20 January 2012

Setelah sebelumnya tak kau balas Aisya Firmananda

Dek...kamu kesal sama Mas Bayu? Oh tidak, mungkin saja kamu sedang sibuk dengan segala persiapan sidang merujuk restu dari istri Mas Dedekmu. Atau mungkin sekarang kamu sudah mengurus segala keperluan pernikahanmu? Telpon, sms, bbm dari Mas sudah kamu abaikan, minggu lalu kamu pulang ke sini bahkan tidak ada waktu untuk menemui Mas, oh iya kamu pulang bersama Mas Dedekmu  meminta restu dari Ibu dan Bapak kan ya? Ah lebih baik mas tau kalau kamu memang marah sama Mas, seperti biasanya kamu akan mengomel ditelpon karena Mas terlalu “apa saja” yang menurutmu tidak pas. Kali ini kenapa kamu diam saja dek??? Bukannya kamu paling tau kalau Mas paling menderita kalau kamu mendiamkan Mas seperti ini, hah!!! Terserah lah.

Semalam Ibu menelpon mas sambil menangis, pasti kamu tau itu. Kata Ibu dia juga sambil menangis ketika mengatakan “tidak setuju” kepadamu waktu itu. Ah dek...kamu memang keras kepala, kalau terhadap Mas saja, Mas menerima tapi ini sama Ibu, dulu katamu tidak akan pernah menyakiti Ibu, ini sekarang apa????

Mas juga ga ngerti selama ini Mas bertahan menjadi “sahabat” kamu meski mas sering sakit ketika kamu menceritakan kehidupan cintamu, ah lihatlah mas meracau, mas melakukan hal yang mas paling tidak suka.

Jangan hanya karena hasratmu ingin bersama kekasihmu, kamu dibutakan hingga tidak memandang sekeliling.

Salam
Mas Bayu
----------------------------------------------------




oleh @miftachaliq

diambil dari http://miftachaliq.blogspot.com/

Surat (tanpa) Cinta

R,

Ini akan menjadi suratku yang pertama dan terakhir untukmu,

Saat mengenalmu pertama kali di tahun 2008, aku sudah yakin bahwa kamu memiliki potensi untuk menjadi seorang penulis yang cerdas. Lewat wawancara singkat saat itu, kamu kuterima menjadi salah seorang jurnalis/editor di Kantor Majalah yang baru kudirikan.

Kita nyambung. Sebagai seorang editor, kamu tau apa yang harus kamu kerjakan, dan sebagai seorang Chief Editor, aku tau bagaimana mendelegasikan pekerjaan seefektif mungkin.


Kita bahkan mulai sering berbagi cerita di luar masalah pekerjaan. Soal buku, Soal film, dan lain-lainnya. Sebagaimana layaknya sepasang teman. Hingga beberapa waktu kemudian aku mulai menyadari ada yang berbeda darimu.

Kamu yang biasanya tidak pernah berdandan, kini mulai memperhatikan penampilan.
Setiap kuajak bicara, kamu mulai menunduk dan berbicara sekenanya.

Firasatku mengatakan mulai tumbuh perasaan-perasaan yang tidak seharusnya ada padamu. Maka aku pun menjaga jarak dengan tidak memberikanmu harapan yang palsu. Apalagi saat itu aku telah memiliki kekasih.


Aku benar-benar tidak menyangka. Satu malam setelah pengunduran diriku dari majalah itu, kamu memberanikan diri untuk menyatakan perasaanmu padaku. Terus terang, aku mungkin tidak akan pernah seberani itu.

Sayangnya, R, aku sungguh tidak memiliki perasaan apa pun padamu. Ini mungkin akan terdengar menyakitkan, tapi itu lebih baik bukan, daripada aku memanfaatkan keadaan dengan memberikanmu harapan-harapan yang palsu..

Dan hingga saat ini, kondisi itu masih belum berubah. Aku tidak memiliki hak untuk melarangmu menyukaiku, namun bagiku kamu hanya seorang teman kerja. Tidak akan pernah lebih.
Jadi surat ini,

Bukan kutulis untuk mengubah segala sesuatu yang telah ada. Bukan pula untuk membesarkan hatimu atas sesuatu yang hanya di angan semata. Tapi untuk mengakhiri jika ada yang masih tersisa.
Pada akhirnya, ini bukanlah sebuah surat cinta, tapi surat ini memang harus ada, supaya kamu bisa mengalihkan cinta pada orang lain yang lebih berhak menerimanya.

