Hei.
Aku tadi bilang sama Eka Otto untuk memberiku kesempatan kalau aku terlambat mengirimkan surat ini. Sebenarnya, aku sudah duduk berjam-jam di depan komputer dan tetap tidak tahu bagaimana harus menulis surat ini. Aku cuma bisa menulis "Hei." di atas. Tapi surat ini harus selesai. Harus. Jam berapa pun, harus selesai.
Seharusnya tidak sulit menulis surat kepadamu. Kan ada banyak kenangan, banyak perasaan, dan banyak kesan yang tertinggal untuk aku simpan rapi dalam sebuah ruangan berlabel 'Tangerang' dalam hatiku. Tapi rasa-rasanya terlalu banyak. Semuanya berebut keluar tanpa memberiku kesempatan untuk memilih. Aku tenggelam. Hatiku sekarang penuh sesak dengan isi ruangan itu tanpa bisa dicegah. Dan sayangnya semua itu tidak keluar dalam bentuk kalimat. Semuanya itu malah keluar dalam bentuk butir-butir bening asin yang hangat.
Ah sudahlah. Memang seharusnya aku tidak memulai. Seharusnya tidak kubuka kunci ruangan itu. Sekarang bagaimana aku akan membereskannya lagi? Sungguh, tidak mudah harus memasukkan semua hal tentangmu ke ruangan kecil, memastikan tidak ada yang tertinggal di luar, lalu menguncinya rapat-rapat. Butuh waktu lamaaaa sekali, dan ternyata seringkali aku menemukan serpihan di luar yang menusuk hatiku. Atau kadang, ada saja yang melemparkan penggalan darimu kepadaku.
Aku masih ingin menikmati kalian. Menikmati macetnya perempatan Ciledug di pagi hari dan underpass-nya yang lengang. Menikmati kabut tipis pagi hari di BSD, beserta transformasi jalan raya yang sepinya menguap menjadi kemacetan. Menikmati malam-malam yang teduh dan hangat di GKI Serpong. Menikmati padatnya parkir Supermall Karawaci dan Summarecon Mall Serpong. Menikmati rumah Dimas, rumah Svy, rumah Ditha, rumah Fani, rumah Dini, rumah Tante Evi, rumah Tante Budi, rumah Vita, rumah..ku. Ya, menikmati rumah. A home. Seluruh bagianmu adalah rumah bagiku, rumah yang nyaman, aman dan selalu mendendangkan lagu yang mengajakku pulang.
Coba pikirkan, bagaimana mungkin aku tidak ingin pulang kepadamu. Kamu jadi saksi hidupku, sejak aku memasuki lingkar pendidikan formal wajib sampai aku lulus. Kamu jadi saksi aku tumbuh dari anak kecil menjadi gadis dewasa. Kamu jadi saksi semua pelajaran hidupku, jatuh, bangun, naik, turun, senang, sedih, jatuh cinta dan patah hati. Semua patah hatiku terjadi di depan matamu, oleh anak lelaki, oleh guru, oleh teman, oleh sahabat, dan oleh dirimu sendiri waktu aku terpaksa meninggalkanmu. Kamu tahu, meninggalkanmu rasanya seperti....seperti meninggalkan seluruh kehidupanku tapi harus hidup terus.
Kurasa aku memang kekanak-kanakan, tapi aku tidak berusaha melebih-lebihkan. Tidak setitik pun. Karena menulis tentangmu rasanya sulit...aku terlalu tenggelam dalam diriku sendiri daripada padamu.
Ah, sudahlah. Surat ini lebih kepada diriku sendiri daripada kepadamu. Sudah ya. Aku kangen. Itu saja yang penting.
Eh iya, kamu perlu tahu, aku belum bosan berbisik pada Tuhan untuk memberiku kesempatan tinggal di Tangerang lagi.
Kalian masih mau menerimaku kan kalau aku pulang nanti?
Sejuta cinta dari putrimu,
Id
Diambil dari: http://luzeagua.blogspot.com
No comments:
Post a Comment