Untuk Jean-Marc. Yang menyatu dengan kulit jalanan, bersimpuh keringat pasir dan sinar bulan.
Yakin sungguh hanya ada waktu bagimu dalam keheningan malam. Dibungkus sekat cahaya dan tameng – tameng debu. Takkan Kau berpikir sebelum, bahwa tulisan bisa mengulum equilibrium. Mungkin dalam keseharianku yang sepi, keseharianmu yang tiada tepi, Kau tak sempat memikirkan bahwa diri yang terhimpit di tengah keramaian dan kesepian, kan dianugrahkan gumpalan tulisan yang ditatahkan nyawa sebagian.
Biar kuterangkan padamu di bawah langit gelap, disaat bintang yang nyenyak dalam pelukan dan keterikatan rasi dan rasa, seumpama Monalisa yang dilahirkan ke dunia, tanpa tahu senyumnya ternoktah untuk siapa dan mengapa. Ada sepi pada diri terkadang, ada kata – kata yang tak pernah bisa terwakili tulisan, dan lekatnya dekapan menghadang. Lalu hanya bisa bertandang, menerjang, dan panjang meradang. Tentang kerinduanmu pada manusia. Pada percintaan yang tak cukup jika harus kita debatkan, menatap begitu singkatnya tahun usia disematkan.
“Manusia terlalu sibuk mendengar perasaan orang lain, sampai miliknya lenyap -tak tahan diduakan.” kalimat itu bukan untukku saja, tapi sekalian Malakh berkeping hati lembaga baja, -berguguran tanpa sengaja. Terlontar keluar berdesakan, seakan mengunggu berabad –abad untuk dilesakkan.
“Manusia, hai manusia. Aku tak percaya keabadian.” Katamu lewat genggam tangan dan bukan sebuah ungkapan. Ada waktu – waktu singkat dimana Aku mengingat, betapa kau percaya bahwa tiada perasaan dan kesaktian di bumi mengikat. “Manusia mati kawan, Cintanya dibawa sekalian.” Katamu padaku saat itu. Aku tak pernah melawan, tak menyanggah, sunyi membangga. Kesepian membentukmu kukuh tubuh, hingga percintaan Kau pukul rubuh kala subuh. Takluk, pantang hadapmu berkubu.
Demikian itu, ini semua kutuliskan. Mengguncang ketiadaan dengan ketiadaan yang nyata. Yang terlihat mata. Terbaca kata. Jika keberadaan, kau tahu dusta.
oleh @MungareMike
diambil dari http://mungaremike.tumblr.com/
No comments:
Post a Comment