Jurning tercinta,
Surat yang kukirim ini memang bertemakan cinta, dan benar ini adalah surat cinta untukmu Jurning. Kau tak perlu heran. Sebelumnya aku ingin membuat pengakuan di awal surat ini sebelum kau membaca paragraf selanjuntnya, agar kau tidak berpikir macam-macam, pun persoalan kata ‘Jurning tercinta’ di atas hanyalah sapaan atau hanya sebagian kecil dari embel-embel percintaan.
Aku menulis surat ini di dalam gua tergelap yang pernah kusambangi, kau tentu tidak perlu merasa heran aku menulis surat ini didalam gua. Kau tahu betul kan apa pekerjaanku? sebagai seorang petapa. Sebetulnya aku ingin sekali menelponmu Jurning, kita bisa bicara banyak, sampai telinga menjadi panas, sayang sekali disini setitik sinyalpun tak ada, lagipula pulsaku sedang nol, maka hingga akhirnya aku memutuskan untuk menulis surat cinta untukmu.
Oh, maaf Jurning, maksudku hanya surat, hanya sepucuk surat, tanpa cinta.
Kukira kau masih mengingatku Jurning, setelah pertemuan pertama kita di sebuah danau di lautan seberang, dibatas waktu yang tak tercatat, dibelahan dunia tak terjamah. Kita menikmati senja dipinggir danau itu, di antara rentetan nyiur, semilir angin mendesah, segerombol burung bercericit di angkasa, bukit-bukit yang melingkari danau, menyamarkan waktu, langit biru menjadi abu-abu, jingga, orange, ungu, dan berubah gelap, matahari telah dikulum, dan malam.
Kukira kau masih mengingat senja di danau itu jurning. Senja yang hanya sesaat, pertanda hari telah di ujung. Tanpa memastikan esok hari ia datang kembali, karena itu lah jurning, karena itu aku menikmati hari-hariku seolah aku hanya hidup untuk hari itu saja. Barangkali kau tidak harus mengikuti caraku, kau tentu memiliki impian dan cita dihari depan, dan hari ini kau mempersiapkan semuanya untuk hari berikutnya: mulai dari menabung sisa uang jajan, mempelajari ilmu pasti, kuliah, minum susu sebelum tidur, laripagi, melakukan penelitian, menulis riset, menjahit supaya tidak cepat pikun, membaca buku, mengatur jadwal, tentunya dengan bekerja keras, dan segala macam daftar mencapai impian lainnya.
Aku masih tetap menjadi seorang petapa Jurning, seperti kataku dulu saat kau menanyakan apa pekerjaanku. Ah, kau jangan mengira menjadi seorang petapa itu tanpa alasan jurning, semua ini karena aku sebal dengan dunia. Dunia yang menyebalkan, atau aku yang menyebalkan? Soal ini, aku tidak tahu persis, tetapi di umurku yang keduapuluh tahun, dua belas tahun yang lalu—umurku saat ini 32 tahun—aku benar-benar merasa dunia menjadi sangat menyabalkan. Bagaimana tidak Jurning, seperti kenyataan, dan memang seperti itulah kenyataannya, orang-orang mulai saling tumbuk, dimana-mana selalu saja terjadi pertikaian, tipu-menipu, pesta-pesta setan, lidah-lidah yang suka menjilati apa saja. Belum lagi dengan hingar-bingarnya kehidupan kota, tumpukan pengemis, anak jalanan, dan pengamen, menjadikan kolong jembatan dan jalan layang sebagai tempat berteduh, disebalik deruman knalpot mengeluarkan asap-asap kotor, bunyi klakson yang mampu memecahkan gendang telinga, lain hal tentang pejabat negeri yang semakin semena-mena dengan jabatannya. Bukankah semua itu menyebalkan Jurning? Aku capek, aku tidak bisa menikmati hari-hariku di kenyataan yang sebegitu kacaunya, itulah satu-satunya alasan kenapa aku memutuskan untuk menjadi seorang petapa, yang sudah sejak dua belas tahun kujalani, menyambangi setiap gua-gua paling angker didunia, sebab didalam gua aku merasa tenang, pikiranku menjadi aman-aman saja. Barangkali kau juga tidak harus setuju dengan ini.
Seperti itulah keadaanku saat ini, terkadang aku berharap bisa menjadi Tuhan dan menciptakan duniaku sendiri, dimana setiap makhluk hidup yang menempati duniaku harus membayar pajak perbulannya dengan tarif yang telah kutentukan. Maksudku, aku bukan mungkar kepada Tuhan, tetapi lihatlah Jurning, lihatlah mereka yang menggusur rumah-rumah warga, meratakan suatu pemukiman warga dengan buldoser yang kemudian akan dibangun sebuah gedung raksasa kokoh mengangkang sombong. Bukankah mereka melampaui Tuhan? Bukankah mereka yang lebih mungkar? Seoalah lahan itu milik nenek moyangnya, seolah tanah itu dititiskan Tuhan hanya untuk menjadi miliknya saja. Padahal, kita memiliki hak yang sama, memiliki semua yang ada didunia, menikmatinya bersama, dan menjaganya. Begitulah, betapa mungkar mereka, sangat mungkar, dan akan tetap menjadi mungkar, orang-orang mungkar yang akan dicampakkan ke neraka.
Jurning tercinta,
Entah bagaimana harus ku akhiri surat ini. Mungkin harus dengan membuat sebuah pengakuan sebagaimana aku mengawali surat ini dengan sebuah pengakuan.
Jurning yang manis, sangat manis, dan akan selalu manis.
Mungkin sebaiknya aku mengakui saja bahwa aku sangat mencintaimu. Hanya dengan kalimat pengakuan ini aku bisa mengakhiri suratku kali ini.
PS: Kau tak perlu membalas surat ini Jurning, esok hari kukirimi kau surat cinta lagi.
~Dari gua penuh cinta
Surat yang kukirim ini memang bertemakan cinta, dan benar ini adalah surat cinta untukmu Jurning. Kau tak perlu heran. Sebelumnya aku ingin membuat pengakuan di awal surat ini sebelum kau membaca paragraf selanjuntnya, agar kau tidak berpikir macam-macam, pun persoalan kata ‘Jurning tercinta’ di atas hanyalah sapaan atau hanya sebagian kecil dari embel-embel percintaan.
Aku menulis surat ini di dalam gua tergelap yang pernah kusambangi, kau tentu tidak perlu merasa heran aku menulis surat ini didalam gua. Kau tahu betul kan apa pekerjaanku? sebagai seorang petapa. Sebetulnya aku ingin sekali menelponmu Jurning, kita bisa bicara banyak, sampai telinga menjadi panas, sayang sekali disini setitik sinyalpun tak ada, lagipula pulsaku sedang nol, maka hingga akhirnya aku memutuskan untuk menulis surat cinta untukmu.
Oh, maaf Jurning, maksudku hanya surat, hanya sepucuk surat, tanpa cinta.
Kukira kau masih mengingatku Jurning, setelah pertemuan pertama kita di sebuah danau di lautan seberang, dibatas waktu yang tak tercatat, dibelahan dunia tak terjamah. Kita menikmati senja dipinggir danau itu, di antara rentetan nyiur, semilir angin mendesah, segerombol burung bercericit di angkasa, bukit-bukit yang melingkari danau, menyamarkan waktu, langit biru menjadi abu-abu, jingga, orange, ungu, dan berubah gelap, matahari telah dikulum, dan malam.