R,

Semoga kamu berhasil menemukan orang lain yang mampu mencari jalan masuk ke hatimu,
Dan semoga diriku berhasil menemukan jalan keluar dari sana.


Selamat tinggal.

N




oleh @NCLYS

diambil dari http://lampubiru.com/

Ain’t No Mountains Huge Enough

Dear Boo-bies

How’s it hanging? or should i say how are you two hanging? since there are the two of you there that reside on my chest like two huge tumors with nipples. Are you two still hanging loose? have you dropped to the floor yet? seems like it, although slowly…

Over the years, seems like we have a “love and hate” relationship, don’t we? Most of the times i dislike you and wish that i were a flat chested girl rather than the Asian version of Pamela Anderson or worst Dolly Parton, over the years i curse you for being so big coz i cant wear cute clothes or dresses without looking like a pervert Lolita.

The other day I heard on the news about leaking silicone breasts but i guess i’ll have to be grateful to you
 coz you’re 100% original and i dont have to worry that you’re going to leak but i do worry that you’re going to sag or spill over whenever i gain an extra weight but still…

The three of us know when i’m grateful and full of admiration of you both, in fact i do sometimes love the feeling when you’re being fondled, caressed and ..well you get the picture and i don’t think i should go on about how lovely you are when you’re put to good use *cough*

I guess i have to be grateful that my grandma chose my mom and my mom chose me to bestow her natural big boobs rather than my two sisters, I promise in this New year i’ll make you stand out and proud (if possible) and I promise not to feel embarrassed by your size and make you feel confident, afterall you’re God’s gift to me..and that gift comes in pairs. I should be so lucky..lucky..lucky..lucky :)

PS: Hubby sings you a song that goes like this, “I like big boobs that i cannot hide”. You like it don’t cha?




oleh @NonaHujan_

diambil dari http://strangerinengland.tumblr.com/

Seragam Putih Abu

Dear seragam putih abu,

masih ingat aku?

si perempuan berambut pendek-hampir-cepak, kurus, kulit kecoklatan. pemilikmu yang dulu.

ratusan hari kita lewati bersama, suka dan duka masa-masa SMA. kamu selalu ada disana sebagai saksi mata dan pelengkap cerita. dimulai dari hari setelah berakhirnya masa orientasi siswa hingga akhirnya waktu perpisahan kita tiba.

maafkan aku,

yang selalu membasahimu dengan keringat disekujur tubuhku setelah seharian bermain basket atau disaat hujan turun.

yang terkadang tidak berhati-hati sehingga cipratan saus atau minuman bersarang padamu.

yang terkadang seenaknya menghempaskanmu ke dalam ember penuh pakaian kotor.

yang tidak dapat menjagamu dari coretan tinta dari guru piket di depan gerbang sekolah karena katanya kamu terlalu ketat, terlalu pendek. mereka berlebihan, apa yang salah dari rasa nyaman yang aku kenakan?

terima kasih,

telah memberikanku rasa nyaman selama beraktivitas di sekolah.

telah menjadi saksi ketika aku jatuh cinta.

karena cerita-cerita indah dengan rekan-rekan berseragam putih abu lainnya disaat kita bersama.

aku benar-benar rindu sesekali menghabiskan waktu bersamamu. sayangnya, ukuran tubuhku kini tidak sama dengan ukuran tubuhku ketika masih SMA dulu. :P

masa-masa seragam putih abuku tak akan kembali, tapi kenangan-kenangan bersamanya akan menetap dan tinggal di hati dan takkan terganti.

salam rindu selalu,

aku.











oleh @naminadini

diambil dari http://berceloteh.tumblr.com/

Dari Pemilikmu

19 Januari 2012

Untuk yang tak bisa jauh dari jatuh cinta,

Hey, bagaimana kabarmu hari ini? Kudengar, katanya kamu lagi bahagia sekali. Aku tau Januari ini banyak hal yang terjadi. Dan tahun-tahun lalu banyak pengalaman yang mengiringi. Aku harap komunikasi kita akan selalu seperti ini. Sungguh, aku mengirimimu surat hari ini karena aku sayang padamu. Aku beruntung bisa memilikimu dan mengenalmu selama 19 tahun.

