Selamat siang, Kisha tersayang..
Apakah tidak terlalu dini meraih suratku saat ini? Semoga kau telah
membereskan semuanya dengan baik. Satu-satunya yang kutakutkan adalah,
bahwa aku hanya akan menjadi lalat pengganggu bagimu.
Bagi seorang pecinta, impian terbesarnya adalah menjadi penyejuk,
pengayom, sekaligus penghibur bagi yang dicintai. Namun kadangkala bukan
perkara mudah untuk mendapatkan kesempatan berharga itu. Kecuali jika
mereka telah terikat dalam penyatuan sempurna yang bernama pernikahan.
Itulah mengapa pernikahan dianggap sebagai puncak dari pencapaian
perjuangan cinta. Karena hanya dengan melalui pernikahan maka impian
seorang pecinta dapat terwujud dengan mudah.
Ngomong-ngomong soal pernikahan, masih ingatkah kau bahwa dulu kita
sering bermain pengantin? Tentu saja pengantin bohong-bohongan. Kita lah
yang berpura-pura menjadi pasangan pengantin. Kau senang sekali memakai
mahkota dari jalinan rumput liar yang dipilin-pilin. Kau selipkan
kembang sepatu di telinga kirimu. Bagiku, kau tampak cantik sekali meski
kawan-kawan kita cekikikan saat melihat dandananmu. Aku, yang
berpura-pura menjadi pengantin pria, menyematkan cincin di jari manismu.
Cincin itu terbuat dari serabut akar yang telah kujalin. Kemudian
teman-teman yang lain berbaris berderet untuk menyalami kita, pura-pura
memberi selamat. Selanjutnya para tamu dan juga kita disibukkan dengan
pesta jamuan yang juga bukan sungguhan. Sajian penganan itu terbuat dari
tanah, batu bata, bunga, dan dedaunan. Kita semua bergembira seolah
benar-benar merayakan pesta. Namun jauh di lubuk hatiku, sempat terselip
doa diam-diam, semoga permainan ini kelak menjadi kenyataan.
Tapi aku pun ingat pada suatu momen ketika kita bermain
pengantin-pengantinan. Di tengah keasyikan permainan kita, tak sengaja
mataku menangkap bercak merah pada rok bagian belakang yang kau pakai.
Kau sendiri tampak tak menyadarinya, terus saja sibuk mondar-mandir dan
tertawa-tawa dengan teman-teman yang lain. Kupikir, apakah kau sedang
terluka atau bagaimana. Tapi sepertinya kau tak tampak kesakitan.
Mustahil jika itu adalah bekas bercak darah yang telah lama, karena
sepertinya masih baru. Maka saat kau sedang menyusun bebungaan di
sampingku, kugamit lenganmu. Kau menoleh padaku. Kutanyakan apakah kau
sedang sakit atau terluka, kau menggeleng. Aku bersikeras bahwa kau
sedang terluka — mungkin tersayat. Kukatakan bahwa aku melihat bercak
darah di rok bagian belakangmu. Kau terkejut dan segera memeriksa bagian
belakang rokmu. Keterkejutanmu semakin tergambar jelas. Saat itu juga,
dengan gugup kau katakan bahwa kau hendak pulang, tak lagi meneruskan
permainan. Aku menawarkan diri untuk mengantarmu.
Sepanjang perjalanan kau hanya terdiam, dan aku pun ikut-ikutan diam.
Kita saling berjalan bersisian dalam keheningan. Langkahmu tergesa,
membuatku semakin merasa khawatir. Kupikir kau memang benar-benar sakit.
Sesampai di halaman depan rumahmu, secepat kilat kau berlari ke dalam
rumah. Aku memilih duduk di teras rumah, menunggumu sembari
membolak-balik halaman koran yang tersedia disitu. Kutunggu-tunggu
sampai beberapa lama, kau tak kunjung keluar menemuiku. Aku semakin tak
sabar, sekaligus penasaran. Bagaimana keadaanmu? Apakah kau baik-baik
saja atau memang sedang sakit? Karena ketaksabaranku, kemudian aku
mencoba untuk melongok-longok melalui pintu ruang tamu sembari
memanggil-manggil namamu. Kau tak jua menjawab.
