Halo Tuan Arsitek,
Ada masa ketika nanti jari-jemari kita seolah membeku. Layar di depan
kita berpendar redup, kesepian tanpa garis dan kata. Ruangan ini hening
tanpa nyaring cumbuan jari pada papan ketik dan tetikus. Belum lagi
mulut kita yang saling terkatup sejak tadi.
Sunyi. Seakan-akan mereka kabur dan bersembunyi dari kita. Mereka
yang menciptakan riuh dan senantiasa mengajak pikiran ini berkelana.
Mereka adalah inspirasi.
Selama sesaat hela napas panjang darimu mengusir senyap yang
berkerumun. Aku menoleh padamu, memandangimu dengan wajah sama kusutnya.
Kamu mengusap wajahmu kemudian bangkit dari kursimu begitu saja.
Meninggalkan layar yang pelan-pelan menggelap serta lembar-lembar
Moleskine penuh coretan.
Aku kembali ke duniaku, masih bertahan dengan jari-jemari bersentuhan
dengan permukaan papan ketik. Sesekali aku menatap catatan-catatan di
Moleskine-ku, lalu kembali ke layar. Akan tetapi, tak satu pun deret
aksara bertambah di sana. Pelan-pelan aku menarik tanganku menjauh dari
sana. Tatapanku beralih pada kalender yang sekaligus berfungsi sebagai
papan jadwal—penuh warna merah di sana.
Deadline. Deadline-ku. Deadline-mu. Deadline kita.
Tik-tok-tik-tok. Jarum jam di dinding itu terus melangkah riang. Tanpa peduli aku yang sendiri dan kamu yang pergi.
Semua pikiran itu mendadak lenyap ketika melihatmu kembali. Penat
yang terpahat di air mukamu menyurut oleh senyum yang terhampar di
bibirmu. Kamu tak kembali sendirian, tapi ditemani wangi kopi yang
mengepul. Secangkir di tangan kirimu, secangkir di tangan kananmu yang
terjulur padaku.
Aku balas tersenyum seraya meraih cangkir di tanganmu.
Senyum yang menuntun inspirasi pulang kembali kepada kita.
Selamanya aku ingin tersenyum bersamamu.
Sampai jumpa di kesempatan yang tepat,
Nyonya Pengarangmu
Bogor, 18 Januari 2012
- surat @adit_adit
No comments:
Post a Comment