Hari ini, 14 Januari 2012, aku sebenarnya tengah berada di Bandung. Mencoba menyegarkan penat Semarang yang makin lama mejenuhkan tulisan-tulisanku. Tapi ternyata masa lalu juga menggelayutiku hari ini. Setelah kutemukan secarik kertas surat yang usang, di dalam laci mejaku di sudut kamar yang telah lama usang karena keluh kesahku. Entah siapa yang menulis ini. Aku tak ingat. Yang ku ingat hanyalah, aku telah menemukan surat usang ini beberapa jam saja sebelum aku berangkat. Yang aku ingat hanyalah, surat ini memaksaku duduk termangu untuk membacanya di ujung ranjang yang penat. Membuatku terlambat menuju Negeri Parahyangan.
Isi Surat Usang Itu:
: untuk N
Maafkan aku karena tidak menyertakan senja bersama dengan surat ini, seperti yang dilakukan Sukab pada Alina. Aku tahu, aku juga ingin mengajakmu untuk menatap keindahan senja yang bergurat-gurat indah di cakrawala. Tapi aku sedang tak ingin mengguyuri keindahan bumi ini dengan asinnya air laut, dan membuatmu melayang-layang sepi di atas Himalaya tanpa ada aku. Aku tak ingin pula memerangkap kembali tukang pos yang malang itu di dalam amplop hanya karena sepotong senja.
Aku hanya tak ingin menambah kekagetanmu. Tentu aku membayangkanmu akan terkejut setengah mati ketika menerima surat ini. Tapi, aku juga selalu membayangkanmu tersenyum-senyum malu ketika membacanya. Seperti saat kita pertama kali berada berdua di sebuah pantai tak berpasir. Atau seperti saat kita berdoa bersama di bawah masjid-masjid bermenara.
Mungkin kamu masih terkejut dengan tulisanku ini. Karena mungkin kamu telah lelah berharap aku akan menuliskan sesuatu yang romantis untukmu. Mungkin kamu berpikir aku telah kehabisan kata-kata indah untuk kuipersembahkan hanya untukmu. Tetapi bukan itu yang sebenarnya terjadi. Kamu yang telalu indah untuk digambarkan pada secarik kata, sayang. Dan mungkin dengan begitu kamu akan menganggapku penggombal yang tengik, yang hanya bisa mengelak dengan bualan-bualan kosong.
Padahal sesungguhnya aku telah jengah pada kata-kata semenjak aku menemukan cinta itu padamu. Aku benar-benar tak bisa menerjemahkan perasaan paling aneh yang memberangus di jiwaku saat kita tengah berasmara berdua. Mungkinkah itu yang manusia namakan cinta?
Aku selalu menganggap bahwa cinta itu layaknya kontemplasi mistis yang tak pernah bisa paripurna bila terucap dalam kata. Bahkan pertapa paling agung sekalipun tak pernah mau mendeterminasikan pengalaman batinnya hanya dalam kata, dan mungkin hanya pembual lah yang menganggap dirinya mampu menerjemahkan itu dalam kemutlakan makna hanya pada seuntai kata. Itulah cinta bagiku. Cinta yang melampaui kata-kata.
Dan kini, aku bukan sedang ingin membicarakan kata paling ambigu di dunia itu. Karena sejuta kata tak mungkin selesai untuk membicarakannya. Aku tak ingin kamu menjadi terlalu lelah untuk membaca berjuta-juta kata itu, dan matamu ikut bertamabah minus. Aku hanya ingin kamu merasakannya saja. Seperti angin yang kita rasakan saat hujan mengguyuri daun, laut, pepohonan, maupun kucing yang tersesat di atas pohon itu, yaitu ketika kita tengah berada di antara pantai yang tak berpasir pada senja itu.
Dan kini, aku telah berada di senja-senja yang selalu mengingatkanku pada hari-hari itu. Ya, aku tengah berada di Negeri Senja. Di sebuah negeri yang entah di mana. Di sebuah Negeri antah berantah, layaknya dongeng, yang hanya menyajikan senja sejauh lelah mata memandang dan kaki menendang. Tak ada teriknya matahari siang, tak ada kelamnya gulita malam. Senja-senja ini sungguh indah, sayang, mereka begitu indah mengguratkan warna-warna emas kemerahan hingga menembus cakrawala.
Aku selalu berkhayal bahwa kamu pasti suka jika berada di Negeri Senja ini. Aku selalu merindukan untuk dapat menikmatinya keindahan cahaya setengah mentari yang pancarkan awan keemasan ini bersamamu. Meski terkadang aku juga merindukan untuk melahap pagi, berteduh di antara cahaya siang hari, dan akhirnya terlelap di bawah gemerlap bintang-bintang bersamamu.
Aku mungkin telah menambah lagi kekagetanmu dengan membaca suratku ini. Maafkan aku yang tak sempat pamit, ketika ku harus berkelana ke Negeri Senja. Sore itu, seperti kamu tahu, memang seharusnya aku pergi ke Ibukota. Kereta Senja telah menungguku di stasiun Tawang. Seperti yang kamu tahu, aku ingin menikmati alunan musik yang tengah bereinkarnasi di sana. Tapi sekian menit sebelum keretaku berangkat, aku merasa perjalananku hanya semu.
