karena beda antara kau dan aku sering
jadi sengketa. karena kehormatan diri sering kita tinggikan di atas kebenaran. karena satu kesalahanmu padaku seolah
menghapus sejuta kebaikan yang lalu. wasiat Sang Nabi itu rasanya berat
sekali: “jadilah hamba-hamba Allah yang
bersaudara”. mungkin lebih baik kita berpisah sementara, sejenak saja
menjadi kepompong dan menyendiri
berdiri malam-malam, bersujud dalam-
dalam. bertafakkur bersama iman yang
menerangi hati.
hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu
yang terbang menari melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan
pada dunia lalu dengan rindu kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah
mengambil cinta dari langit dan
menebarkannya di bumi dengan persaudaraan suci; sebening prasangka,
selembut nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji.
* * * *
Salah satu yang pernah ditulisnya mengenai persaudaraan. ‘dalam
dekapan ukhuwah’ judulnya. ukhuwan (persaudaraan) itu tak cuma diukirnya
melalui tutur aksara. tak pula hanya dengan ucap siram rohani.
Seperti enggan melewatkan pemanfaatan tiap kemajuan teknologi
komunikasi, ia pun menguntainya dalam jejaring sosial bersimbol burung
pembawa pesan. tak pernah dibatasi siapapun menguntitnya, mengikuti
setiap kata yang dikirimnya hanya dengan beberapa ratus karakter. kalau
aku percaya: mulutmu harimaumu, maka darinya aku pun belajar tahu bahwa
tuturku perangaiku serta pikirku penenangku.
Bukan soal seberapa besar beban yang terpikul di pundak. tak juga
mengenai rezeki tersendat yang terasa. atau tentang peluh yang berakhir
air mata. namun sosok itu mengajarkan aku dan ribuan pengikut (follower)
lainnya bahwa bukan Tuhan yang tak adil. melainkan aku saja yang
terlalu bebal menangkap dimana letak keadilan itu. sebab tak peduli
bagaimana hidup memperlakukanku, tapi yang penting bagaimana aku
memperlakukan hidup.
Ia bilang: lelah & payah, perih & sedih,
luka & kecewa, hilang & kurang, sempit & sakit; jadilah
kebaikan dalam iman & senyum Ar Rahman. Yang kutangkap, dalam syukur
semua terasa cukup dan nikmat.
Yeah, walau sukar tapi memang nikmat sekali ketika dapat mengucapkan
kepada siapapun yang kita kasihi: aku menyayangimu karenaNya.
Guru (baca: ustadz) Salim, kita tak saling kenal. kau tokoh dan aku
penonton. teruslah berlakon menebar ilmu dari langitNya. sebab masih
banyak yang ingin kusaksikan dari pertunjukkanmu yang disutradarai DIA,
dzat yang maha Besar, ini.
Terimakasih akhi, atas dekapan ukhuwahmu. Untukku, untuk kami, untuknya, untuk semua…
Barakallah ustdaz, akhi @salimafillah
ditulis oleh @diniharis
No comments:
Post a Comment