Selamat malam Kamu – yang tak kuingat namanya
Kalau kau mau tahu bagaimana aku mencintaimu, begini:
Aku tak mengandalkan penglihatan karena sepanjang yang kuingat aku hanya memandang punggung dan rambut ikal mencuat tak karuan, dari bangku di belakang bangkumu.
Aku juga tak meyakini kata-kata karena sepanjang yang kurekam, suaramu selalu tenggelam di tengah riuh obrolan dan gelak sesama teman… atau, sama sekali lesap ditelan senyap jam-jam ulangan.
Aku mengenal dan mengakrabimu seiring nafasku. Jauh sebelum manik mata bertubrukan dan menghasilkan buncah seumpama supernova pada sebuah jumpa pertama; sebelum kata dan nada suara sampai ke telinga… wangimu telah menyerbu ruang kenanganku. Belum lagi kutolehkan wajah, udara melesat mendului kehadiranmu dari balik dinding kelas. Saat itu aku langsung tahu, kau telah tiba di ujung pencarianku.
Apa kau tahu, tak ada orang yang benar-benar sama di dunia? Setiap kita adalah unik. Karena itulah, dalam gelap sekalipun, dalam senyap terpadat sekalipun, aku akan bisa membaui dan menemukanmu.
Kau hawa hangat yang berbaur dengan wangi perasan sitrun dan udara laut yang diperangkap dengan jala molekuler. Kau dan wewangian kegemaranmu itu (yang aku tak sempat tahu merknya apa) semakin menguar ketika terik matahari membuatmu berpeluh. Aku sangat mengenalinya sebagai aroma yang tidak tegas menuntut seperti bebauan kayu dan lumut. Tidak juga semenggoda vanila atau kesturi. Engkau … aroma yang mengesan kehangatan, akrab, tetapi juga segar, lapang, dan membebaskan.
Teringatku pada hujan deras hari itu. Kita berlarian berlindung ke halte terdekat, berdesakan dengan peneduh lainnya. Kali pertama kumemandang bola mata yang coklat muda bening di ketinggian tubuhmu. Kali pertama kudengar suaramu yang memecah derai hujan dan bertanya “Dingin? Ini, pakai dulu jaketku”, seraya kau mengangsurkannya. Aku tak menolak. Di hari berhujan itu aku terlindung tapi hatiku terbang tinggi sekali mencapai ujung pelangi. Kali itulah aku mengenal warna mejikuhibiniu.
Tetapi aku sudah jatuh hati jauh sebelum saat itu. Karena bukan mata yang membuatku percaya dan bukan suara yang menyerukan kau ada, melainkan aroma itu, wangi yang melingkupiku, yang mengungkapkan siapa dirimu, anak lelaki bengal namun penyayang.
Mencintaimu membuatku belajar, udara membawamu lebih cepat daripada suara mencapai gendang telingaku. Jantungku langsung mendegup keras begitu cupingku menangkap aromamu yang berkitar-kitar. Kau baru saja berlari melewatiku menuju kantin bersama teman-teman sepermainan basketmu. Meninggalkanku dengan ruas-ruas tubuh melunglai. Di saat itu juga aku baru tahu apa yang disebut-sebut orang sebagai love fools.
Di masa-masa itu kita tak banyak berbicara, bahkan aku belum sempat bisa memilah namamu di antara Denis, Daria, Dimas, atau Dikta… atau D yang lainnya. Aku tak sempat membotolkan aroma yang terbawa dalam jaket yang kaupinjamkan… lalu tiba-tiba aku harus ikut ayahku pindah tugas ke tempat-tempat yang jauh.
Kalau kau mau tahu, aku belum menemukan lagi wangi perasan sitrun dan udara laut yang sehangat perpaduan dengan wangi kulitmu. Kalaupun ada, selalu saja tidak tepat, mungkin karena terlalu banyak bawang putih di dalamnya, atau sebab lainnya, aku tak tahu. Yang jelas, semakin dewasa kubiarkan diriku menerima alasan-alasan pembenaran dan menjadi permisif dengan memandang mata atau menyimak kata-kata (dan mendapati janji sering kali diingkari).
Orang-orang menguji kejujuran dengan menelusuri gerak bola mata.
Orang-orang mengukur ketulusan dari geletar suara.
Tetapi aku tetap lebih mempercayai penghiduanku.
Kekasihku, sesekali angin membawa kembali kenang-kenanganmu. Aku tahu, kau ada di sekitar yang entah di mana. Pada saat itulah kukirim doa dan harapan dalam alirnya. Dan kali ini kutulis dan titipkan pada pos udara. Semoga sampai padamu.
love,
Aroma apel-merah-muda dan hujan-pagi.
oleh @Lily4R
diambil dari http://lily4poems.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment