Saya ingin menceritakan tiga kisah kepada kamu hari ini. Ketiga kisah itu terjadi pada pagi yang sama tujuh tahun lalu.
*
Hari itu, ia beranjak dari tidurnya lebih dini. Ingin sekali ia merampungkan sebuah puisi, perihal keinginan untuk selesai, untuk mati terkubur di laut biru tanpa nisan, tanpa peti. Dengan baju penghangat dan secangkir kopi, ia mulai menulis bait-bait yang ia ambil dari kesunyian pagi di luar jendela. Alam seperti gadis seusai mandi. Pepohonan dan rerumputan basah oleh hujan. “Hari yang indah untuk mati,” kata penyair tua itu dalam hati.
Sesampainya ia di kalimat pertama bait kedua, segala benda di sekitarnya menari bersama gempa. Ia masih sempat melihat garis-garis retak di dinding bata rumahnya yang sudah rapuh sebelum jatuh seumpama airmata. Seperti ada sesuatu yang lucu, ia tertawa. “Tuhan, aku tak mau mati dijepit tanah,” katanya.
Gempa reda. Penyair tua itu ingin kembali ke dalam puisi. Tetapi ia dihadang ombak yang hendak menjemputnya pergi. Menuju abadi. Berbaring di kedalaman laut penuh misteri. Sebelum terlempar dari kursi, ia tersenyum kepada diri sendiri. “Terima kasih, Tuhan, telah bertahun-tahun aku menanti maha puisi ini. Jangan biarkan cucu-cucuku…” katanya terpotong.
*
Seperti biasa, ia berangkat pagi buta. Ia meninggalkan rumah, istri dan anaknya. Ada banyak surat yang harus diantar seperti biasa. Buat orang yang rindu menunggu berita.
Ada seikat surat buat tentara-tentara dari istri mereka yang rindu suami tiada terperi. “Sungguh sepi mereka tidur sendiri malam hari dan takut suami tertembak mati,” pikirnya. Ada surat dari suami-suami yang tinggal sembunyi di luar negeri karena diburu-buru polisi. Mereka tak mau berdamai. Ada juga surat dari seorang ayah di lain pulau. Anaknya ulang tahun ke sepuluh. Surat itu bersampul merah jambu, diikat pita-pita ungu. Ada surat buat seorang kekasih, tentang kabar gembira kuliah telah selesai—sebentar lagi ia akan punya gaji sendiri ia pulang membawa diri. mereka akan menjadi suami-istri.
Sebelum surat-surat itu sampai, ada gempa dari balik tanah disusul gelombang air raya. Surat-surat itu entah di mana kini. Pak Pos itu juga tidak pernah ditemukan lagi.
*
Tidak seperti toko di kiri dan di kanan, tokonya selalu sepi pelanggan. Meskipun ia juga menjual kain, seperti toko-toko lain. Kalau ada orang yang mati, apalagi penguasa yang suka korupsi, ia sungguh bersenang hati. Kainnya laku terbeli.
Begitulah dari zaman ke zaman. Keluarganya dan ia hanya berjualan kain kafan. Agar hidupnya bisa terus berjalan, dan anak-istrinya bisa makan. Semalam ia lihat dari tv disiarkan, kamu ditimpa sesuatu yang dahsyat. Di mana-mana mayat berserakan. Mengiris hati, sungguh menyedihkan. Ia menangis. “Sungguh, ini bukan doaku, Tuhan!” katanya.
Penjual kain kafan itu paman saya. Ia tinggal di Balikpapan.
*
Suatu saat, saya ingin mengunjungi kamu untuk pertama kalinya. Sudah lama saya ingin menikmati kopi enakmu yang selalu diceritakan orang-orang di televisi. Semoga kamu baik-baik saja, Banda Aceh, meskipun saya tahu kamu selalu penuh masalah. Saya menghormati kamu sebagai kota yang sungguh tangguh. Karena itu saya senang memanggil kamu Bunda Aceh.
Terakhir, sejujurnya, dua kisah pertama yang saya ceritakan di atas rekaan saya semata. Jika kamu jeli, kamu akan melihat kesalahan di cerita itu. Tanggal 26 Desember 2004 adalah Minggu. Tukang pos libur. Saya cuma membayangkan kedua kisah itu terjadi ketika tsunami datang hari itu.
Hormat saya,
Aan di Makassar
p.s. saya pernah mencintai seorang gadis yang lahir dari rahimmu. saya tidak tahu di mana ia sekarang.
Oleh: @hurufkecil
Diambil dari: http://hurufkecil.wordpress.com
No comments:
Post a Comment