(photo source: http://faldomaldini.wordpress.com) |
Aku menulis surat ini di Depok, di tempat segala sesuatu tentang kita bermula.
Di kota yang penuh dengan rindangnya pohon, sebuah telaga buatan, dan jembatan merah yang menghubungkan kemesraan antara para filsafat yang belajar sastra dengan sekumpulan manusia yang berlogika.
Kota di mana harapan membuka dekapannya mengucap selamat datang, dan melambaikan tangan saat kita melepas cita-cita dengan khidmat. Aku yakin kamu masih ingat tentang gemuruh merdu nyanyian adik kelas kita, yang berpacu dengan isak tangis orangtua kita sendiri. Iya, saat itu kita terlalu bahagia, terlalu sibuk saling mengingatkan bahwa kita akan tetap terus berkirim kabar. Terlalu sibuk dengan keriangan berpose di depan kamera bersama teman-teman yang lain.
Sayangku, aku sedang mengenang kita di kota sejuta peluk. Kamu dengan tawamu yang berderai bahagia, dan aku yang terlanjur jatuh cinta pada bunyinya. Aku merindukan malam-malam saat aku mengantarmu ke pintu kosanmu. Pun makan siang yang kita bagi dua, sebab kiriman orangtuaku yang datang terlambat. Lalu kamu yang minta ditemani membuat setumpuk tugas di perpustakaan. Atau aku yang sengaja menunggu di depan ruang kelasmu, demi sebuah kata maaf karena absensiku di malam Minggu.
Hapus airmatamu, Sayang. Aku tahu suratku ini membuatmu haru. Percayalah bahwa jika saja tanganku sampai, aku pasti sedang asik membelai rambutmu yang hitam panjang. Kemudian aku merindukan gerutu dari bibirmu karena kesengajaanku mengacak-acak ponimu.
Depok, kota ini penuh dengan kumpulan kenangan, di mana setiap jejakmu dengan mudah ku temukan.
Kota dengan keabadian kisah kita di dalamnya. Dari saat kali pertama aku menginjakkan kaki, hingga hari terakhir saat aku menggenggam ijazah sarjana yang membuatku bangga.
Sayang, aku tahu kisah kita berakhir, namun aku juga tahu bahwa kisah mereka baru saja dimulai.
Depok,
Untuk semua kisah di dalamnya.
oleh @mmychaan
diambil dari http://mmychaan.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment