Sekuntum mawar, takkan pernah mengetahui keindahan
Jika ia tak menemukan seorang pemuja yang penuh cinta
Kisha yang cantik,
Semoga kamu mulai terbiasa dengan kehadiranku, ya.. Maksudku
kehadiran surat-suratku. Tapi barangkali menurutmu surat-surat cinta ini
seharusnya kukirimkan saat kita masih duduk di bangku sekolah menengah,
saat kita sedang terbakar gairah. Kadang aku kesal jika mengetahui
bahwa orang-orang semacam kita sudah dinilai tak lagi patut merajut sisi
romantika. Mengapa itu hanya dimonopoli anak-anak muda saja? Tapi, ah
sudahlah… Bukankah sudah kukatakan berulang kali bahwa nyaliku baru
lahir pada saat ini. Lagipula, selalu tak ada kata terlambat untuk
memulai atau melakukan sesuatu, bukan?
Andai saja kita benar-benar dapat menjejakkan kaki pada waktu yang
telah lalu, Pasti aku akan memilih untuk pergi ke Sammoa, saat aku masih
dapat menjumpaimu disana. Jika dibanding kesempatanku hidup di dunia,
kesempatan kita bersama-sama ternyata singkat sekali. Namun andaikata
memang singkat, mengapa rindu yang kutanggung sedemikian besar? Apakah
karena aku telah menyerahkan singgasana hatiku kepadamu, Kisha? Karena
rindu kepadamu, aku pun jadi merindukan semua-muanya yang pernah
berkaitan denganmu, yang pernah melekat pada kebersamaan kita. Aku rindu
tempat kelahiranku, rindu rumahku dulu, rindu pantai tempat kita
bermain dulu, rindu pada sekolah, guru, pun teman-teman kita dulu.
Sejak aku meninggalkan Sammoa, semua yang kudapat kemudian tak lagi
sama. Keindahan yang pernah kukecap tak lagi pernah kurasakan. Meski
telah menempati berbagai rumah yang berbeda, namun rumah paling indah
dan menyenangkan yang pernah kutinggali hanyalah rumah di Sammoa. Bukan
hanya karena aku bertetangga denganmu. Tapi semua yang ada disana,
apapun yang ada di Sammoa, ternyata tidaklah ada menandingi. Terutama
pantainya, selalu membuatku nyaman. Masyarakatnya, selalu membuatku
tentram. Meski ayahku bukanlah nelayan seperti kebanyakan, namun aku
merasa damai membaur dengan kehidupan pesisir. Kami pun tak pernah takut
pada apapun meski kami adalah golongan minoritas. Kau pun tahu bahwa
nyaris sebagian penduduk di pulau itu adalah umat Kristiani. Hanya
kampung Sammoa dan beberapa kampung yang terletak di pesisir lah yang
memiliki lebih banyak penduduk muslim, termasuk keluargaku. Tapi kami
benar-benar tak pernah bermasalah dengan perbedaan-perbedaan ini.
Melihat corak kehidupan di Sammoa, aku jadi tahu betul jawaban – apa
yang membuat bumi ini menjadi lebih indah, aman, tentram, dan damai.
Tiada yang lain selain rasa saling menghormati, menghargai, dan
tolong-menolong.
Masih ingatkah kau, bahwa saat-saat idul fitri dan natal adalah saat
yang sangat kita tunggu-tunggu? Ibuku akan membuat beragam penganan yang
hanya ia buat di hari lebaran. Dulu, kita selalu merasa kekenyangan di
saat-saat seperti ini. Kulihat kau pun senang jika bertandang ke rumahku
bersama ayah ibumu. Selain dapat mencicipi aneka makanan yang belum
pernah kau makan sebelumnya, ibuku pun biasanya membawakan beberapa
bungkusan untuk kau bawa pulang. Kupikir kau hanya doyan makanan-makanan
sejenis roti dan biskuit ala orang kota. Ternyata kau pun menyenangi
makanan-makanan kampung, terutama yang khas daerah kami.
Begitu pula di saat natal. Ah, aku rindu mencicipi kue-kue manis
dengan bentuk lucu-lucu buatan ibumu. Ada banyak toples biskuit yang
berjajar di meja tamumu. Kadang kau mengambilkan beberapa untukku jika
aku bermain ke rumahmu. Aku paling suka dengan kue yang diselimuti gula
halus berwarna putih. Aku pun pernah membantumu menghias pohon natalmu,
bukan? Seingatku, kau punya pohon natal tinggi yang hampir mencapai
langit-langit. Saat natal berakhir, kau pernah memberiku sebuah lonceng
kecil, sisa asesoris pohon natalmu. Katamu, lonceng itu untuk sepedaku
yang memang tidak memiliki lonceng. Barangkali bagimu sepeda tanpa
lonceng adalah masalah besar. Aku dapat memakluminya karena kau memang
seringkali sewot tiap kali kubonceng. Kita selalu terpaksa
berteriak-teriak jika hendak melintasi atau menyalip orang. Tapi bagiku
tidaklah bermasalah jika aku harus berteriak-teriak sepanjang jalan asal
aku memboncengmu. Aku selalu berdebar-debar, terutama jika kau
berpegangan erat pada pinggangku.
Kita pun seringkali bersepeda menuju laut, terutama sore hari selepas
pulang sekolah. Aku setia memboncengmu, sedang kau senantiasa
bersenandung ria sepanjang perjalanan sambil melambai-lambaikan kakimu.
Kunikmati setiap lagumu meski sesungguhnya aku tak tahu lagu apa itu.
Kadang kita berhenti sejenak di sebuah warung, membeli satu dua es lilin
untuk kemudian kita bawa sebagai bekal. Namun kau kerap menghabiskan
jatahmu sebelum kita sampai. Dan aku tak pernah tega untuk tak memberimu
jatah es lilinku yang hanya dua.
Bagi kita, bermain di pantai selalu mengasyikkan. Entah itu mencari
kerang-kerang atau sekedar tidur-tiduran beralaskan pasir. Kau akan
lebih banyak bercerita, sedang aku lebih senang mendengar. Tak jarang
kita pun senang berkejar-kejaran. Kau selalu tertawa cekikikan jika
kukejar, namun kau tak pernah sudi mengejarku. Acapkali kau berenang
bersama teman-teman perempuanmu di tepi laut. Dari jauh, aku hanya
mendengar derai tawa diantara kecipak-kecipuk kalian. Sebenarnya aku
ingin sekali bergabung denganmu, tapi aku tak bisa berenang. Kau bilang
kau pun tak bisa berenang. Tapi setidaknya kau masih bisa mengambang.
Sedang aku, kurasa hanya bisa tenggelam.
Ngomong-ngomong soal tenggelam, masih ingatkah kau pada peristiwa
yang menghebohkan itu? Barangkali kau dapat lupa, tapi aku takkan pernah
dapat melupakannya. Kau mengajakku untuk pergi ke karang kembar
(dikatakan karang kembar karena terdapat dua buah karang terjal
menjulang yang sangat mirip, diantara hamparan karang-karang besar kecil
yang mencuat di permukaan air laut). Letaknya tujuh puluh meter dari
bibir pantai. Jika air laut penuh, hamparan karang-karang itu serupa
pulau di tengah lautan. Namun jika surut, kita dapat berjalan
menyeberanginya dengan kaki telanjang. Menurut cerita kawan-kawan,
pemandangan disana jauh lebih indah karena terdapat sebuah gua kecil
yang menembus karang tersebut. Disana pun terdapat banyak bintang laut
dan kepiting yang terdampar, terselip diantara batu-batu karang.
Pada hari yang telah kita sepakati, sepulang sekolah, kita bertolak
menuju pantai. Kebetulan saat itu airnya masih surut. Maka dengan
bergegas dan berjingkat-jingkat kau menyeberangi daratan yang tersembul
itu, sedang aku mengikutimu dari belakang. Dari jauh, dua karang hitam
tersebut berdiri angkuh, menjulang seperti hendak menggapai langit biru.
Setelah berjalan selama kurang lebih sepuluh menit, sampailah kita
disana. Suasana terlihat sepi. Hanya terdengar kaokan camar yang terbang
melintas-lintas. Di saat-saat tertentu, karang kembar biasanya ramai
didatangi anak-anak. Tapi entah mengapa kali itu suasana begitu sepi.
Kau bersemangat menuju sebuah lubang yang terdapat pada karang besar di
sebelah selatan. Lubang itu menyerupai gua dan tembus ke sisi baliknya
yang kemudian langsung dipertemukan oleh hamparan laut nan luas.
Sementara aku asyik melihat sekitar dan mengagumi kejernihan air laut
yang menghijau, kau berteriak-teriak girang, memintaku menghampirimu.