Namun tak seberapa lama ibumu muncul dan menemuiku. Pada beliau, aku
memberanikan diri untuk bertanya, “Kisha dimana, mama?” Lagi-lagi,
senyum ibumu terkembang sempurna. “Sepertinya hari ini Kisha tak bisa
bermain, Ramu.” katanya lemah lembut. “Memangnya kenapa, mama? Apa Kisha
sakit? Tadi aku melihat bercak darah di belakang roknya… Aku takut
Kisha kenapa-napa, mama..” Aku tak lagi bisa menyembunyikan
kekhawatiranku. “Tenang saja, Ramu. Kisha nggak kenapa-napa kok. Kamu
tak perlu cemas, ya. Kisha sekarang sudah jadi wanita yang lebih dewasa,
bukan anak-anak lagi. Sepertinya sekarang Kisha sedang ingin istirahat.
jadi besok baru bisa ketemu Ramu lagi, ya.” tuturnya lembut. Sejenak
aku merasa bingung. Apa maksud ucapan ibumu? Mengapa ia mengatakan
sekarang kau sudah menjadi wanita yang lebih dewasa dan bukan anak-anak
lagi? Tapi aku merasa tak enak bersikap terlalu cerewet di depan ibumu.
Maka dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan, kuputuskan untuk pulang.
Sesampai di rumah, aku enggan bergabung bersama adik-adikku yang
sedang menonton kartun di ruang tengah. Aku masih memikirkan kamu
sekaligus ucapan ibumu. Kulihat ibu sedang menata talam untuk persiapan
pengajian. Tiba-tiba terbersit pikiran untuk membagi pengalaman dan
ceritaku mengenai kamu kepada ibu. Biasanya, aku memang senang
mencurahkan segala kisah maupun isi hatiku kepada ibu, terutama ketika
aku sedang merasa galau. Maka kuhampiri ibu dengan hati-hati, kemudian
duduk di sisinya. Aku mulai bercerita tentang kejadian mengenai kamu.
“Itu namanya Kisha sedang dapat menstruasi. Perempuan yang sudah akil
baligh akan mendapatkannya setiap bulan. Mungkin yang dialami Kisha itu
adalah menstruasi pertamanya.” Ibu mencoba menjelaskan. “Memangnya
mengapa perempuan harus mendapat menstruasi, ibu?” tanyaku, masih tak
mengerti. “Kalau perempuan sudah mens berarti sudah boleh menikah dan
sudah bisa punya anak.” Jawab ibu enteng. Aku masih tak yakin, tapi
mencoba menerima jawaban ibu. “Apakah menstruasi itu sakit, bu?” tanyaku
lagi. “Tergantung. Ada beberapa perempuan yang merasa sakit, ada yang
tidak.” Sejenak aku mengkhawatirkanmu. Bagaimana jika kamu termasuk yang
mengalami sakit saat menstruasi? Namun teringat pada penjelasan ibu
bahwa perempuan yang sudah mendapat menstruasi boleh menikah dan punya
anak, aku tersenyum. Kubayangkan sebuah pelaminan dimana aku dan kau
duduk disana. Dan aku pun mulai membayangkan bayi-bayi…
Baru keesokan harinya aku dapat menjumpaimu di sekolah. Tapi tingkah
lakumu tak seperti biasanya. Saat jam istirahat berdenting, kau memilih
tetap tinggal di kelas, duduk di bangku belajarmu sembari membaca-baca
buku yang kau pinjam dari perpustakaan tempo hari. Kuajak engkau bermain
di halaman sekolah, kau menolak. Kurayu pergi ke kantin, kau pun tak
hendak. Aku pantang menyerah, terus saja mencoba mengajakmu mengobrol.
Tapi sepertinya kau sedang tak minat bicara banyak. Yang ada, kau justru
seringkali senewen. Kurasakan senyummu pun mahal.
Nyaris selama tujuh hari berturut-turut kau menjadi sosok Kisha yang
menjengkelkan. Kau jadi sedemikian sensitif bahkan terhadap hal-hal
sepele dan gemar marah-marah. Tentu saja aku yang seringkali menjadi
sasaran kemarahanmu karena memang akulah yang kerap memancing emosi
marahmu. Sempat aku merasa sedih, mengira kau telah bosan berteman
denganku. Kadang aku juga berpikir, jangan-jangan perubahan sikapmu
adalah efek samping dari menstruasi yang kau alami. Apakah seorang anak
yang telah menjadi gadis akan berubah menjadi semenyebalkan ini?
Bukankah itu sama sekali tidak menyenangkan? Kalau begitu, mengapa
anak-anak perempuan suka sekali berangan-angan untuk menjadi wanita
dewasa? Aku sungguh tidak mengerti.
Kisha yang seorang gadis cukup berbeda dengan Kisha kecil yang
pertama kali kukenal, meski perbedaan itu tak terlalu jauh. Setidaknya,
Kisha yang beranjak remaja tak lagi mau bermain lompat tali atau
memanjat pohon. Tak lagi mau mandi bersama-sama di sungai bendungan atau
berenang di tepi lautan karena kau tak mau mencopot baju sembarangan.
