Aku Merindukanmu Sepanjang Hari
Teruntuk @falafu
Fa,
Di sini, aku hanya ingin menulis tentang langit, tentang kamu, mungkin tentang kita. Bukankah kita sama tahu, kau menyukai langit, pun aku?
—
• Pagi
Aku menyukai langit pagi, Fa, ketika kerpas daun begitu merdu menjangkau telinga, dan suara adzan memecah hening dalam doa. Aku pasti sedang duduk bersandar pada sebuah bangku di bawah tudung pagi dan menyesap secangkir teh ketika mengingatmu. Aku bayangkan, kau ada di sisiku, sementara embun berteduh di kelopak dedaunan dan matahari terbit di beranda timur, pantulkan hangat cahaya di wajahmu.
Aku begitu menyukai pagi, Fa, hanya karena kuntum mengingatkanku pada sipitnya matamu ketika tertawa. — Barangkali nanti, kita bisa duduk bersisian di beranda, memulai percakapan sejumlah rindu dan harapan. Aku pasti terharu ketika uap teh mengembun di pipimu.
• Siang
Aku menyukai langit siang, Fa, di mana dunia terlihat lain dan mengherankan, seolah kita hidup dalam kamera monokrom--hitam-putih, dalam pagut cahaya dan bayangan. Bukankah hanya pada tengah hari, ruangan bisa menjadi sepekat kopi, dan jendela terlihat mengambang di tengah dinding, memantulkan cahaya nan putih? Namun ternyata, matahari bisa begitu ramah, ketika pikiranku hanyut dalam luasnya rindu, padamu.
Aku begitu menyukai siang, Fa. Barangkali setiap lipatan awan pada langit di kotaku mampu mengembuskan rindu dalam bentuk angin di kotamu. Aku pasti senang bila rinduku dapat dijadikan bisikan lembut di helai rambutmu, sementara kau mulai gerah dengan teriknya waktu.
• Sore
Dan aku menyukai langit senja, Fa, dengan pijar lembayung di sudut-sudut cakrawala, di mana biru perlahan pudar di tengahnya. Aku hendak menulis namamu pada rekah bianglala--bagaimana rindu mulai mengatup di tengah ramainya kota dan belaian puisi menghantarkan hangatnya cinta. Lalu aku teringat bahwa aku sedang menangis, merasakan degup jantungku sendiri, dan tiba-tiba saja gerimis mengembun di jendela hatiku.
Aku mencintai senja, Fa, begitu mencintai senja. Entah dengan alasan apa. Mungkin karena ia begitu lihai menyiasati pertemuan, menyampaikan rasa rindu, pun segala kesementaraan, dalam hidup.
• Malam
Aku menyukai malam, Fa, seperti aku menyukai langit ketika purnama sedang berkilau. Begitu hijau, menuliskan butir-butir rindu. Aku pun tahu, ketika gelombang pasang dan laut berkabut dalam sunyi, ada bayangan teduh di risau dedaunan, mengembuskan rinduku menjadi gemuruh. Barangkali kau menyukai purnama, Fa, sama sepertiku, barangkali kita dapat memandangnya dalam getar, meski di tempat berbeda.
Aku menyukai malam, Fa, dan aku merindukan kenangan yang terukir di dalamnya. Bagaimana rembulan menjelma perak cahaya, menyibak rahasia indahnya engkau, sementara aku tak habis-habisnya terkesima, pada senyum dan lesung pipimu. Tahukah kau, setiap titik waktu yang kaupetik dalam hidup, telah menjadi karunia, di hidupku.
• Fajar
Fa, aku mungkin mencintaimu dan aku tak berani memastikannya. Aku hanya takut jika jatuh terlalu dalam dan hanyut terbawa perasaanku sendiri. Pengecut, bukan? Sementara kau begitu lantang meneriakan cintamu pada langit, aku justru menyembunyikan dan menyimpannya di sudut paling sunyi.
Aku juga berharap, sampai kapanpun kau tak pernah tahu siapa aku. Aku hanya ingin kautahu, ada seseorang yang sangat menyayangimu, di sini--di sudut tak terlihat. Sebab, seperti dinihari ketika lonceng tak lagi berdentang, dan langit menjadi sangat sendiri, aku merasakanmu.
• Subuh
Dan langit subuh datang, mengubah tiap bait puisi menjadi doa. — Terima kasih telah ada, Fa. Terima kasih telah membentangkan rinduku di langit dan membuat hidupku dipenuhi rasa syukur, dalam rindu yang menyeluruh ...
Peluk hangat,
Langit di musim yang hilang.
20/01/2012
No comments:
Post a Comment