12 February 2012

Passion

Niet,



Niet, kamu suka musik? bisa nyanyi? Tapi kamu ngga suka karaokean. Kamu pernah cerita itu. Setiap kali kamu diajak karaokean temen-temenmu, kamu pasti menolak jika memang tidak benar-benar mendesak seperti ketika yang ngajak adalah bosmu. Kamu bilang kamu memang ngga bisa nyanyi. Ngga bisa nyanyi dalam artian bukan berarti ngga bisa menghafal lirik, tapi kamu kurang pede dengan performamu.

Aku juga seperti kamu Niet, ngga bisa nyanyi. Bisa pun setengah-setengah. Seingatku, aku memang jarang bisa menghafal satu lirik lagu secara utuh kecuali beberapa lagu. Aku lebih sering hanya menghafal bagian reff-nya. Bagiku mengulang-ulang bagian reff terkadang serasa kita menyanyikannya secara utuh. Kau boleh tertawa jika menganggapnya lucu.

Pengetahuanku tentang musik juga tergolong minim. Paling-paling beberapa tembang lawas yang cukup terkenal saja yang aku ketahui. Aku malas update musik. Aku tidak begitu mengetahui perkembangan musik zaman sekarang. Entahlah, meski beberapa acara televisi gencar-gencarnya menayangkan acara musik, bahkan bisa setiap hari mereka konser, tapi itu tak membuat aku semakin tertarik dengan update musik sekarang ini. Aku juga tak tahu, musik-musik yang disajikan seolah kehilangan daya tariknya di telingaku ini.

Semalam aku membaca sebuah buku. Bukan tentang buku musik. Tapi ada satu bagiannya yang menyinggung tentang maestro musik Ludwig van Beethoven. Terus terang aku tidak begitu tahu tentang karya-karya Beethoven. Salah satu karya terbesar Ludwig van Beethoven adalah Simfoni nomor sembilan. Inilah yang menarik buatku. Konon Simfoni nomor sembilan ini dibuat saat Beethoven benar-benar tuli sempurna.

Aku tertarik dengan cerita itu. Lalu aku sengaja jalan-jalan di internet untuk mengetahui rekam jejak Beethoven. Aku semakin kagum. Beethoven adalah maestro besar. Namun siapa sangka jika perjalanannya sejauh itu dilalui dengan begitu berat. Sejak usia muda dia mengalami gejala tuli. Tuli adalah ancaman yang paling serius bagi seorang pemusik. Ia bisa menjadi akhir dari segalanya. Sejak saat itu Beethoven mulai menarik diri dari pergaulan. Karya-karyanya juga mulai seret. Hidupnya semakin nelangsa.

Dalam kondisi yang buruk seperti itu ditambah satu kenyataan bahwa hingga umurnya yang semakin menua dia belum memiliki pendamping hidup, itu membuatnya semakin frustasi. Hidupnya mulai goyah dalam segala aspek. Kehidupannya semakin asosial, krisis keuangan,hingga karya-karyanya pun semakin minim.

Usia empat puluh, ia seratus persen tuli. Satu kenyataan yang kejam bagi seorang komponis sebesar Beethoven. Tapi ia tidak pernah menyerah. Dalam kondisinya yang tuli sempurna tersebut, siapa sangka justru ia menghasilkan karya yang disebut-sebut karya terbesar Beethoven sepanjang hidupnya. Simfoni nomor sembilan. Karyanya sendiri yang tak pernah bisa didengar oleh telinganya yang tuli. Namun kata-kata terakhirnya sungguh tepat, “aku akan mendengarnya di surga”.

Beethoven menghadapi penderitaannya dengan elegan!

Sebenarnya aku pernah mengatakan hal senada itu. Meski seingatku, aku mengatakannya dalam keadaan sedikit goyah.

Niet, kamu pernah patah hati? Itu terlihat seperti pertanyaan bodoh melihat kondisimu setegar ini. Dimataku kamu selalu terlihat ceria. Kamu benar-benar menikmati hidup. Aku tahu kamu seorang wanita mandiri, tidak pernah menggantungkan apa pun kepada orang lain. Setiap kali ada masalah, kamu selalu bisa mengatasinya sendiri.

Tapi lika-liku kehidupan seseorang memang berbeda Niet. Semua orang memiliki ceritanya masing-masing. Aku pun begitu. Dalam perjalananku, tidak bisa dipungkiri, aku menginginkan kondisi yang lurus-lurus saja. Cari sekolah gampang, kuliah lancar, rejeki mengalir, menabung, membantu orang tua dll. Termasuk satu hal, cinta. Semua orang menginginkan mendapatkannya bukan? Hidup memang terasa kurang sempurna tanpa cinta. Kalau tidak salah itu ada lagunya.

