Yang kau pegang ini hanyalah kartu pos warna coklat bergaris seadanya. Tak ada gambar jembatan Golden Gate di San Fransisco di sini, jadi kau tak perlu menuliskan puisi liris seperti Sapardi Djoko Damono. Bukan pula dikirim dari tempat yang jauh hingga kau tak perlu lagi melambai-lambaikan tanganmu dan dentingkan piano sendu. Tak perlu pula kau meligai pada kabut-kabut tipis yang turun di senja matamu. Aku hanya ingin kau mengingat tentang sebuah rindu.
Tak kau ingatkah sebongkah rindu yang pernah kau titipkan pada sepotong senja yang menjilat-jilatkan warnanya hingga lelah malam tiba? Tak kau ingat pula kah bahwa kau telah titipkan rindu yang sama pada suatu hari di mana masa lalu tak pernah begitu sepi? Tak kau ingatkah siapa dia? Perempuan yang tak pernah begitu jelita selain ketika paras sayunya mendekap rindu di bahumu, lalu kau memegang tangannya, dan takkan pernah ada kecantikan yang melebihi senja itu.
Aku hanya ingin sampaikan salam rindunya untukmu. Ia menanti surat-suratmu di setiap senja. Ia berharap pada suatu malam yang pekat, kau mengelindap ke atas balkonnya, layaknya Romeo yang dengan mesra memanjat ranting bebatu untuk sebuah senyum manis Juliet yang penuh rindu, dan ucapkan beberapa patah puisi cinta yang kau tuliskan sendiri dengan pena di sebuah kertas jingga yang kau kerat perlahan serupa bunga.
Datanglah, meskipun kau belum juga tau apa itu rindu. Seperti gerimis yang menyerupai kabut tipis di lembah kayangan yang memerah karena cinta, ia ingin kau menggeliat di setiap sejuk nafasnya. Ingatlah pesannya padaku semenjak kau pergi hingga senja kini,dari Sang Pagi
: sang jelita itu tengah merindukan surat-surat cintamu yang kau antar sendiri untuknya.
@agilunderscores
No comments:
Post a Comment