Sepertinya kau menemukan bagitu banyak bintang laut indah yang
terdampar. Aku sendiri sebenarnya malas mengikutimu karena aku telah
terlanjur menemukan tempat yang nyaman untuk duduk-duduk sembari
memandangi beningnya air laut, mengamati ombak yang memukul-mukul batu
karang.
Kau tak lagi memanggil-manggilku. Aku pun tak lagi mendengar siul dan
senandungmu. Suasana yang sepi itu hanya diramaikan oleh suara-suara
alam yang lambat laun mulai terdengar mistis. Selintas ada semacam
perasaan khawatir sekaligus takut yang menjalariku. Khawatir kepadamu
yang tiba-tiba menghilang, juga takut pada suasana dimana kemudian aku
menyadari aku sedang sendirian. Aku berdiri dan beranjak menuju ke arah
gua batu karang itu. Sejenak aku merasa ragu karena kau pun tak
kutemukan disana. Sepi itu semakin mencekam.
Tiba-tiba kudengar teriakanmu, memecah kesunyian. Aku tak tahu dimana
kau berada, tapi dari arah suara aku menduga kau berada di balik batu
karang itu. Mendengar teriakanmu, aku sudah membayangkan yang
tidak-tidak tentangmu. Aku cemas kau terlibat dalam kesulitan. “Ramu,
Ramu.. Tolong aku!” Terdengar lagi lengking suaramu. Tak pelak jantungku
berdegup semakin cepat. Aku benar-benar menjadi sangat khawatir. Aku
benar-benar telah membayangkan hal buruk terjadi padamu.
Tanpa berpikir lagi, aku menapaki gua yang menganga itu. Hingga
tembus ke sisi di balik karang, aku tak jua menemukanmu. Kepanikan makin
menjalariku. Aku memanggil-manggil namamu, tapi tak kunjung ada
sahutan. Hanya suaraku sendiri yang kudengar bergaung-gaung, menghantam
karang, bersaing dengan riuh ombak. Aku berdiri di atas salah satu batu
karang. Tepat di depanku aku sudah bersitatap dengan laut lepas. Mataku
menyisir tiap-tiap sudut pandang, tapi tak jua kutemukan keberadaanmu.
Kecemasanku makin memuncak.
Tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang mengambang di lautan.
Berwarna merah muda, terombang-ambing dipermainkan riak air yang
bergulung-gulung tenang. Aku langsung teringat kamu. Bukankah kamu
sedang memakai baju merah muda? Kuamati semakin lekat. Ya, itu benar.
Yang mengambang itu benar-benar baju merah mudamu! Aliran nafasku mulai
terasa sesak. Telapak tanganku terasa semakin dingin. Keteganganku
menjadi-jadi. Bagaimana jika yang mengambang itu adalah kamu? Bagaimana
jika kamu…. tenggelam dan yang tersisa hanya bajumu? Seribu pertanyaan
dan dugaan mendera-dera pikiranku. Aku dicekam ketakutan yang hebat.
Bagaimana jika kamu hilang? Bagaimana jika kamu mati? Bagamana? Apa yang
harus kukatakan pada ayah ibumu nanti? Aku sungguh tak mau kehilangan
kamu. Aku belum siap untuk tidak melihat kamu. Air mataku menetes-netes
berlinangan. Kurasakan bumi ini seperti bergoncang. Langit seperti
hendak menimpaku. Lautan serasa hendak menggulungku. Apa yang ada di
benak dan pikiranku hanyalah kamu, kamu, dan kamu! Aku tak lagi bisa
berpikir apapun selain kamu! Tanpa pikir lebih panjang lagi, aku
mengambil ancang-ancang di salah satu batu karang yang kuperkirakan
lebih dekat dengan ‘kamu’ yang mengambang. Tanpa ragu lagi, kuputuskan
untuk terjun ke bawah, menjemputmu, menyelamatkanmu.
Tubuhku yang ringkih meluncur ke bawah, menceburkan diri. Aku hanya
berharap bahwa aku masih dapat menggapaimu, menolongmu, menyeretmu ke
tepian. Aku akan melakukan apapun untuk menolongmu, tak peduli meski aku
tak bisa berenang sekalipun. Tapi kurasa jika aku memusatkan pikiran
untuk menggerak-gerakkan kaki dan tanganku, aku pasti berhasil. Bukankah
seperti itu yang pernah kau katakan padaku? Dulu kau sering
memaksa-maksa aku untuk belajar berenang. Kau bahkan berjanji untuk
mengajariku berenang. Tapi aku selalu merasa malas, merasa belum perlu,
dan sepertinya juga tak akan memerlukannya. Saat itu aku menyadari bahwa
ternyata aku salah besar.
