Kalau kau bisa bicara, pasti kau akan berkata “Saat aku tidak turun dan membiarkan Matahari bersinar terang benderang memerkan teriknya, Kau Manusia akan mengeluh panas dan mengharapkan aku turun. Tapi saat aku turun, Kau Manusia tetap akan mengeluh agar aku lekas beranjak agar aktivitas kalian tidak terhalangi olehku. Dasar Kau Manusia labil yang tidak bersyukur!”.
Duhai Hujan… aku sebagai penggemarmu tentunya merasa prihatin terhadapmu, banyak yang memujamu sebanyak yang mencacimu. Terkadang memang kedatanganmu terlihat seperti suatu konspirasi yang sengaja berkolaborasi dengan Dewa Zeus dan Dewa Poseidon. Ya, aku tahu memang fenomena alam akan membelamu mati-matian bersih dari segala konspirasi tersebut. Hanya saja, petir Zeus disertai gemuruh guntur dan halilintar yang bersahut-sahutan dan gelombang pasang surut di lautan wilayah kekuasaan Poseidon terlalu membuat kedatanganmu nampak didramatisir.
Buatku, kau memberikan banyak momen romantis dan aku menikmatinya. Aku suka mencium aroma tanah yang kau sapa saat baru menjejak bumi. Aku pun lega kau datang saat aku sedang menangis karena mengaburkan linangan air mataku. Suara hujanmu menutupi ketika aku merintih. Bahkan ketika tubuhku basah kuyup oleh deras airmu seolah segala lara dan rinduku meluruh bersih terbawa olehmu jatuh ke tanah.
Saat ini kau sedang turun, gerimis cantik membawa kesejukan. Rinai hujanmu membentuk titik-titik air di kelopak daun yang terlihat dari jendela kamarku yang sedikit mengembun. Suara gemericikmu menghadirkan ritme teratur menjadi nada yang terdengar menentramkan. Duhai Hujan, maukah kau menemani aku di sofa cokelat untuk menyesap kopi harum yang masih mengepul? Temani aku hingga jatuh terlelap dalam bungkusan selimut hangat.
Your name is RAIN and i am your fans.
No comments:
Post a Comment