Begitulah alasan yang kau utarakan. Saat kita beranjak lebih besar,
satu-satunya aktivitas yang masih menjadi kegemaran kita adalah membaca
dan membicarakan cerita. Entah itu di bawah pohon di atas bukit, di
pantai, atau di rumahmu. Kita pun senang bermain monopoli, permainan
yang baru dibelikan oleh ayahmu. Di sekolah, kita semakin sering
menghabiskan waktu di perpustakaan.
Saat itu kita memang sudah menginjak kelas tujuh di sekolah menengah.
Kita masih tetap bersama-sama meski mulai jarang memainkan
permainan-permainan di masa kecil. Pelan-pelan, Kisha dan Ramu kecil
menapak masa-masa pra remaja yang menjanjikan gairah yang berbeda. Kita
mulai sibuk mencari-cari eksistensi pada dunia yang baru. Tapi aku pun
juga disibukkan oleh geliat rasa cinta terpendamku kepadamu. Seperti
mencermati gelegak air mendidih dalam ketel yang tertutup.
Sedangkan kau, semakin hari terlihat semakin cantik. Wajahmu yang
oval mulai terpulas bedak, membuatmu semakin bersinar. Aku senang sekali
memandangmu di kala pagi. Bahkan kesejukan yang kau timbulkan pada
mataku jauh lebih dahsyat daripada aku memandangi hijaunya rimbunan
semak. Tapi pernah pula aku melihat sebuah benjolan merah di sebelah
kanan hidungmu. Semula aku tak terlalu memperhatikanmu. Namun karena kau
bertingkah aneh dengan terus-terusan menutupi wajah bagian kanan dengan
tanganmu, aku pun jadi curiga. Saat kau lengah, aku baru dapat
mengetahui apa sebenarnya yang kau tutup-tutupi. Ah, rupanya kau sedang
berjerawat. Kau punya satu jerawat yang besar sekali! Memerah,
membengkak, dan menantang. Tentu saja aku tak asing dengan jerawat
karena wajah ibuku senantiasa dipenuhi jerawat. Tanpa peduli perasaanmu,
aku menggodaimu, mengolokmu tak bosan-bosan. Kupikir inilah saat yang
tepat untuk membalasmu setelah masa-masa murammu yang menyebalkan itu.
Kau semakin kesal padaku. Sambil mengejar-ngejar aku, kau lempar dengan
penuh emosi buku matematikamu hingga tepat mengenai kepalaku. Aku
meringis kesakitan, namun juga senang.
Aku telah cukup lama mengenalmu. Aku tahu betul bagaimana sifat dan
watakmu. Kau bukanlah seorang pemarah, dan sejatinya kau pun bukanlah
seorang pendendam. Yang tidak pernah berubah darimu, kau adalah seorang
anak, seorang gadis yang periang. Sejengkel apapun kamu terhadapku, esok
aku selalu masih menemukan senyum ceriamu. Esok aku selalu dapat
bermain bersamamu, berada di dekatmu.
Saat itu kita memang masih sering bermain ke pantai. Namun selain
pantai, sebenarnya ada pula tempat indah dan mengasyikkan yang menjadi
favorit kita. Bukit Mahligai, begitu orang-orang menyebutnya. Bukit itu
tak terlalu tinggi. Puncaknya hanya setinggi dua puluh meter dari
permukaan laut. Terdapat banyak bebatuan besar yang tersusun acak.
Tanahnya menghijau oleh rumput-rumput liar pendek. Beberapa penduduk
gemar memangkasi rumput disana demi memberi makan ternak mereka. Selain
semak-semak perdu, terdapat pula sebuah pohon akasia yang cukup besar
dan rindang. Kita seringkali bermain dan beristirahat di bawahnya.
Anak-anak yang lain pun kerap menjadikannya sebagai tempat bermain.
Jika siang hari, suasana disana lebih sepi ketimbang sore hari. Tapi
kita lebih senang kesana pada siang hari selepas pulang sekolah. Rasanya
lebih nyaman karena kita dapat menikmati semilirnya angin segar.
Kadangkala kau membawa buku. Aku senang sekali tidur-tiduran di salah
satu batu besar di bawah pohon itu sembari mendengarmu membaca buku
keras-keras. Kadangkala kita membaca berganti-gantian.