Kurasakan hawa dingin yang menyergapku saat air laut menyelimutiku.
Aku terus meluncur ke bawah, menuju dasar laut. Aku benar-benar seperti
batu yang terlempar ke kedalaman. Sungguh aku tak menduga jika laut yang
semula kulihat tenang, bersahabat, dan tak dalam ternyata mampu
menenggelamkanku. mataku berkerjap-kerjap tak bisa melihat apapun karena
tak terbiasa dengan air asin. Kaki dan tanganku terus gerak-gerak tak
tentu arah, tak berirama. Ketakutan mulai menjalari seluruh tubuhku yang
makin kelelahan. Tanganku terus menggapai-gapai ke atas, tubuhku
terombang-ambing dihempaskan gelombang, tanpa memiliki kesempatan
sedikitpun untuk menentukan arah. Mulut dan perutku telah penuh dengan
air yang terasa menjijikkan. Aku sudah tak lagi dapat menguasai diri.
Kupikir, tamat sudah riwayatku. Namun di saat-saat aku sedang bertarung
dengan maut, bayanganmu muncul dalam sekelebat-sekelebat. AKu mencoba
untuk menyebut-nyebut namamu, seolah engkau adalah Tuhan yang hendak
menolongku dengan keajaiban. Hingga kurasakan tenagaku makin terkuras,
aku tahu bahwa aku takkan lagi sanggup bertahan. Seketika itu juga,
semuanya berubah menjadi gelap.
Pendar cahaya yang tiba-tiba menyeruak membuatku silau. Samar-samar
aku dapat melihat jelas sekitarku. Ada ayah dan ibu di sampingku.
Kakak-kakakku dan juga adik-adikku merubungiku. Ada juga
tetangga-tetangga yang kukenal baik. Seorang mantri yang bertugas di
puskesmas sedang berdiri di pojok ruangan di sisi meja memberesi
peralatan medisnya. Lamat-lamat aku dapat merasakan sendi-sendi tubuhku
yang seperti baru saja diremukkan. “Lihat! Ramu sudah sadar!” Aku
menangkap pekik suara ibu. Seketika orang-orang mendekat mengerumuni
ranjangku. Aku terbatuk-batuk, dan ayah sigap memegangiku sambil
mengambilkan segelas air untukku. Saat kuteguk air itu, tenggorokanku
sakit luar biasa. Rasanya seperti menelan duri dan kau tak bisa
mengeluarkannya lagi. Melalui orang-orang yang berbisik-bisik itulah
lamat-lamat kuketahui hal ihwal yang telah menimpaku. Menurut ibu, aku
telah pingsan selama kurang lebih satu jam. Para tetangga dan nelayan
itulah yang menolongku, mengangkatku dari lautan yang nyaris
menenggelamkanku.
Aku langsung teringat semuanya, terutama saat-saat terakhir sebelum
aku pingsan. Aku teringat kamu. “Kisha, bagaimana dengan Kisha?” aku
memberondong ibu dengan tak sabar. “Heh, kenapa kau justru
mengkhawatirkan Kisha? Dia tidak apa-apa. Justru dia yang menolongmu
dengan segera memanggil orang-orang. Jika ia tak lekas mencari
pertolongan, kau pasti sudah dimakan paus, tahu!” kata ibu sewot. Ia
tampak sedikit gemas padaku.
Esok hari, kau menjengukku. Saat muncul dari balik korden kamarku,
wajahmu memberengut seolah-olah kau sedang amat marah kepadaku. Saat kau
mendekat padaku, kau langsung mendampratku, menumpahkan kekesalanmu.
“Dasar bodoh! Apa yang telah kau lakukan? Kau pikir dirimu seorang atlet
renang hingga nekat menerjunkan diri ke laut seperti itu? Apa kau mau
bunuh diri? Dasar tolol! Apa jadinya jika aku tak segera melihatmu!”
Emosimu meletup-letup. Kau bahkan meninju lenganku meski dengan pelan.
Aku tahu sesungguhnya kau tak berniat benar-benar marah padaku. “Tapi…
bukankah kau yang… Aku terjun karena melihatmu mengambang… Kupikir kau
yang tenggelam, makanya aku terjun untuk menyelamatkanmu…” Dengan susah
payah, aku mencoba untuk menyelamu, membela diriku. “Tenggelam apanya?
