Pernahkah papi tau, betapa inginnya aku menciumi papi setiap hari? Pernahkah papi tau, betapa aku ingin selalu bergandengan tangan dengan papi dimanapun saat aku berjalan bersama papi? Tapi sepertinya papi sudah segan melakukannya. Tidak seperti saat aku kecil dulu. Kini aku sudah mulai bertumbuh menjadi sosok yang jauh lebih dewasa. Bukan lagi irma si adek kecil, tapi irma yang sudah mulai mengerti berdandan dan mengerti pacaran.
Saat nikahan abang, air mata papi tidak menetes sedikitpun. Dan dengan tengil aku bertanya, “papi ga sedih abang menikah? kan nanti abang ga bobo di rumah kita lagi ?” Dan papi hanya tersenyum. Tak ada kata yang terlontar. Itulah yang sering membuatku kesal. Papi terlalu pendiam. Sedikit berkata. Dan aku selalu tidak bisa mengartikan diam nya papi. Dan dengan kesal aku menjawab “papi ga sayang abang kayanya. papi diem aja abang diajak pergi istrinya”. Dan dengan helaan nafas yang agak panjang, papi akhirnya menjawab “papi nyarikan abang pendamping abang yang sekiranya cadangan umurnya jauh lebih banyak daripada mami dan papi”. Papi mengelus rambutku kemudian beranjak. Dan aku masih diam tercekat sama jawaban papi. Ahh, aku baru tau betapa romantisnya papi, pantesan aja mami klepek klepek sama papi. Hehe.
Dulu saat masih sama sama dirumah, aku tidak terlalu banyak berkomunikasi dengan papi. Aku terkadang iri dengan papi teman temanku yang lainnya, yang lucu yang bisa dijadikan teman curhat. Dan papiku? Pendiam. Kenapa sih papi pendiam sekali?! Namun setelah aku mulai menyadari bahwa waktuku semakin sedikit dengan papi, aku mulai membangun apa yang tidak terbangun kemarin. Namun susah, papi tetap pendiam. Baiklah, aku menyerah untuk mengajak papi menjadi sosok yang periang.
Dan kini, aku berkuliah di perantauan. Jauh dari papi, komunikasiku dan papi jauh berkurang ketimbang saat aku di rumah. Telpon papi tidak pernah lebih dari tiga menit dengan tema pembicaraan yang sama kan?! Bahkan sebelum papi bertanya aku sudah bisa menjawab apa yang akan papi tanyakan. Hahahaa. Dan kita akan sama-sama tertawa diujung telpon.
Dear papiku yang pendiam dan tangannya sudah mulai keriput, aku kini tidak akan memaksa papi untuk menjadi periang. Aku kini akan belajar, mengerti apa yang papi katakan dalam diam. Terimakasih sudah menjadi papi terbaik di dunia (walaupun pendiam).
I love you papi.
No comments:
Post a Comment