Ya, tepatnya ketika aku melihat ruang loket baru yang hanya diperuntukkan bagi penumpang khusus. Ya, itu loket untuk menuju Negeri Senja. Sudah lama aku mendengar dan membaca cerita-cerita tentang kereta legendaris yang misterius itu, yang hanya ada di stasiun Tugu, Jogja. Ah, betapa terkejutnya aku saat ku tahu kereta Tujuan Negeri Senja itu juga ada di stasiun Tawang yang lebih sering dibanjiri air daripada penumpang.
Entah apa yang terbesit di benakku waktu itu hingga aku lebih memilih pergi ke Negeri Senja daripada ke Ibukota. Mungkin nanti ketika aku telah mampu merenungi kemelut batinku waktu itu, akan ku ceritakan padamu mengapa aku berada di sini berikut kisah perjalananku. Aku baru sampai ke Negeri Senja pagi ini, tapi di sini yang tampak hanya senja. Mungkin memang di sini memang jam tak lagi dibutuhkan. Mungkin memang hanya jamku saja yang menunjukkan kalau Negeri ini tengah berada di pagi hari.
Di sini tak ada pagi, tak ada siang, tak ada malam, yang ada hanya senja. Waktu seakan berhenti. Begitu pula dengan bunga-bunga yang tak pernah layu. Burung-burung yang tak pernah tertidur. Besi-besi yang tak pernah berkarat. Rumah-rumah yang tak pernah lapuk. Dan, tentu saja orang-orang yang tak pernah menjadi tua.
Aku merasa ada kebahagiaan indah yang terperi ketika ku pertama kali menginjakkan kakiku di sini. Meskipun kini kebahagiaan itu kadang terasa tanpa hadirmu di sini. Aku tahu, dengan begini, kita akan lama sekali tak bertemu. Pada akhirnya, mungkin memang kita diharuskan untuk melalui keterpisahan jarak seperti ini. Ku harap kamu mengerti. Terutama mengerti kerinduanku padamu saat aku berada di sini.
Aku tahu, akan sangat sulit untuk kembali ketika seseorang telah berada di Negeri Senja. Bahkan sebenarnya itu adalah sebuah kemustahilan. Aku hanya bisa berjanji untuk selalu mengirim surat kepadamu. Mungkin memang aku harus berada dalam keabsurdan Negeri Senja ini terlebih dahulu, untuk bisa menuliskan tulisan-tulisan yang selama ini kamu rindukan dariku.
Tetapi, bagaimanapun, aku ingin kamu percaya, bahwa suatu saat nanti aku akan kembali. Meskipun ketika aku kembali kamu sudah menjadi renta, dan aku masih seperti ini, aku akan tetap mencintaimu. Aku hanya ingin kamu mempercayai itu dan menjaga kepercayaanku padamu dengan kenangan-kenangan indah yang pernah kita arungi. Aku tahu, ini hanya sebatas surat yang penuh kata-kata, tanpa ada sepotong senja, tanpa ada setitik hujan, tanpa ada sehelai pelangi yang bisa aku bagikan padamu, kecuali hanya seonggok kata yang sejatinya hanya berisi kerinduanku.
Aku tahu, mungkin suatu saat nanti, ketika kamu tahu cerita-cerita tentang Negeri Senja, kamu akan mengutuki kemustahilan janjiku untuk datang kembali padamu di ujung negeri yang hanya menyisakan sedikit itu. Tapi aku ingin kamu tahu dan percaya, bahwa ketika aku menaiki kereta tujuan Negeri Senja ini kemarin sore, stasiun Tawang tengah banjir hebat dan petugas stasiun lupa untuk meminta tanda tanganku di surat persetujuan untuk tidak kembali. Entah kapanpun itu, yakinlah aku pasti kembali, sayang. Dan ketika hari kembali itu tiba, akan kubawakan cahaya matahari yang hanya nampak separo itu untuk dijadikan lampu di rumah kita nanti, dan juga sekerat senja di tepian gunung sebagai oleh-oleh bagi teman-teman kita.
: salam rindu dari kekasihmu…
Negeri Senja, 9 September 2010
: Ardian Agil WaskitoEpilog:
Begitulah yang tertulis di surat usang itu.
Terlanjur penuh debu, dan mungkin tak berguna lagi saat ini. Entah siapa yang menulis, aku masih tak mengingatnya. Entahlah, mungkin surat ini hanyalah kenangan dari penulisnya yang telah berlalu. Tapi surat ini tetap kulipat dan kukerat dalam amplop yang takkan lagi membuatnya berdebu dan bertambah usang.
Entahlah. Aku tiba-tiba merasa amnesia. Ah, tidak! Aku sekadar menderita identitas disosiatif (split personality) saja.
dikirim @agilunderscores http://underscoresofagil.wordpress.com/2012/01/13/surat-cinta-1/
No comments:
Post a Comment