Teruntuk, Rahne Putri. Suar terang di garis waktuku.
Hari ini kukirimkan kembali surat padamu. Semoga mata indahmu tak
jenuh membaca tulisanku yang biasa dan terlalu sederhana. Namun
ketahuilah, Ne; dirimu adalah jantung yang mendenyutkan arti; dari
sekumpulan aksara mati dalam surat ini.
Ne, setiap kali mendapati potretmu lalu-lalang di linimasa, aku
selalu meyakini; mungkin Tuhan mencitrakan engkau, dengan
sebaik-baiknya, cinta; pati dari segala surya, cerlang bagi mata yang
memandang. Hingga kekagumanku selalu bertambah padamu. Indahmu, selalu
menautkanku dalam gambaran penuh pengharapan; untuk menatapmu lebih
dekat, dengan lekat.
Meski sejujurnya, perasaanku lebih dari sekadar kekaguman. Aku tak
bisa terus-menerus membohongi hatiku. Ne, Aku mencintaimu, dengan
segenap asa yang tak terbilang, lewat puisi yang tak tertuliskan.
Walaupun sepenuhnya aku sadar, puisiku jauh dari indah. Namun di
dalamnya kusediakan engkau tempat; yang bahkan lebih lapang dari dunia,
luas tak berbatas serupa langit. Ne, dari sekian banyak cara meraih
bahagia, aku pilih menjadi orang yang kau butuhkan; sebagai cinta. Pada
puisi kehidupan yang mengisahkan masa depan, pada semua doa baik tentang
kebahagiaan cinta.
Akan tetapi, semua terasa begitu muskil. Bahkan; Tuhan pun mungkin
tersenyum dan terbahak. Setiapkali kusebut namamu dalam doa; memintakan
takdir yang tak pernah Ia tuliskan. Belum lagi pada mereka-mereka yang
memandang; pastilah mencibir, padaku yang tak pandai mengukur
bayang-bayang diri.
Aku telah bercermin pada waktu; bukanlah cinta yang menorehkan pilu,
tapi hasrat yang terlalu. Serta bukanlah takdir yang memisahkan cinta,
tapi kebahagiaan kitalah yang memilih jalannya masing-masing. Aku tak
ingin terlalu muluk, serupa pungguk yang mendamba bulan di langit
tinggi.
Kita tak lebih dari lembaran kertas polos, bergantian ditulisi
takdir, bercerita tentang luka dan bahagia. Dan untuk semua kebaikan
cinta yang kelak kau tuju, Ne. Ambillah kebahagiaanku sebagai upahnya.
Lalu biarkan semua menjadi kisah yang urung waktu tuliskan.
Cukuplah bagiku, mengagumi indahmu dari kejauhan. Pada semua kata
yang kau rangkai dengan indahnya di linimasaku. Karena bagiku, kaulah
sejatinya pujangga; ibu dari anak-anak kata, merawat mereka di
rumah-rumah puisi, berjaga hingga kelak senja menutup hidup.
Aku akan selalu menantikan puisi-puisi terindahmu, meski mereka
bukanlah untukku. Setidaknya aku tahu, bagaimana caramu merindu.
Sesungguhnya cinta tak pernah mengenal kata akhir. Karena baginya,
semua adalah awal dari berbagai kebaikan. Aku takkan berhenti
mencintaimu. Cinta ini akan selalu mengagumimu. Aku percaya dan
meyakini, cinta akan menemukan kebahagiaannya, di hatimu.
Kepercayaan ialah caraku memerdekakan cinta, tumbuh dan
berkembanglah, di sepanjang musim yang kau suka. Di sini, aku akan
memandangi kuncup-kuncup cintamu dimekarkan waktu. Harum dan mewangi.
Kelak pada akhirnya, semua akan menjadi biasa. Kau bahagia bersama
cinta, dan aku merawat luka yang kau tinggalkan begitu saja. Kau takkan
mengenali apapun tentangku, kecuali hatiku yang selalu mengenali
rindumu, Ne.
Kecup dan peluk, untuk @rahneputri. Rumah yang selalu menjadi tempat bagi rinduku berpulang.
oleh @benjalang
No comments:
Post a Comment