Kepada kota destinasi pelarian termanis kami, Ubud.
Salam rindu ubud. Sudah cukup lama sejak pertemuan kita disana ya. Mataharimu masih terik kah? Seterik matahari yang memaksa aku dan dia memilihmu untuk menemani pelarian kami.Menyebut namamu aku jadi ingat tentang satu cerita singkat, kawan. Itu adalah saat terlama kami menghabiskan waktu bersama mengingat jarak dan waktu yang cukup berbeda dari dunia kami. Aku dan dia masih belia saat itu, masih cepat jenuh dengan hari hari yang penat. Seperti anak itik yang mencari induknya, kami pun berlari kepadamu. Melimpahkan semua sisa keletihan dan jiwa yang merindu.
Kau mungkin sedikit lupa karena begitu banyak orang yang setiap harinya menjejaki tubuhmu. Aku masih ingat setiap detil kejadian yang kami lalui bersamamu. Yang paling aku ingat adalah sepotong kenangan tentang bukit itu. Bukit yang aku dan dia beri nama bukit gelombang cinta. Aku tau kau pasti geli mendengar nama itu. Aku juga pada awalnya. Semacam irama dangdut yang sedikit menggelitik perutku. Dia yang menyeletukkan nama itu pertama kali. Dia lelaki yang menyayangiku.
“Ayo aku ingin kita ke suatu tempat”Karena aku sudah lelah mencari lagi, aku iyakan sambil tertawa geli. Itu salah satu dari sedikit hal romantis yang dia pernah lakukan. Lalu aku biarkan nama norak itu menjadi nama bukit kami. Lagipula aku merasa memang ada suatu gelombang yang kuat disana yang sudah menarik kami untuk menemukannya.
“Kemana?”
“Mendaki bukit”
“Hah? Bukit apa?”
“Bukit gelombang cinta” sambil tertawa genit dia lalu mengajakku setengah berlari.
“Memang kamu tau jalan menuju kesana?”
Dia menggeleng.
“Lalu kalau nyasar bagaimana?”
“Kita cari sampai dapat, sayang”. Kami lanjut berlari kecil menyusuri jalan yang dipagari rumput liar dan tinggi. Sampai lelah, akhirnya kami menemukan satu bukit kecil (entah itu bukit atau hanya gundukan tanah raksasa karena tempat itu kurang gagah untuk sebuah bukit). Hanya perlu beberapa langkah untuk mendakinya, kami lalu beristirahat disana.
“Ini dimana?”
“Nggak tau. Gimana kalau ini saja yang kita jadikan bukit gelombang cinta kita?”
Aku lihat orang lain sangat manis menghabiskan hari mereka. Saling bergandengan tangan duduk dengan lilin di atas meja lalu makan sambil berbisik penuh rayuan. Kami juga, manis dengan cara kami sendiri. Ribut hanya karena bingung harus memesan menu makanan apa, saat menunggu makanan datang dia sibuk mengambil foto wajahku dalam berbagai ekspresi dengan kamera besarnya, sesekali kami bergurau dengan ricuh.
“Sssttt kita ribut sekali, lihat pasangan sebelah bicara dengan berbisik dan mesra.” kataku pelan saat merasa keheningan disana terusik karena kami.Aku belum sempat berterimakasih padamu, Ubud. Atas cuaca yang cerah saat itu. Kalau tidak mungkin bukit gelombang cinta itu sekarang masih belum memiliki nama (atau bernama lain, nama biasa yang kurang menggetarkan telinga seperti nama dari kami, hahaha). Juga atas keramahanmu sudah menjadi tempat pelarian kami yang paling manis dan menawan.
“Biar saja, kita kan punya cara sendiri, bagi kita romantis itu ya yang seperti ini.”
Selanjutnya dalam sisa perjalanan kami, kami jarang bergandengan. Dia sibuk mengambil fotoku di setiap tempat yang kami lewati . Itu juga tak kalah manis menurutku.
Sekarang aku dan dia sudah lebih matang (sedikit). Kami sedang mengejar cita cita kami. Saat sukses nanti, kami ingin bertamu ke tempatmu lagi, melakukan pelarian kami yang lainnya. Maka sembari menunggu itu aku titip bukit kami yang kurang gagah di sudut kotamu itu ya. Jaga dia agar tetap memiliki gelombang gelombang cintanya sampai kami datang lagi nanti menengoknya kelak.
XO
oleh: @ratihastarida
diambil dari: http://ratihastarida.wordpress.com
No comments:
Post a Comment