Di bukit itu kau pernah mengungkapkan sesuatu yang kemudian membuat
hatiku pecah berkeping-keping, patah hati sejadi-jadinya. Kala kita
sedang asyik berdua membicarakan sekolah, teman-teman kita, guru-guru
kita, tugas terakhir, sambungan serial televisi dan komik terbaru yang
kau miliki, tiba-tiba kau bertanya sesuatu dengan sikap diluar
kewajaran. “Ramu, menurutmu Andrea itu bagaimana?” Aku sempat bingung,
hal apa yang membuatmu tiba-tiba menanyakan soal Andrea. Sepanjang
obrolan, kita sama sekali tak pernah mengulas apapun yang menyangkut
murid pindahan itu. Tapi tiba-tiba kau menanyakannya. Aku was-was. Yang
menjadikan perasaanku tak enak, Andrea adalah seorang anak laki-laki
yang sepatutnya kucemburui. Ia adalah siswa pindahan yang masuk ke kelas
tujuh. Menruut banyak cerita, ia datang dari kota besar nun jauh
disana, kemudian ayahnya dipindahtugaskan.
Andrea seorang anak yang kaya raya, dari keluarga yang terhormat
pula. Wajahnya tampan, perawakannya menawan. Ia benar-benar berpotensi
menjadi idola murid-murid perempuan. Tapi aku sungguh tak berani
membayangkan jika Kisha-ku, Kisha yang kucintai diam-diam, pun menaruh
hati pada anak sombong itu. Kukatakan sombong karena sejauh ini ia
begitu pemilih dalam bergaul. Tatapan matanya terlihat merendahkan.
Gerak-geriknya terlihat sok, dan ia hanya mau berbicara dengan guru
ataupun teman yang sepadan dengannya. Mengetahui kau menyebut nama
Andrea saja sudah membuatku mulas. Dan yang membuatku merasa kesemutan,
kau menyebut namanya dengan tersipu malu, dengan wajah merah merona.
“Mengapa kau tiba-tiba menanyakan soal Andrea?” Aku menyelidik. “Aku
hanya sekedar bertanya. Menurutmu dia seperti apa? Apa kira-kira anak
seperti dia sudah punya pacar?” Jawabmu setengah berbisik, setengah
malu-malu. Ah, Kisha… Siapapun yang bertanya seperti itu, semua orang
pasti tahu bahwa ia memiliki perasaan tertentu pada orang tersebut.
Memiliki dugaan ini saja membuat hatiku rontok seketika. “Aku tahu! Kau
pasti menyukainya! Iya, khan?” Aku mencoba menyimpulkan. Sedapat mungkin
aku bersikap sewajarnya, seolah sama sekali tak terpengaruh. Aku harus
menjaga sikap seolah-olah aku memang benar-benar sahabatmu yang dapat
kau ajak berbicara apa saja – termasuk tentang seseorang yang kau taksir
sekalipun.
Kau justru makin tersipu. Mukamu benar-benar memerah, tawamu pun
merekah. Kau bahkan berusaha untuk meutupi wajah dengan kedua tanganmu.
Aku mencoba untuk ikut tertawa, menggodamu, membuat diri pun merasakan
senang seperti yang kukira sedang kau rasakan. “Dengar, Ramu. Aku hendak
menceritakan rahasia kepadamu. Tapi berjanjilah untuk tidak
membocorkannya pada siapapun, terutama pada teman-teman kita.” Mimik
mukamu berubah serius, dan sepertinya kau hendak membicarakan hal besar
kepadaku. Aku lebih mendekat, bersiap mendengarmu. “Dua hari yang lalu
Andrea mengirimiku surat cinta. Dia bilang dia suka padaku, dan ingin
menjadi pacarku. Tapi sampai saat ini aku belum menjawabnya. Menurutmu
bagaimana, Ramu?”
Hatiku mencelos kala mendengar apa yang kau katakan. Ah, ternyata tak
cukup hanya Romi yang menyatakan cinta padamu. Dulu aku sudah dapat
menduga dengan tepat bahwa Romi takkan punya peluang sama sekali. Namun
kali ini sepertinya berbeda. Anak laki-laki itu adalah Andrea! Dan ia
punya segalanya untuk menarik hatimu. Tiba-tiba tubuhku serasa
kehilangan tulang. Tapi kucoba menguatkan diri, bersikap sewajarnya
seorang sahabat. “Wah, itu bagus!” Seruku. Tapi kemudian aku sadar bahwa
aku telah berekspresi keliru. “Kau sendiri menyukainya, tidak?” tanyaku
supaya terlihat lebih perhatian. “mm… entahlah… Kurasa dia cukup
menarik…” Kau menjawab dengan setengah melamun. Benakmu mulai
mengembara. Kupikir aku tahu kau sedang mengembara kemana. Karena aku
pun mulai membayangkan sosok Andrea.
