Kepada kamu, makhluk jangkung yang sering memanggilku bayi raksasa.
Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja. Akupun begitu, masih tetap berperan sebagai makhluk obesitas yang membosankan bagi kebanyakan orang kok. Ha-ha. Iya, ini tidak lucu.
Aku menulis surat ini di pojokan restoran junkfood yang biasa kita datangi bersama, walaupun kita saling melarang satu sama lain untuk memakan makanan sampah, lho. Biasa kita datangi bersama? Iya, dulu maksudku.
Iya, ini memang tidak penting bagimu.
Sekarang kamu di mana? Sedang apa? Berbahagiakah kamu dengan kekasihmu sekarang? Anakmu sudah ada berapa? Cantik seperti dirimu kah?
Iya, aku ini selalu penasaran dengan hidupmu. Aku masih sama dengan diriku tujuh tahun yang lalu. Atau mungkin lebih lama.
Ingatkah kamu? Sembilan tahun yang lalu, kamu menangis semalaman di pundakku, karena pacarmu yang menurutmu sangat tampan itu memutuskanmu. Aku hanya dapat memelukmu sambil mengusap-usap kepalamu malam itu.
Bolehkah aku sedikit mendeskripsikan perasaanku saat itu? Aku senang. Mungkin terdengar sedikit jahat, tapi sungguh, aku senang karena kamu tidak dimiliki oleh siapa-siapa lagi saat itu. Saat itu, kamu adalah milikku, yang kau anggap sahabatmu.
Ingatkah kamu? Delapan bulan kemudian, kamu berkata bahwa kamu kesepian karena tidak memiliki pacar. Kamu bilang kamu sendirian, dan kamu sudah tak tahan.
Lagi-lagi, aku hanya dapat memelukmu dalam diam sambil menahan perasaan.
Ingatkah kamu? Saat aku menceritakan tentang udara dalam toples yang jatuh cinta kepada seekor kupu-kupu di dalam toples, namun sang kupu-kupu selalu merasa sendirian dan iri pada makhluk hidup di luar toples. Sekeras apapun udara berusaha untuk menyadarkan sang kupu-kupu, kupu-kupu tak akan pernah menyadari kehadirannya karena udara hanyalah sesuatu yang tak terlihat. Kau terpesona mendengar kisah itu. Ingatkah kamu?
Apakah kamu sadar? Ketika aku menceritakan kisah itu, aku sedang menceritakan kisah kita. Kamu sang kupu-kupu, dan aku adalah udara yang terus menemani–meski tak terlihat.
Sebentar, aku ingin mengenang saat-saat kita masih dekat, dulu.
Dan tujuh tahun lalu, ketika seseorang yang juga amat mencintaimu melamarmu, aku mendorongmu yang malu-malu untuk menerima lamaran itu. Walaupun, jujur, aku iri pada lelaki yang berani melamarmu, tidak sepertiku yang pengecut ini.
Kemudian kamu menikah, dan lenyap entah kemana. Aku mencari dirimu yang dulu hingga lelah, kala demi kala. Jejakmu tak tersisa, hanya ada sebentuk raga yang jiwanya sudah berbeda.
Sebelum kita berdua sesungguhnya tiada, bolehkah aku mengutarakan sebuah rasa? Bolehlah jika setelah ini kamu membenciku, atau melupakanku untuk selamanya. Tak perlu jawaban atau respon apa-apa, aku hanya ingin kamu melanjutkan membaca.
Aku mencintaimu, Fiona.
Itu sebabnya hingga saat ini aku belum menikah juga. Biar saja orang mengejekku dengan sebutan perawan tua.
Iya, kamu boleh marah sekarang.
Tertanda,
Sahabatmu di masa lalu (yang selalu berharap bisa menjadi kekasihmu)
oleh: @teruuus
diambil dari: http://teruuus.wordpress.com
No comments:
Post a Comment