Kukira kau masih mengingat senja di danau itu jurning. Senja yang hanya sesaat, pertanda hari telah di ujung. Tanpa memastikan esok hari ia datang kembali, karena itu lah jurning, karena itu aku menikmati hari-hariku seolah aku hanya hidup untuk hari itu saja. Barangkali kau tidak harus mengikuti caraku, kau tentu memiliki impian dan cita dihari depan, dan hari ini kau mempersiapkan semuanya untuk hari berikutnya: mulai dari menabung sisa uang jajan, mempelajari ilmu pasti, kuliah, minum susu sebelum tidur, laripagi, melakukan penelitian, menulis riset, menjahit supaya tidak cepat pikun, membaca buku, mengatur jadwal, tentunya dengan bekerja keras, dan segala macam daftar mencapai impian lainnya.
Aku masih tetap menjadi seorang petapa Jurning, seperti kataku dulu saat kau menanyakan apa pekerjaanku. Ah, kau jangan mengira menjadi seorang petapa itu tanpa alasan jurning, semua ini karena aku sebal dengan dunia. Dunia yang menyebalkan, atau aku yang menyebalkan? Soal ini, aku tidak tahu persis, tetapi di umurku yang keduapuluh tahun, dua belas tahun yang lalu—umurku saat ini 32 tahun—aku benar-benar merasa dunia menjadi sangat menyabalkan. Bagaimana tidak Jurning, seperti kenyataan, dan memang seperti itulah kenyataannya, orang-orang mulai saling tumbuk, dimana-mana selalu saja terjadi pertikaian, tipu-menipu, pesta-pesta setan, lidah-lidah yang suka menjilati apa saja. Belum lagi dengan hingar-bingarnya kehidupan kota, tumpukan pengemis, anak jalanan, dan pengamen, menjadikan kolong jembatan dan jalan layang sebagai tempat berteduh, disebalik deruman knalpot mengeluarkan asap-asap kotor, bunyi klakson yang mampu memecahkan gendang telinga, lain hal tentang pejabat negeri yang semakin semena-mena dengan jabatannya. Bukankah semua itu menyebalkan Jurning? Aku capek, aku tidak bisa menikmati hari-hariku di kenyataan yang sebegitu kacaunya, itulah satu-satunya alasan kenapa aku memutuskan untuk menjadi seorang petapa, yang sudah sejak dua belas tahun kujalani, menyambangi setiap gua-gua paling angker didunia, sebab didalam gua aku merasa tenang, pikiranku menjadi aman-aman saja. Barangkali kau juga tidak harus setuju dengan ini.
Seperti itulah keadaanku saat ini, terkadang aku berharap bisa menjadi Tuhan dan menciptakan duniaku sendiri, dimana setiap makhluk hidup yang menempati duniaku harus membayar pajak perbulannya dengan tarif yang telah kutentukan. Maksudku, aku bukan mungkar kepada Tuhan, tetapi lihatlah Jurning, lihatlah mereka yang menggusur rumah-rumah warga, meratakan suatu pemukiman warga dengan buldoser yang kemudian akan dibangun sebuah gedung raksasa kokoh mengangkang sombong. Bukankah mereka melampaui Tuhan? Bukankah mereka yang lebih mungkar? Seoalah lahan itu milik nenek moyangnya, seolah tanah itu dititiskan Tuhan hanya untuk menjadi miliknya saja. Padahal, kita memiliki hak yang sama, memiliki semua yang ada didunia, menikmatinya bersama, dan menjaganya. Begitulah, betapa mungkar mereka, sangat mungkar, dan akan tetap menjadi mungkar, orang-orang mungkar yang akan dicampakkan ke neraka.
Jurning tercinta,
Entah bagaimana harus ku akhiri surat ini. Mungkin harus dengan membuat sebuah pengakuan sebagaimana aku mengawali surat ini dengan sebuah pengakuan.
Jurning yang manis, sangat manis, dan akan selalu manis.
Mungkin sebaiknya aku mengakui saja bahwa aku sangat mencintaimu. Hanya dengan kalimat pengakuan ini aku bisa mengakhiri suratku kali ini.
PS: Kau tak perlu membalas surat ini Jurning, esok hari kukirimi kau surat cinta lagi.
~Dari gua penuh cinta
dikirim oleh @ahmad92
No comments:
Post a Comment