Sejak itu, aku dihujani mimpi buruk tentang kau dan Andrea. Hatiku
pedih tiap kali membayangkan kau akan menerima cinta Andrea dan bersedia
menjadi pacarnya. Bagaimana dengan perasaanku sendiri? Aku telah cukup
lama memendam cinta kepadamu. Sedangkan Andrea hanyalah seseorang yang
tiba-tiba muncul. Namun kemunculannya itu telah sanggup
memporakporandakan seluruh mimpiku, harapanku. Apalagi mengingat apa
yang dimiliki Andrea, membuatku harus menelan ludah menerima kenyataan
pahit. Aku bahkan tak layak untuk dibedakan dengan Andrea yang jelas
lebih kaya dan lebih tampan daripadaku. Aku sadar siapa dan bagaimana
diriku. Karena itulah yang membuatku tetap bertahan untuk lebih baik
memendam cintaku terhadapmu. Barangkali aku memang hanyalah pungguk yang
merindukan bulan. Kemarin aku mencoba untuk senantiasa berbesar hati
menerima cinta yang terpendam karena keadaanku sekaligus tipisnya
nyaliku. Tapi sekarang, ketika sosok Andrea tiba-tiba muncul, aku tak
tahu seperti apa sikap berbesar hati itu. Aku terpuruk. Aku kesal. Aku
marah.
Beberapa hari kemudian kau tergesa-gesa mengajakku kembali ke bukit.
Kau tak peduli meski langit sedang menggantung mendung. Katamu, ini
lebih penting daripada hujan. Sepertinya kau tak sabar hendak mengatakan
sesuatu padaku. “Ramu, aku mau minta tolong padamu. Kuharap kau tidak
menolaknya. Aku mohon, ya…” Kau merayuku. Kutatap wajah dan sorot matamu
yang tanpa dosa, menghiba dan penuh pengharapan. Melihatmu demikian,
siapa yang sanggup menolak? Andaikan saat itu kau minta aku untuk
memindahkan bukit pun barangkali aku bersedia. “Aku minta tolong padamu
untuk menyampaikan surat ini pada Andrea.” Kau mengeluarkan sebuah
amplop dari balik lipatan buku cerita yang kau bawa. “Surat apa ini?”
Aku tak tahan untuk ingin tahu. “Surat balasanku untuknya.”jawabmu. Aku
teringat cerita tentang Andrea yang mengirimkan surat cinta untukmu.
“Kau balas apa? Apa kau menerimanya?” Aku bertanya dengan dada yang
bergemuruh. Kau tak menjawab, melainkan hanya tersenyum lebar. Senyum
yang membuatku menyadari bahwa kau telah menerima cinta Andrea.
“Baiklah. Aku akan menyampaikannya besok di sekolah, ya.” Kataku sedikit
kaku. “Jangan, Ramu. Aku ingin kau menyampaikannya sekarang. Di sekolah
sangat berbahaya. Bagaimana jika anak-anak tahu? Pergilah ke rumah
Andrea sekarang. Kau tahu rumahnya, bukan? Aku mohon, Ramu…” Kau kembali
memohon. Kutangkap cinta di matamu. Tapi aku tahu, bahwa cinta itu
jelas bukan untukku. “Tapi sebentar lagi akan hujan, Kisha. Lagipula,
rumah Andrea cukup jauh… Perlu tiga puluh menit naik sepeda.” Aku
mencoba memberimu pengertian. Tapi tatap matamu terus menghiba. Tatap
mata yang penuh pengharapan, menyimpan sejuta asa, kerinduan, dan cinta.
“Baiklah, aku akan berangkat.” kataku pada akhirnya.
Dengan membawa surat cintamu, aku segera kembali ke rumah dan
mengambil sepeda. Sementara itu, gumpalan awan kelabu yang terlihat
berat menanggung beban berarak memayungi kampung Sammoa. Kukayuh
cepat-cepat sepeda bututku menyusuri jalanan tanah yang berkerikil
hingga mencapai jalan besar beraspal. Kuterjang batu-batu kecil yang
menghadang. Beberapa ayam kampung yang melintas dengan melenggang
berlari terbirit-birit hingga merontokkan helai bulu-bulu mereka.