Taukah kamu? Dari puluhan rasa yang kamu sediakan, aku suka mencoba mereka satu persatu diam-diam. Bukan, bukan mauku seorang. Tapi kadang hidup dan pengalaman menyuruhku jalan duluan dan mencobanya perlahan-lahan. Tapi lihatlah, kali ini pengalaman benar. Kamu jauh lebih kuat dari sebelumnya, mereka hanya batu kerikil yang mampir dan tak lama akan tergelincir. Betulkan? Hanya rasa kecewa? Putus asa dan lainnya? Dengan bangga kukatakan..”Aku sudah pernah melewatinya”. Terima kasih karena kamu tidak pernah berhenti menguatkanku selama 19 tahun. Sepintar-pintarnya kamu, jauh lebih pintar pengalaman. Ya, dia memang guru, tapi Ia tidak pernah sekuat kamu. Ia begitu karena memang tugasnya sebagai guru, melatihmu.

Tanpa kamu, aku bukan siapa-siapa. Aku akan sedatar kertas yang sama sekali tak punya rasa. Tanpa kamu, tak akan ada cerita yang akan kubagikan kepada mereka. Kamu patut diberikan penghargaan terbaik lebih dari kota yang diberikan adipura. Tanpa kamu, aku tak akan pernah naik ke-level selanjutnya. Ke level-level yang masih ada lanjutannya. Kamu adalah tempat dimana aku selalu bertanya. Bahkan, kadang pertanyaan tersusah dariku pun kau jawab hanya dengan kediaman. Tanda setuju bahwa kamu sudah mengiyakan. Kadang memang aku terlalu cepat menyimpulkan, dan tak jarang aku mengacuhkan alarm yang kau bunyikan. Aku tau, tak selalu ku turuti apa maumu, Kadang aku justru berlari meninggalkanmu dengan pola pikiranku. Kamu terlalu banyak mengalah dan tak jarang merasa bersalah.

Maaf. Maaf karena kubiarkan kamu dilukai berkali kali dan menolak untuk kamu diobati. Maaf karena terlalu banyak harapan yang terbang terlalu jauh dan tak pernah pulang lagi. Maaf karena kekecewaan tak jarang menghampiri, karena aku terlalu tinggi berekspektasi. Maaf karena kadang aku menomorduakanmu demi menomorsatukan kebahagiaan orang lain. Maaf karena kuijinkan mereka singgah dan meminjamkan kunci pintumu lalu dibuang seenaknya. Sungguh, aku minta maaf. Tapi mulai hari ini aku janji, aku akan menjadi sahabat dan pendengar yang baik untuk ceritamu. Kamu itu seperti ruang. Aku tidak ingin menyebutmu dengan ruang tamu. Karena tamu hanya datang berkunjung. Lebih tepatnya rumah, karena aku akan membuat orang-orang yang kucintai nyaman lama-lama berada di tempatmu. Dan ketika mereka keluar dari tempatmu mereka akan merindukanmu dan secepatnya pulang. Karena mereka sadar, pemilikmu ini mencintai mereka.

Terima kasih, Hati.Tertanda pemilikmu,

Ps :”Kalau kamu sudah menemukan orang yang pas, bilang-bilang ya..”



oleh @lovepathie

diambil dari http://simpleloveable.blogspot.com/

Surat Cinta Untuk Ayah Di Surga

Selamat malam ayah , apa kabar ? boleh kah sejenak memeluk mu , 5 menit saja ayah, setidak nya biar kan aku mencium aroma tubuh mu , merasakan hangat pelukan mu yang sudah hampir 13 tahun hilang dari semua hari2 ku yang sudah lama terlewat kan.

