Untuk para penarik becak,
Jika aku mempunyai hak memberikan penghargaan. Kalian akan kuberi sebagai pekerja super.
Ini mungkin bukan surat cinta, hanya penyampaian rasa simpati untuk mereka yang takkenal lelah. Banyak orang yang memiliki dua mata tapi hanya menggunakan salah satunya. Mereka tidak mengindahi anugerah dari-Nya, aku menyesalkan itu. Pandangan mereka terhadap pengayuh becak terlalu keliru. Ada bermacam sifat dari para penarik becak, aku tahu. Sering aku menggunakan jasa mereka dan menemukan beragam respon dari bapak-bapak itu. Dulu juga aku masih menggunakan satu mata untuk memandangi kalian, pencari nafkah untuk keluarga di rumah. Semoga kali ini aku telah menggunakan kedua mataku.
Sabtu lalu tepatnya, kisaran pukul sembilan pagi ketika itu Bogor tengah diguyur hujan yang awet sejak dini hari. Aku beserta ibu hendak pergi ke suatu tempat dan tempat yang kami tuju hanya dapat ditempuh oleh becak. Hujan kala kami baru turun dari angkot sudah menuju deras, para penarik becak menawarkan jasanya untuk mengantar kami. Ibu sempat bernegosiasi soal harga untuk jarak tempuh ke tempat tujuan kami, ibu yang selalu menawar selalu berhasil menaklukan penarik becak. Harga awal sepuluh ribu rupiah dan harga akhir adalah delapan ribu rupiah. Selisih dua ribu mungkin cukup bermakna untuknya.
Jok di becak itu ditarik si Abang becak sedikit ke depan agar pantat aku dan ibuku yang sama-sama besar muat untuk duduk, ia sangat sopan mempersilakan kami. Di tengah perjalanan tak terbayang beratnya ia mengayuh, di tengah hujan deras, jarak yang lumayan tidak dekat, dan bayaran yang telah dikurangi dua ribu rupiah. Aku agak mengkhawatirkan kondisinya, ia harus kuat menerjang arus lalu lintas yang ramai dengan menyeimbangkan usianya yang kuyakin tidak kurang dari setengah abad.
Pak, maaf yah kalau berat.
Aku membatin terus dalam hati. Antara tidak tega dan belum berani bilang pada ibuku untuk memberi lebih bayaran untuknya. Ibuku super, ia seperti mendengarnya.
”Kalau kita tadi nawar itu nggak apa-apa. Tetap dikasih sepuluh ribu saja, dua ribu tadi sebagai sedekah. Lagipula, lagi hujan. Kasian abangnya.”, ibuku memang seperti pembaca pikiran. Aku tersenyum dan segera merogoh kantong celanaku, mengeluarkan uang kertas sepuluh ribu rupiah.
Sesampai di tempat tujuan aku memberikan bayaran untuknya. Ia merogoh dompetnya, mencari satu lembar dua ribuan.
”Sebentar ya, Neng.”
”Gak usah, Bang.” Seketika terlihat air mukanya antara terkejut dan bahagia. Aku melempar senyum padanya.
Untuk beban di atas 100 kilo, untuk cuaca yang tidak bersahabat, untuk lalu lintas yang padat, untuk jarak tempuh, dan untuk usia yang kini senja. Sepuluh ribu rupiah bukan balasan yang seimbang, pak.
Aku merenung, mencoba menilik lebih jauh tentang para penarik becak.
Jam berapa kau bangun pak?
Sempatkah kau sarapan?
Tidakkah bapak kedinginan oleh hujan dengan menarik becak tanpa jas hujan?
Kuatkah bapak menarik becak dengan beban yang berat, sementara berat badanmu tidak lebih dari 60 kilogram?
Bagaimana jika satu hari bapak tidak mendapatkan penumpang? Bagaimana bapak makan?
Seberapa lama kau menunggu penumpang?
Jam berapa kau pulang ke rumah untuk memberi makan keluargamu?
dan masih banyak pertanyaan untukmu yang enggan kutanyakan.
Satu saat yang lain, ketika aku berjalan sendiri. Sepanjang trotoar bertengger banyak becak. Para penarik roda tiga itu ada yang tengah berbincang satu sama lain, di dalam becaknya sambil menunggu penumpang. Apa yang kalian bicarakan? Tentang keluarga kaliankah? Mengenai pekerjaan yang kalian gelutikah? Ada pula yang tertidur pulas, sambil menutup mukanya dengan handuk kumal. Mengapa bapak tidak menarik becak? Apakah bapak lelah? Jam berapa bapak tidur semalam? Dan yang paling kukagumi ialah penarik becak yang tetap mencari penumpang meskipun sedang sepi.
Menarik becak itu mulia. Semua pekerjaan itu mulia, kecuali yang penjual kemuliaan.
Aku tau mungkin tidak ada satu penarik becakpun yang membaca surat ini, tapi untukku mencurahkan rasa simpati kepada pencari nafkah seperti mereka sudah cukup. Aku hanya bisa membantu melalui doa untuk kalian. Sebagai pekerja keras, kalian telah memberikan pelajaran bagiku untuk tidak membuang uang sia-sia. Untuk sepuluh ribu rupiah saja, jasa kalian itu jauh di atas nilai rupiah.
Dari seorang penumpang becak.
oleh: @sebutmawar
diambil dari: http://mardatilla.wordpress.com
No comments:
Post a Comment