Selamat dini hari, kak. Surat ini untukmu. Seperti biasanya.
Kali ini remang- remang lampu jalan di
luar menyalakan kembali cahaya lampauku. Cahaya yang seluruhnya kamu.
Maka lagi- lagi aku harus membiarkan diriku tersilaukan kenang yang
benderang demi merampungkan secarik surat ini. Menelanjangi rinduku
sembari membayangkan senyummu.
Kak, mungkin kau perlu tahu. Menulismu
selalu tak semudah yang terlihat. Butuh keberanian yang besar untuk
menumpahkan asingku pada kata- kata. Sebab kemudian aku akan menyadari
bahwa kamu telah benar- benar hilang dari hari- hariku. Betapa bencinya
aku ketika harus mengakui bahwa aku menulismu hanya dengan bangunan
karakter di kepalaku.
Biarlah aku menyelesaikan sejumput
keberanian lain yang kukumpulkan, mendatangimu dengan segenap rindu
dalam kata- kata resah yang panjang dan membosankan.
Apakah kau masih ingat aku yang dulu? Si
gadis di tahun- tahun pertama sekolah menengahnya. Aku yang sembunyi-
sembunyi menikmati canda tawamu. Aku yang pucat pasi tiap berpapasan
denganmu. Aku yang begitu payah sehingga tak pernah berani berbicara
banyak padamu dulu itu. Dulu, ketika melihat kepulanganmu dari lantai
dua sekolah kita merupakan sebuah kebahagiaan yang sederhana dan cukup
saja. Klasik.
Aku setengah berharap kau melupakan semua hal- hal memalukan tentangku.
Setengahnya tidak.
Setengahnya tidak.
Hei, meski aku akan selalu menjadi seperti itu di matamu, bukankah suatu hal yang baik untuk tetap menempati satu bilik ingatan di benakmu? Jika ya, sungguh, aku lebih memilih untuk menjadi si-adik-kelas-payah ini.
Kakakku tersayang, empat musim panas dan
empat musim hujan telah berlalu semenjak dini hari pertama yang penuh
dengan percakapanku dan kamu. Bagiku ini selalu tentang kau, si kakak
kelas dengan rambut kepanjangan yang selalu dihukum guru konseling.
Kakak kelas manis dengan kerlingan nakal dan senyuman tengilnya. Kakak
kelas dengan pemikiran- pemikiran dan ekspektasinya yang begitu besar
pada dunia.
Waktu berlalu dengan tega. Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Waktu berlalu dengan tega. Begitu cepat. Begitu menyakitkan.
Kakak, ini adalah surat pertamaku dari
tiga puluh hari ke depan. Meski telah kutulis beratus surat untukmu dari
jauh hari yang lalu, meski akan masih ada yang lain setelahnya, jika
ini adalah permulaan lain yang kudapat,
.
ketahuilah bahwa aku memulainya dengan kamu.
.
Akan lebih banyak surat datang untukmu, kak.
Memikirkannya saja dadaku bergemuruh. Aku tak ingin surat ini sampai kepadamu sebagai satu dari sekian yang berserakan di depan pagar dirimu, sementara kau masih tertidur di dalam mabuk oleh anggur yang tak lain adalah kekasih lalumu.
Akan lebih banyak surat datang untukmu, kak.
Memikirkannya saja dadaku bergemuruh. Aku tak ingin surat ini sampai kepadamu sebagai satu dari sekian yang berserakan di depan pagar dirimu, sementara kau masih tertidur di dalam mabuk oleh anggur yang tak lain adalah kekasih lalumu.
.
Semoga surat ini membawa serta gemetar jari- jari dan cekat di tenggorokanku yang tak mau pergi.
Berjanjilah, bila kelak surat- suratku sampai juga kepadamu, bacalah
sampai habis. Sekali waktu rindu ini perlu teralamat. Bukankah kau yang
paling mengerti soal itu?Semoga surat ini membawa serta gemetar jari- jari dan cekat di tenggorokanku yang tak mau pergi.
Salam sayang,
Vel.
Vel.
dikirim @chaoticvel dari http://simfonimimpi.wordpress.com/2012/01/14/selalu-ada-permulaan-lain/
No comments:
Post a Comment