Hai kau, Wajah yang Tenang,
Ketika aku menuliskan surat ini, rupanya sudah cukup lama sejak aku melepaskanmu. Aku sudah sempat lupa dulu lebih mengakrabimu dengan panggilan apa, elang penjelajah rimbakah? atau, gunung biru? Aku cuma ingat sosok kokoh dan parasmu yang jernih, yang sempat membuatku berpikir, mungkin Tuhan menciptakanmu dari segelas susu putih hangat.
Kalau kemudian ini adalah pucuk surat cinta… harus kuakui, bahwa walaupun aku telah melepasterbangkanmu dengan rela, cinta itu cuma berkurang manifestasinya. Residunya sendiri akan mengerak abadi di sudut hati. Menunggu waktu saja. Aku tetap percaya, pada kehidupan tak bermasa nanti, aku akan dipertemukan kembali denganmu. Aku pernah bilang begitu pada Tuhan…
Jadi, untuk sementara ini cukuplah. Mengenal dan mengharapkanmu sudah membuatku melangkahkan kaki jauh dari batas yang kupikir tadinya tak mungkin kulalui. Keberanian-keberanian untuk mengalahkan kegelisahan sendiri, menjejakkan kaki ke bukit-bukit yang pernah kau lalui, kutempuh hanya demi merasakan bagaimana menjadi kamu. Aku ingin mengecap dingin dan letih yang menggigitimu di puncak pendakian atau rawa-rawa yang senyap. Bahkan kuhikmati kegamangan dan debar haru ketika kau melawat tujuh puncak dunia, kisah-kisah yang sebelumnya tak pernah kudengar. Terima kasih sudah membukakan mata dan mengukuhkan derapku. Kau benar, surga-surga kecil di dunia itu adanya di kesunyian alam.
Seluruh rasa yang pernah menyala padamu itu mungkin serupa gunung-gunung yang kauakrabi. Teguh dan diam, tak berlalu ke mana-mana, bersembunyi dalam relung gua-gua di kelebatan rimbanya.
Ketika surat ini kutulis, kubakar agar abunya terbang sampai di halamanmu, aku tak merasa bersalah sedikit pun. Cinta itu tak bersalah, dia hanya perlu tahu diri akan batas-batas dan tidak menginginkan milik orang lain. Selamanya penilaianku akan tetap sama: kau, lelaki yang mulia.
Sampai jumpa di kemudian.
oleh @LilyaR
dimbil dari http://lily4poems.wordpress.com/
No comments:
Post a Comment