Si Tengil
20 Januari 2012
Pernah satu kali, kau membuat sebuah puisi untukku, tentang secangkir teh dan ciuman yang likat. Waktu itu, aku tak dapat membalasnya. Aku tak bisa menulis puisi. Bermalam-malam penaku menari, berlembar-lembar kertas sekedar menjadi robekan-robekan, seperti kegelisahan yang pecah. Mereka tak pernah sampai padamu.
Apa kabar pantai kumuh, dermaga penuh sampah, lapangan kecil, dan rumah kayu tempat kebersamaan kita? Apa kabar matahari terbit? Apa kabar matahari tenggelam? Apa kabar malam? Apa kabar bulan? Apa kabar kawan-kawan kecil? Mereka merangkai cerita kita, apakah kau ingat? Kini, aku ingin tahu, apa kabarmu Tengil?
Hai tengil, masihkah kau menggoda para wanita? Masihkah kau mengumbar jutaan puisi? Masihkah kau menjadi pengembara?
Kamu pernah berkata, "Kenapa kita dipertemukan kembali seperti ini?" Suatu malam di rumah kayu. Banyak masa kita pernah lalui bersama, selalu ada kesan, tapi kita tak pernah mengutuhkannya. Lama aku merenung setelah perpisahan kita. Barangkali kita hanyalah momen, kita hanyalah dongeng angin pada pasir, dongeng pasir pada ombak, dongeng ombak pada samudera tentang pertemuan kecil.
Selalu ada jarak yang dipilih semesta, entah itu waktu, entah itu hati kita sendiri. Barangkali memang semesta telah memilihkan takdir yang sunyi, yang tidak perlu kita mengerti.
Tengil, pernahkah aku bilang padamu, betapa aku menyukai sikap itu sekaligus membencinya sebegitu rupa. Jaga diri baik-baik ya Tengil, jadilah pribadi yang lebih baik, pribadi yang setia.
No comments:
Post a Comment