Ah Niet, kadang semua yang kita inginkan tak selamanya bisa kita dapatkan. Aku tahu itu. Aku pun demikian. Aku pernah memiliki seorang teman wanita yang begitu aku cintai. Teman SMA. Aku sempat berfikir dia cinta sejatiku. Karena kami pun saling mencintai. Aku berharap akan menikahinya suatu hari nanti. Sebelum semuanya dikacaukan dengan kejadian itu. Dia dijodohkan dengan orang lain. Aku tahu itu sepenuhnya salahku. Karena aku terlalu lambat dalam memberikan kepastian kepanya. Cinta masih terlalu sulit buatku waktu itu. Hingga akhirnya digantikan kekecewaan yang datang begitu menyakitkan.

Hari-hari kami lalui dengan penuh kekecewaan. Dia pun sering mengeluhkan bahwa laki-laki yang dijodohkannya itu, yang sekarang menjadi suaminya, sering melukai hatinya. Tapi toh aku tak lagi bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya jalan adalah mendo’akannya agar mampu mengarungi bahtera rumah tangga bersama suaminya dengan penuh kebahagiaan.

Aku pun mencari kehidupanku sendiri. Berusaha bersikap realistis dengan kejadian itu. Tapi toh kekecewaan tak bisa dipungkiri Niet. Pernah suatu ketika aku begitu merasa depresi. Muncul suatu pertanyaan konyol menyisakan rasa penasaran dalam kepalaku. Akhirnya kutanyakan kepada salah seorang sahabatku. “Kang, semisal seseorang tidak ditakdirkan bersama di dunia, apakah mungkin mereka akan bisa bersama di akhirat?”, jawab sahabatku waktu itu,”mungkin”. “Meskipun ia sudah menjadi istri orang lain?” Sahabatku terdiam.

Aku tahu pertanyaan itu sungguh konyol Niet. Pertanyaan yang tidak sepatutnya keluar dari mulut orang normal. Tapi aku memang merasa tidak normal Niet. Aku limbung waktu itu. Ditambah suatu kenyataan bahwa ketika aku merasa harus menemukan penggantinya, aku kembali dikecewakan oleh kekasihku setelahnya. Seseorang yang begitu kuharapkan mampu mengobati kegelisahanku, ternyata menambah beban beratku.

Itupun tak sepenuhnya salah dia. Kata seorang sahabat yang lain, she’s just not into me. Ya, memang pada akhirnya, ketika kami putus, kata-kata mirip itu memang keluar dari email darinya. Hanya email? Benar, hanya email. Ia wanita yang lembut Niet. Terlalu lembut untuk mengatakannya langsung dihadapanku. Itu alasan ia hanya mengirimkan email. Dan seperti yang dia katakan, ia hanya tak merasa nyaman denganku. Everything okay, dia hanya tak mencintaiku. Menyadari ini memang menyakitkan, tapi mengetahui kenyataan tetap merupakan hal yang terbaik. Setidaknya untuk diambil pelajaran.

Meski demikian, perjalanan harus tetap dilanjutkan bukan? Ujian hanyalah sarana agar kita mampu mengambil pelajaran, bukan untuk menghentikan langkah kita. Kita harus tetap melangkah dengan gairah yang baru. Hasrat yang disebut passion. Aku mengetahui istilah itu dari buku Kevin Hall pada bab ketiga bukunya yang berjudul Aspire. Seperti judulnya, buku ini begitu menginspirasi. Meski pada dasarnya bukan karena buku ini aku bisa menghadapi pengalaman itu, tapi setidaknya buku ini menginspirasiku untuk menuliskan surat ini. Mengingatkanku bahwa setiap penderitaan yang kita alami adalah perlu. Bukan merupakan suatu kesalahan. Apalagi menyalahkan Tuhan. Aku sadar, perjuangan-perjuangan setelahnya harus tetap dilakukan. Hingga suatu saat aku menemukanmu. Cerita kita, tentu tidak akan aku ceritakan di sini. Terlalu berjejal jika dituliskan disini

Niet, semalam aku memposting catatan. Kukatakan,

“Niet, kamu itu seperti malam, bahkan dalam setiap perjuanganku mengejar siang-siang, kini aku tahu, tempat melabuhkan mimpi-mimpiku adalah kamu. Gud nite.”

oleh: @pung_kamaludin
diambil dari: http://wildworldwords.wordpress.com/2012/02/11/passion/

No comments:

Post a Comment