Dasar anak bodoh! Yang kau lihat mengambang itu adalah bajuku! Sewaktu
aku bermain dan berenang-renang, angin telah menerbangkan bajuku ke
tengah-tengah. Meski aku lebih pandai berenang daripada kamu, tapi aku
tak punya keberanian untuk mengambilnya. Kemudian aku bermaksud untuk
meminjam bajumu tapi aku malu menghampirimu karena aku sendiri tidak
memakai baju. Makanya aku bersembunyi di balik karang dan memanggilmu
dari kejauhan. Tapi seharusnya kau tahu dimana aku berada. Siapa
menyangka jika kau justru nekat terjun ke lautan… Apa kau tidak berpikir
bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa denganmu? Bukankah kau tahu
bahwa dirimu sendiri tidak bisa berenang? Huh, gara-gara kamu terpaksa
aku harus berlari-lari dengan tak mengenakan baju. Tapi mau bagaimana
lagi? Jika aku tidak segera memanggil orang-orang kau akan mati.” Kau
terus saja mencerocos tak habis-habis, mengulang-ulang kembali, dan aku
hanya diam mendengar – seperti biasa.
Ah, betapa tololnya aku ini… Betapa pendeknya pikiranku… Aku merasa
sedikit bersalah terhadapmu karena telah merepotkanmu begitu rupa. Tapi
kalau kupikir-pikir, momen yang telah terjadi itu begitu indah, begitu
dramatis, dan aku tahu ini akan menjadi kenangan indahku. Ada sisa rasa
manis yang kukecap dari kejadian buruk yang telah menimpaku. Aku senang
karena ternyata kau begitu mengkhawatirkanku, mencemaskanku. “Memangnya…
apa kau takut jika aku mati?” tanyaku iseng kepadamu. Sejenak kamu
terdiam, tak segera menjawab. Aku jadi salah tingkah, sadar telah
memberimu pertanyaan konyol. “Tentu saja aku takut! Bagaimana kalau
nanti hantumu terus menghantuiku seumur hidupku?” Jawabmu dengan
membeliakkan mata. Melihatmu dan mendengar jawabanmu, aku tak dapat
menahan tawa. Kau selalu berhasil menghiburku dengan caramu. “Lagipula,
siapa nanti yang akan menjadi temanku?” sambungmu lirih. Kemudian kamu
tersenyum padaku. Senyum yang manis sekali.
Kisha yang manis,
Meski waktu itu aku tampak sedemikian konyol di depanmu, di depan
orang-orang, di depan kedua orangtuaku, namun kini kusadari bahwa aku
harus bersyukur atas kejadian itu. Kurasa aku benar-benar melakukan hal
tepat dengan menerjunkan diri ke lautan. Andai saja tidak demikian,
tentu aku tak akan pernah memiliki cerita indah yang kan kubuat sebagai
kenangan. Asal engkau tahu, tindakanku yang bodoh dan konyol itu memang
semata-mata kulakukan karena cinta, karena rasa sayangku terhadapmu.
Karena aku takut kehilangan kamu. Terserah jika kau hendak mengolokku
dengan sebutan gila. Tapi andai kau pernah mengalami rasa cinta, kau
akan segera memahami – bahwa cinta itu memang membuat orang waras
berpikir dan bertindak seperti orang gila. Aku jadi tahu bahwa di
saat-saat tertentu, aku tak lagi dapat memikirkan apapun selain hanya
memikirkanmu. Kamulah ratu yang berkuasa atas benak, harapan, dan
impianku. Andai aku tak terjun ke laut, aku takkan pernah dapat
membuktikan padamu betapa sesungguhnya anak yang kecil dan ringkih ini
menyimpan cinta yang sedemikian besar. Saat memikirkanmu, aku tak lagi
peduli pada hidup ataupun mati. Aku tak lagi peduli pada keselamatan
maupun kemalangan. Bagiku, melakukan sesuatu untukmu, berkorban apapun
untukmu, adalah perwujudan nyata dari besarnya cintaku.
Segala apa yang kukatakan ini memang terucap dari seorang lelaki
berusia empat puluh lima tahun. Ramu kecil takkan dapat merangkai
kata-kata seperti ini — melainkan hanya sekedar dapat merasakan. Namun
ketahuilah, bahwa apa yang kuucap dan kuungkap saat ini adalah
pengejawantahan atas perasaan Ramu kecil yang memendam cinta kepadamu.
