin bosan. Setelah ini, aku akan bercerita padamu bahwa kehidupanku,
ternyata pun tak jauh berbeda dengan kehidupanmu, kehidupan orang-orang
lain di muka bumi ini. Tidak ada yang mudah. Bukankah saat menginjak
dewasa kita kemudian sering mengatakan demikian? Hidup ini memang tidak
mudah, Kisha…
Tapi aku berharap semoga kebahagiaan dan ketentraman hidup senantiasa
meliputimu setelah ini. Kau punya dua matahari yang menjadi penguatmu.
Aku tahu kau akan kuat. Kau pasti akan bahagia. Kadang aku bermimpi
dapat mengenal anak-anakmu. Mereka pasti sangat cantik seperti kamu. Aku
ingin sekali dapat membelai mereka, kemudian berbisik di telinga mereka
bahwa seseorang yang tak dikenal ini pun menyimpan sisa cinta untuk
mereka. Semoga kamu tak keberatan, Kisha…
Sampaikan salam peluk hangatku untuk kedua buah hatimu. Beranjaklah
untuk berdoa, untaikanlah permohonan-permohonan baik yang sekiranya
menenangkan hatimu. Meski dulu aku sempat memandang-Nya sinis, tapi
sesungguhnya ia jauh lebih baik dari apa yang kita perkirakan, Kisha…
Semoga kebaikan selalu bersemayam di hatimu.
Yang mencintaimu,
A Ramu
@bintangberkisah
No comments:
Post a Comment