Kukayuh pedal dengan kekuatan maksimal. Aku bersepeda seperti orang
kesetanan. Mungkin jiwaku pun sedang kesetanan. Mataku nanar menatap
jalan lurus ke depan, tapi benakku penuh berisi kamu, Andrea,
melintas-lintas, berganti-gantian. Kubayangkan kamu dan Andrea sedang
tertawa. Terus saja tertawa. Bukan tertawa karena memadu bahagia, tetapi
menertawaiku. Menertawai kebodohanku, kemalanganku, ketragisan nasib
cintaku. Bunga mawar yang kutanam dan kurawat sepenuh hati dalam hatiku
telah merontokkan kelopaknya satu persatu, pun dengan dahan yang telah
mengkerut layu.
Mendung semakin gelap, segelap hatiku. Kurasakan titik-titik air yang
mulai berjatuhan memerciki tubuhku, sepedaku, jalan-jalan, dan apapun
yang kulintasi. Aku sudah berjanji padamu. Apapun yang terjadi, meski
hatiku terkoyak, suratmu harus sampai di tangan Andrea. Ah, mengapa
harus Andrea? Anak itu selalu beruntung sejak lahirnya. Tidakkah pernah
terlintas dalam pikirannya bahwa keberuntungannya pun acapkali menggerus
keberuntungan orang lain? Lihat apa yang telah dia lakukan. Kau jatuh
bertekuk lutut menyerahkan cinta dengan begitu mudahnya. Padahal ia baru
beberapa bulan di sekolah kita. Seberapa jauh dia mengenal sosok Kisha?
Dan lihat! Betapa mudahnya ia menyatakan cinta dengan hanya perkenalan
dan kebersamaan yang takkan bisa dibandingkan denganku! Lagipula,
tidakkah kau menemukan kekurangan atau kelemahannya – yang setidaknya
mampu membuatmu mempertimbangkan lebih lama untuk menerima cintanya?
Perasaan dan emosiku terus berkecamuk hingga membuatku tak lagi peduli
dengan perjalanan yang dihempas hujan. Kaos dan celana pendekku telah
basah kuyup. Rambutku basah, wajahku basah, pipiku pun basah. Basah oleh
hujan dan air mata yang semakin deras. Barangkali suratmu pun juga
basah. Tapi aku tak mau ambil peduli. Biar saja basah, biar saja air
hujan melunturkan tulisan dalam suratmu yang telah meruntuhkan
harapanku, menghanguskan semangatku. Biar saja. Kalau perlu, biar saja
surat itu hancur menjadi bubur oleh hujan lebat yang terus mengguyur.
Itu bukan salahku! Salahkan saja hujannya. Salahkan Andrea!
Kekacauan yang menguasai pikiranku membuatku tak awas melihat jalan.
Ditambah dengan air hujan yang menghalangi pandanganku, membuatku
merasakan kesialan yang bertubi-tubi. Sekonyong-konyong rodaku menumbuk
sesuatu yang membuatku jatuh dan terpelanting. Lulutku memar membentur
aspal, membentuk goresan luka yang kemudian terasa perih saat terguyur
hujan. Beberapa jari kakiku terkilir, sakit sekali rasanya. Aku
berteriak dalam kesendirian. Aku merasa sakit keseluruhan. Sakit kakiku,
sakit juga hatiku. Kuurut-urut sejenak jemariku hingga sedikit merasa
lebih baik. Ah, mengapa aku selalu tidak beruntung? Bahkan sekedar
hendak menyampaikan surat pun aku masih juga tidak beruntung! Kuperiksa
keadaan, ternyata ada sebuah kayu lapuk yang tergeletak melintang di
tepi kiri jalan. Dengan mengabaikan luka yang kualami, aku segera
bangkit dan kembali meraih sepedaku. Kutabahkan diri untuk meneruskan
perjalanan. Luka di lututku terasa pedih. Namun hatiku jauh lebih pedih.
Andrea berdiri kaku di hadapanku. Ia terkejut dan terheran-heran
dengan kedatanganku. Ia menyuruhku masuk, tapi kutolak. Segera
kuserahkan suratmu yang kusimpan dalam saku celanaku. Surat cinta itu
telah benar-benar basah, namun tidak hancur – seperti harapanku. “Dari
Kisha”, kataku lirih. Aku mencoba tak banyak bicara demi menyamarkan
emosiku yang belum pulih.
Pelan-pelan Andrea membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya.
Ternyata ia pun masih dapat membaca baris-baris tulisan Kisha yang
indah. Ternyata hujan tak cukup banyak melunturkannya. Kulihat Andrea
tersenyum setelah membaca suratmu yang singkat. Ada binar bahagia pada
matanya yang teduh. Sialan! Anak laki-laki ini memang pantas disukai!