Barangkali saat itu, Kisha kecil pun takkan memahaminya. Lagipula, aku
pun tak bermaksud untuk terburu-buru mengusikmu. Cukuplah itu semua
sebagai bagian dari mengenali diriku sendiri. Ketika aku tahu bahwa
diriku pun dapat menjadi seorang ksatria berkuda putih yang membawakan
setangkai mawar setelah melewati ladang api yang berkobar-kobar, itu
sudah membuatku cukup bahagia. Sangat bahagia.
Selain itu, jika aku tak menenggelamkan diri, aku takkan pernah
merasakan kedekatan yang begitu intim denganmu. Aku sudah merasa sangat
bahagia ketika kau duduk di sisi ranjangku, menatapku dengan pandangan
iba dan penuh belas kasih, sesekali mengambil jeruk dan mengupasnya
untukku. Kau pun membawakan buku-buku cerita barumu yang takkan sudi kau
pinjamkan jika aku tidak sakit seperti itu. Bukankah itu indah?
Bukankah itu romantis? Yeah… tak mengapa, meski keindahan dan
keromantisan itu hanya kurasakan sendiri saja. Saat itu, aku justru
berharap supaya aku tak lekas pulih. Karena saat aku sehat dan bermain
denganmu, kau hanya akan berlari-lari mengitariku atau menyuruhku
mengejar-ngejar kamu. Itu cukup melelahkan. Tapi sekali lagi kutekankan,
apapun keadaannya, asal bersamamu, semua terasa menyenangkan.
Kisha yang kupuja,
Kini kau tahu seberapa dalam aku telah menancapkan cintaku di dasar
hatiku, dan itu terjadi sejak awal mula. Apakah kau menilaiku terlalu
berlebihan? Apakah kau mengira bahwa anak kelas enam tak sepatutnya
merasakan hal-hal demikian? Mungkin karena kamu memang belum pernah
merasakannya saat itu. Kau masih belum pernah jatuh cinta. Beruntunglah
kamu, karena kadangkala cinta itu juga merupakan siksaan. Tapi ayolah,
Kisha… Bukankah teman-teman kita sudah gemar saling membicarakan lawan
jenis? Mungkin masalah-masalah seperti ini sepatutnya memang hanya
berdengung diantara gemerisik bisik-bisik saja. Masih jarang yang
memiliki nyali dan keberanian seperti yang pernah dilakukan Romi, yang
telah kuceritakan pada surat sebelumnya. Dan aku, hanya satu diantara
sekian banyak yang terserak, yang sekedar mampu memendam cintanya
dalam-dalam, dalam kesenyapan.
Lega rasanya menungkap semua ini, meski aku pun tak berharap apapun
lagi darimu. Bagaimanapun, kebijakan waktu tetap berlaku. Setelah
berpuluh-puluh tahun terlewati, hal-hal yang telah kuceritakan kembali
kini hanya menjadi semacam ulasan kenangan yang menghibur kita yang
telah beranjak menua. Adakah senyum yang sempat terbersit di bibirmu,
Kisha? Apakah kau tersenyum karena kekonyolanku? Apakah kau masih
menertawai kebodohanku? Jika saat ini aku sedang berada di dekatmu,
tentu aku akan ikut tersenyum dan tertawa bersamamu.
Ah, sialnya, saat ini aku jadi benar-benar merindukan senyummu, Kisha!
Mungkin lebih baik aku tidur sejenak. Siapa tahu aku masih dapat
menjumpai senyum indah dan tawa renyahmu dalam mimpiku. Aku tak lagi
berharap apapun pada kenyataan, tapi setidaknya aku masih memiliki
harapan untuk kembali mengulang masa kecil dan keriangan kita di alam
mimpi. Apalagi yang tersisa?
Istirahatlah, Kisha. Segarkan kembali pikiranmu. Kumohon jangan
berpikir dan berprasangka apa-apa dulu terhadapku. Suratku masih amat
panjang, dan masih banyak yang ingin kuceritakan padamu. Kuharap kau
masih sudi membaca surat-suratku yang akan datang, dan aku akan
berterima kasih sekali atas waktu luangmu. Nyamankan tempat tidurmu,
basuhlah wajah cantikmu, dan aku akan senantiasa berdoa semoga kau
mendapatkan mimpi terindah seperti yang kau harapkan.
Dari yang memujamu,
A. Ramu
ditulis oleh @bintangberkisah
No comments:
Post a Comment