“Pengakuan”
Teruntuk @Risyemarliana
Selamat Senja..
Ini sore yang kesekian kalinya, yang pada akhirnya benar-benar membuatku berani (setidaknya mengungkap meski hanya lewat tulisan) untuk mengatakan bahwa ada rasa yang hidup di dalam dada ini, milikku. Entah sejak kapan debar menjadi milikmu. Ketika rindu pun akhirnya ikut mengiyakan, bahwa kau lebih dari sekedar biasa.
Belajar dari pagi, yang mengirimkan embun, tak habis meski menguap di siang oleh terik matahari. Pun, ketika mengenalmu, sadar ketika mengingatmu membuat sesak. Aku seperti hilang nafas. Terhenti.
Aku hanya ingin mengenalmu. Lewat tulisan ini, kau harus tau, rindu adalah kata yang tak pernah lepas ketika mengingat namamu. Selalu dan selalu,, aku mencarimu di tiap timbunan linimasa yang berkeliaran mengungkap rasa. Ada saja kecewa saat kau tak menyapa. Seringnya aku cemburu, waktu melihatmu menyapa lain yang bukan aku. Sungguh, kalau bisa, kudatangi mereka satu persatu dan memintanya diam kepadamu. Kau harus menjadi milikku. Rindu ini terlalu gebu.
Namamu, tidak, tak kujadikan judul dibukuku. Sebab sudah lebih dulu kupilih rindu di sampul pembungkusnya. Kau tak apa, kan? Nanti, ketika buku itu telah terbit, kau akan kuberi satu. Supaya kau tau dan mungkin akan yakin, jika rindu yang milikku ini adalah untukmu. Rindu saja, ya.
Aku mencintaimu, sesungguhnya. Hanya saja, pernah kuceritakan di salah satu surat milikku, ada hal yang tak mungkin kudobrak semauku. Ini keputusanku. Bahwa pada akhirnya aku tak memilihmu menjadi cinta. Terlalu berat saat harus menjauh dan membiarkanmu pergi. Kita adalah anak-anak cinta, yang pada akhirnya harus mengalah pada apa yang telah ada. Keyakinan kita misalnya.
Bukan, bukan maksudku untuk tak menerima apa yang telah kau yakini. Hanya saja, birokrasi keluargaku terlalu rumit untuk dapat menerima. Semuanya, aku masih bergantung pada keluarga. Mereka adalah nafas yang membuatku tetap hidup. Maka aku memilih diam kepada mereka. Tak mendobrak, tak memberontak.
Tuhan kita satu, keyakinanmu-keyakinanku adalah dua yang pada akhirnya membuat kita nampak tak menyatu. Aku ini pengecut? YA!!! Berlari keluar untuk mendapatkanmu saja tak berani. Kita hanya berbeda keyakinan. Itu saja menurutku, dan hanya itu yang pada akhirnya membuatku diam. Bungkam.
Maaf, sampai pada titik rindu pada akhirnya aku bertekuk lutut. Mengalah. Menunduk dan berpaling dalam dada yang beramarah. Aku marah. Aku pernah menangis saat memutuskan pergi dan hanya menetapkanmu sebagai rindu, bukan cinta yang nyata. Aku lebih memilih ditampar oleh tanganmu daripada ditambar kekalahan tanpa perang ini.
Cukup saja sampai di sini. Sungguh aku mencintaimu.
Maaf untuk ketidakberanianku.. kamu, jaga diri ya.. rindu selalu mendoakanmu
Salam..
Tuhan memberkati
No comments:
Post a Comment