Meski seribu tahun aku sibuk mengorek-ngorek kekurangan dan
kecacatannya, aku pasti tak akan dapat menemukannya. Meski sebelumnya
aku sempat menduga bahwa ia adalah anak yang sombong dan angkuh,
nyatanya ia tersenyum ramah padaku dan mempersilakanku masuk. Hatiku lah
yang sebenarnya belum sanggup menerima kebaikannya. Ah, melihat
kesempurnaannya secara langsung, betapa jauhnya ia dibanding diriku.
Rasanya aku ingin mengecil serupa semut kemudian menghilang dari
hadapannya.
Terlalu lama berdiri di depan Andrea membuatku kikuk. Maka tak
menunggu lebih lama, aku berpamitan pulang. Ia sempat menahanku karena
hujan masih juga belum reda. Kupikir dia itu sedikit tolol. Jelas sekali
ia melihat aku datang dengan keadaan basah kuyup. Bisa-bisanya ia
masih mengkhawatirkanku dengan alasan hujan.
Meski luka itu masih menganga, tapi aku pulang dengan perasaan yang
lebih ringan. Setidaknya, surat yang ‘memberatiku’ itu telah kusampaikan
dengan sukses. Kurasa kau pasti akan senang. Kemudian kubayangkan
senyummu yang biasa terkembang saat sedang senang. Bukankah itu juga
akan menyenangkan hatiku? Apalagi yang bisa kuperbuat selain membuatmu
senang? Kau memilihku atau tidak, kau tetap adalah cintaku. Demi kamu
aku bahkan rela mengorbankan diriku di hadapan maut dengan terjun ke
laut. Mengapa sekarang aku tak rela menghancurkan hatiku sendiri?
Bukankah itu toh juga untuk kesenangan kamu, kebahagiaan kamu?
Dibandingkan dengan rasa cintaku terhadapmu, keegoisanku masih jauh
lebih kecil dan masih bisa kuatasi, meski dengan terpaksa. Barangkali
aku memang harus lapang dada menerima kenyataan ini. Aku harus tabah,
aku harus ikhlas, aku harus sabar. Bukankah orang sabar adalah orang
yang beruntung? Pak ustad mengatakan itu berkali-kali.
Aku membayangkan kau sedang diliputi perasaan bahagia dan jatuh
cinta. Tak bisa tidur karena memikirkan si dia sambil tersenyum-senyum.
Aku pun tak bisa tidur karena memikirkanmu, memikirkan hatiku. Kadang
aku menangis, tapi lebih sering kutahan-tahan. Saat kita bermain
bersama, kau pun mulai kerap membicarakannya. Tentu saja dengan hati
yang berbunga-bunga, dengan wajah yang berbinar-binar. Kau membicarakan
apa saja tentangnya dengan tertawa-tawa senang. Kau pun ingin aku
antusias dengan semua ceritamu, luapan perasaanmu. Aku melakukannya. Aku
ikut tertawa, menggodamu, mendengarkan dengan penuh perhatian mengenai
kisah-kasihmu bersama dia. Begitulah caraku membuat diriku sempurna di
hadapanmu. Apakah aku sudah benar-benar tampak sempurna waktu itu,
Kisha?
Sekedar itu tentu saja belum cukup. Bukankah aku juga cukup setia
menemanimu? Maksudku menemani kalian? Kadangkala kau memintaku bergabung
diantara kemesran kalian yang malu-malu. Entah itu di perpustakaan
sekolah, di kantin, atau dimanapun kalian memiliki kesempatan untuk
berduaan. Aku seolah menjadi penjaga yang siap mempertaruhkan nyawa
untuk keselamatan kalian. Masihkah kau ingat bahwa kita bertiga pernah
berjalan-jalan di pusat perbelanjaan yang terletak di pusat kota? Andrea
yang mengajakmu, dan ayahnya yang mengantar kita. Kau tentu takkan
mendapat ijin dari orang tuamu jika pergi seorang diri. Akulah yang
menjadi penyelamatmu, bukan? Di mobil Andrea yang besar, kalian berdua
duduk di tengah, sedang aku duduk sendiri di bagian belakang, menonton
kalian yang sedang saling curi-curi pandang. Bukankah orang tua Andrea
pun menyukaimu? Tentu saja menyukaimu karena derajatmu sepadan dengan
mereka. Lagipula, orang tuanya pun terlihat ramah dan baik, tak kalah
dengan orang tuamu. Nah, betapa kalian adalah pasangan yang sangat
serasi!
