This isn’t a love letter, this is a group of sentences contains words
full of respect and a touch of humanity values, of a girl I hardly
know.
Teruntuk kamu, SPG Alat Pijat Elektrik yang 2 bulan lalu datang ke kantor. Saya lupa namamu. Wajahmu pun hanya samar-samar kuingat. Yang kutau, dandanan kamu menor, make-up tebal yang kontras dengan kulit gelapmu. Oh iya, satu hal lagi yang saya ingat: gaya pakaianmu yang seronok.
Apa kabar, Mbak?
Bagaimana keadaan sekarang? Masihkah hari-harimu kau isi dengan berkeliling menjajakan Alat Pijat Elektrik? Saya turut doa ya, semoga hidup semakin membaik. Life ain’t easy, every day is a struggle. Seeing you that day has given me a lesson to not complain too much every time life gets harder.
Mbak SPG, mencintai pekerjaan yang dijalani adalah hal yang sulit buat saya, jujur. Setiap pagi berjuang melawan kantuk, buat seorang yang susah bangun pagi seperti saya, itu adalah perjuangan. Siang-siang yang panas masih berkutat dengan kerjaan kantor, itu juga perjuangan buat saya. Bertahun-tahun begini, saya telah menjadi seorang pengeluh yang tak menarik. Saya sadar itu tidak benar, mengeluh itu berarti kurang bersyukur. Tapi tetap saja saya sering melakukannya, walau hanya dalam hati. Tiap hari selalu saja begitu. Hingga suatu hari kamu mampir ke kantorku.
Masih saya ingat ketika mbak datang, di siang yang terik, menjinjing tas yang cukup besar, sumringah menyapa kami semua. Masih saya ingat bagaimana ketika semua orang kantor tak ada yang tertarik dengan produk yang kau tawarkan. Masih saya ingat juga bagaimana mbak masuk dari satu ruangan ke ruangan yang lain, dioper-oper oleh semua orang kantor, termasuk saya. Hebatnya, mbak tetap ceria dan tak terlihat kecil hati. Ketika kau akhirnya pamit undur diri pun kau tetap terlihat ramah dengan senyum lebar yang mengembang di wajah menormu. Mbak SPG, kau pasti tidak tahu kalau setelah kau meninggalkan kantor, kami semua berebut mengolok-olok mbak, penuh semangat mengomentari dandanan mbak yang menor, dan juga pakaian mbak yang tampak seronok dan dipaksakan untuk menonjolkan lekuk badanmu yang agak berlebih. Ah, kalau ingat itu, saya jadi tak enak hati.
Mbak SPG, ingatkah mbak ketika akhirnya kita bertemu lagi di mushola belakang kantor tak lama setelah mbak pamit pulang itu? Mungkin kau tidak tahu mbak, tapi saya kaget, tak menyangka kalau perempuan yang sedang berwudhu itu adalah kau. Mbak juga mungkin tidak tahu betapa saya terharu begitu saya masuk mushola, saya melihat mbak mengeluarkan mukena dari dalam tas besar yang mbak jinjing itu. Mbak, you were really something.
Mbak SPG, ingatkah mbak ketika selesai sholat dzuhur saya bengong melihat mbak yang sedang memperbaiki make-up mbak yang tadi terbasuh air wudhu? Tetap dengan bedak yang tebal, lipstik menyala dan alis yang kurang rapi. Tapi ntah kenapa, semua itu justru menyentuh buat saya. Saya tau pasti kalau mbak melakukan itu karena tuntutan pekerjaan. Saya tau dan mengerti bahwa mbak seorang pekerja keras.
Mbak SPG, terima kasih buat obrolan singkat kita di depan mushola. Saya jadi mengerti kenapa mbak berdandan dengan make up tebal itu: biar tidak cepat luntur. Saya terharu ketika mbak bercerita bahwa mbak akan melanjutkan jalan kaki keliling kantor dan rumah menjajakan alat pijat elektrik di siang hari yang naudzubillah teriknya itu. Saya tersentuh ketika mbak mengatakan bahwa mbak menikmati pekerjaan itu. Kalimat basi “yang penting halal” yang mbak ucapkan saat itu, ntah kenapa terdengar seperti kutipan keren.
“Mas Den, saya mah biar kerja begini, saya yakini kalau pekerjaan ini adalah pekerjaan yang saya pilih saat ini. Bukan karena karena tak pekerjaan lain sehingga saya terpaksa memilih ini. Kalau suatu hari saya dapat pekerjaan yang lebih baik, ya Alhamdulillah sekali.” Saya akan selalu ingat itu, Mbak :))
Mbak SPG, siapa pun kamu, di mana kamu, bagaimana keadaanmu, saya di sini berterima kasih atas pelajaran sederhana darimu. Semoga Mbak baik-baik saja ya. Terima kasih sekali lagi, Mbak SPG Alat Pijat Elektrik :))
January 18, 2012
― @dennyed
Teruntuk kamu, SPG Alat Pijat Elektrik yang 2 bulan lalu datang ke kantor. Saya lupa namamu. Wajahmu pun hanya samar-samar kuingat. Yang kutau, dandanan kamu menor, make-up tebal yang kontras dengan kulit gelapmu. Oh iya, satu hal lagi yang saya ingat: gaya pakaianmu yang seronok.