Tidakkah andilku memuaskan bagimu? Aku pun kerap menjadi penengah
diantara kalian. Seorang penghubung yang baik. Di minggu-minggu pertama
pacaran, kalian masih senang saling surat-suratan. Kau pikir siapa yang
menjadi tukang pos cinta diantara kalian? Di tengah hubungan, acapkali
kalian saling marahan. Apakah kau pikir hanya kau saja yang melampiaskan
segenap perasaanmu? Bahkan kekasihmu yang tampan itu pun bertingkah
laku sama denganmu. Ia kerap memintaku menjadi pendengarnya, menjadi
corong atas hasrat hatinya supaya engkau lebih mendengar, lebih
mengerti. Ia sering memintaku merayumu untuknya, dan kau pun sering
memintaku untuk membetikkan pengertiannya. Tidakkah kau merasa beruntung
berteman denganku, Kisha?
Andaikan ada yang mengetahui keseluruhan tentang sepak terjangku,
perasaanku, tentu mereka akan menganggapku gila. Menilaiku konyol.
Mau-maunya aku melakukan itu semua! Tapi bukankah sudah kukatakan bahwa
seseorang yang mencintai seringkali berlaku gila dan berbuat konyol?
Kecintaanku padamu membuatku gila, dan kebodohanku membuatku bertingkah
konyol. Antara gila dan konyol dalam diriku beda tipis. Aku gila
sekaligus konyol.
Lagipula, lambat laun aku pun mulai terbiasa. Terbiasa menerima
kenyataan bahwa selain ada aku dan kamu, juga ada dia. Pun terbiasa
untuk kembali menyimpan cinta cukup di dalam dada. Bukankah dari dulu
juga demikian? Barangkali aku memang harus mengikhlaskannya. Mencoba
untuk memiliki sikap demikian membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan
tenang. Tapi entahlah, kadangkala kupikir pun beda tipis antara
mengikhlaskan atau menyerah karena tak lagi dapat melakukan apapun. Pada
kondisi yang sepesimis itu, tak ada yang lebih baik selain sekedar
mengharap kamu bahagia dengan cara apapun yang kau kehendaki. Karena
bahagiamu, kusadari pun adalah bahagiaku. Bagiku, lebih baik
kutahan-tahankan diriku menatap keriangan kalian berdua daripada
kehilangan senyummu sama sekali.
Tapi entahlah, apakah kemudian aku harus bersyukur atau turut
bersedih. Tiga bulan menjelang, kujumpai kau terduduk murung di kursi
terasmu. Saat melihatku, seperti biasa, kau tak sabar untuk menumpahkan
segenap curahan hatimu. Kau ajak aku bergegas ke atas bukit. Disana kita
saling duduk bersisian. Saat kutanya ada apa, kau malah menutup wajah
dengan tanganmu. Di antara isak tangismu yang tertahan-tahan, kau
katakan dengan terbata bahwa hubungan cintamu dengan pangeran yang
sempurna itu telah berakhir.
Kisha yang kucintai,
Sesungguhnya apapun yang telah kita alami adalah anak tangga menuju
posisi kita yang sekarang. Jangan pernah disesali, jangan pernah merasa
bersalah, dan jangan pula membenci. Saat mengungkap semua ini kepadamu,
kuharap kau tak kecewa padaku dan menganggapku menggenggam belati di
balik punggungku. Kau tahu bahwa aku takkan pernah menyakitimu. Andaikan
belati itu memang melukai, maka ia hanya akan menusuk jantungku
sendiri. Namun itu tiadalah mengapa. Bukankah aku terbiasa dengan rasa
sakit? Bukankah sudah kukatakan bahwa bagi seorang yang mencinta, bahkan
rasa sesakit apapun takkan pernah dirasakannya? Maka janganlah kau
mengkhawatirkanku. Sejak dulu hingga detik ini, yang kupedulikan
hanyalah kebahagiaanmu. Andaikata kebahagiaanmu adalah dengan
mencabik-cabik diriku, hatiku, aku rela dengan sepenuh hati. Jauh lebih
baik daripada kehilangan senyummu sama sekali.
Kisha yang kucintai,
Barangkali kau merasa lelah sekarang. Aku pun mulai merasa lelah. Aku
telah mengungkap banyak hal kali ini. Regangkan sejenak otot-ototmu
supaya tak kaku. Tersenyumlah. Kau selalu lebih cantik jika tersenyum.
Lihatlah ke arah luar. Apakah masih terdapat cahaya disana? Jika iya,
berarti masih terdapat cahaya pula dalam hatimu, dalam rentang asa dan
harapanmu. Bersabarlah. Aku akan kembali menjumpaimu esok.
Yang mencintaimu,
A Ramu
surat @bintangberkisah
No comments:
Post a Comment