Apa kabar, Mbak?
Bagaimana keadaan sekarang? Masihkah hari-harimu kau isi dengan berkeliling menjajakan Alat Pijat Elektrik? Saya turut doa ya, semoga hidup semakin membaik. Life ain’t easy, every day is a struggle. Seeing you that day has given me a lesson to not complain too much every time life gets harder.
Mbak SPG, mencintai pekerjaan yang dijalani adalah hal yang sulit buat saya, jujur. Setiap pagi berjuang melawan kantuk, buat seorang yang susah bangun pagi seperti saya, itu adalah perjuangan. Siang-siang yang panas masih berkutat dengan kerjaan kantor, itu juga perjuangan buat saya. Bertahun-tahun begini, saya telah menjadi seorang pengeluh yang tak menarik. Saya sadar itu tidak benar, mengeluh itu berarti kurang bersyukur. Tapi tetap saja saya sering melakukannya, walau hanya dalam hati. Tiap hari selalu saja begitu. Hingga suatu hari kamu mampir ke kantorku.
Masih saya ingat ketika mbak datang, di siang yang terik, menjinjing tas yang cukup besar, sumringah menyapa kami semua. Masih saya ingat bagaimana ketika semua orang kantor tak ada yang tertarik dengan produk yang kau tawarkan. Masih saya ingat juga bagaimana mbak masuk dari satu ruangan ke ruangan yang lain, dioper-oper oleh semua orang kantor, termasuk saya. Hebatnya, mbak tetap ceria dan tak terlihat kecil hati. Ketika kau akhirnya pamit undur diri pun kau tetap terlihat ramah dengan senyum lebar yang mengembang di wajah menormu. Mbak SPG, kau pasti tidak tahu kalau setelah kau meninggalkan kantor, kami semua berebut mengolok-olok mbak, penuh semangat mengomentari dandanan mbak yang menor, dan juga pakaian mbak yang tampak seronok dan dipaksakan untuk menonjolkan lekuk badanmu yang agak berlebih. Ah, kalau ingat itu, saya jadi tak enak hati.
Mbak SPG, ingatkah mbak ketika akhirnya kita bertemu lagi di mushola belakang kantor tak lama setelah mbak pamit pulang itu? Mungkin kau tidak tahu mbak, tapi saya kaget, tak menyangka kalau perempuan yang sedang berwudhu itu adalah kau. Mbak juga mungkin tidak tahu betapa saya terharu begitu saya masuk mushola, saya melihat mbak mengeluarkan mukena dari dalam tas besar yang mbak jinjing itu. Mbak, you were really something.
Mbak SPG, ingatkah mbak ketika selesai sholat dzuhur saya bengong melihat mbak yang sedang memperbaiki make-up mbak yang tadi terbasuh air wudhu? Tetap dengan bedak yang tebal, lipstik menyala dan alis yang kurang rapi. Tapi ntah kenapa, semua itu justru menyentuh buat saya. Saya tau pasti kalau mbak melakukan itu karena tuntutan pekerjaan. Saya tau dan mengerti bahwa mbak seorang pekerja keras.
Mbak SPG, terima kasih buat obrolan singkat kita di depan mushola. Saya jadi mengerti kenapa mbak berdandan dengan make up tebal itu: biar tidak cepat luntur. Saya terharu ketika mbak bercerita bahwa mbak akan melanjutkan jalan kaki keliling kantor dan rumah menjajakan alat pijat elektrik di siang hari yang naudzubillah teriknya itu. Saya tersentuh ketika mbak mengatakan bahwa mbak menikmati pekerjaan itu. Kalimat basi “yang penting halal” yang mbak ucapkan saat itu, ntah kenapa terdengar seperti kutipan keren.
“Mas Den, saya mah biar kerja begini, saya yakini kalau pekerjaan ini adalah pekerjaan yang saya pilih saat ini. Bukan karena karena tak pekerjaan lain sehingga saya terpaksa memilih ini. Kalau suatu hari saya dapat pekerjaan yang lebih baik, ya Alhamdulillah sekali.” Saya akan selalu ingat itu, Mbak :))
Mbak SPG, siapa pun kamu, di mana kamu, bagaimana keadaanmu, saya di sini berterima kasih atas pelajaran sederhana darimu. Semoga Mbak baik-baik saja ya. Terima kasih sekali lagi, Mbak SPG Alat Pijat Elektrik :))
January 18, 2012
― @dennyed
No comments:
Post a Comment