Ayah , aku sudah besar lho.. bukan gadis kecil yang manja seperti dulu , yang kalau makan minta di suapin , belajar harus di marah2in dulu , tidur harus di elus2 ketek nya , hahaha.. masih inget gak sih ayah ? ih malu deh sekarang kalai inget. Aku juga masih ingat ayah dulu pasti kita seneng nonton tivi berdua , terus kasur lipat yang biasa kamu pakai buat tiduran sambil nonton di bikin persegi tiga buat mainan aku sama kaka, hahaha.. kalau ketiduran aku gak mau pindah sendiri , pasti nunggu di gendong ke kamar sama ayah , malem itu aku pura2 udah ngantuk , mamah kan galak yah ayah pasti marah2 kalau aku manja, dan lucu pas dia bilang " apa sih yah , liat si adek masih bangun gitu bukti nya masih tarik guling pake tangan nya , suruh pindah sendiri " nah bego nya aku malah aku jatohin guling nya , yah tambah ketauan , hahahaha.. tapi kamu gak pernah protes , selalu setia pada gadis kecil manja mu ini, hehehe..


Atau waktu dulu masih sangat kecil aku belajar puasa, dan pas jam 12 siang aku minum , kan haus ayah .. tapi kamu bilang dengan bangga nya pada ku " tuh kan hebat anak ayah puasa sampe tengah hari , di lanjut yah sampe adzan ashar dek " ihihihi seneng banget waktu itu. sore2 nya karna aku emang belum ngerti jam , aku gangguin ayah terus dengan pertanyaan yang sama " ayah berapa menit lagi buka puasa ? " kamu yang sedang asik nonton berita , masih dengan sabar menjawab dengan lembut walau lama2 kesal dan membentak ku, hahaha.. ampun deh ayah , tau deh yang mantan dosen sastra indonesia tapi jangan di bawa kerumah dong galak nya hihihi..

ah ayah aku rindu sekali , sudah lama sekali yah aku tidak bertemu dengan mu. Banyak yang sudah terlewatkan dan aku tau kau selalu setia memandangi ku di sugra sana, apa kau sedang ngopi bareng dengan sosok2 hebat disana ? ih ayah mau dong aku kopi nya , aku sekarang penggila kopi hihihi..


Ayah , maafkan aku yang terlampau banyak kesalahan terutama pada sosok perempuan yang juga kau cintai , sosok perempuan yang bekerja keras dengan segala kekuatan nya untuk mengadakan ku di dunia, mamah. Aku menyakiti dia dengan banyak tingkah ku yang tidak baik , membantah nya dan menganggap dia tidak pernah mengerti aku, tapi sungguh aku sangat menyesal akan hal itu, maafkan aku.

Pasti kamu pun sudah tau bukan ayah saat aku bertengkar hebat dengan nya satu malam , hanya karna aku bosan di salahkan di rumah terus dan karna aku jatuh cinta pada sosok yang kurang tepat. Aku menjadi kan dia sebagai alasan ku untuk mencari tempat yang jauh lebih nyaman di banding rumah , dan menyalahkan mamah atas apa yang menimpa ku , dan seiring waktu berjalan, ternyata semua jelas terbukti aku lah yang salah. Dan cinta yang aku anggap baik dia menipu ku , dia menyakiti ku dengan segala kegilaan jiwa nya , aku sadar akan banyak hal, banyak kesalahan yang tiba2 menampar ku untuk membuka mata pada kenyataan . aku menyesal, maafkan aku, dan aku tak akan lagi mengulangi nya ayah.

Ayah , berbahagialah di sana , istirahat yang tenang , aku tidak akan sekali pun melewatkan mu dalam doa dan pengharapan ku , dan aku berjanji akan menjaga perempuan yang kita sayangi. Aku tak akan lagi menyakiti nya , yah walau aku belum bisa jadi sosok anak kalian yang sangat membanggakan , tapi sungguh aku menyayangi kalian.


Ayah ,jangan sedih di sana yah, tersenyumlah untuk ku. Nikmati saat dimana kamu akan bersantai tanpa beban , dan doa2 aku untuk mu yang akan meringankan mu disana, aku merindukan mu sungguh sangat rindu, dan aku akan bekerja keras untuk menjadi sosok yang lebih baik , untuk kebahagiaan ku ayah , untuk cinta , dan mimpi2 ku. Meski pernah ada kegagalan , aku tidak akan pernah mau kalah dan menyerah, siapa dulu dong anak ayah.

Ayah titip salam untuk tuhan yang selalu ada di samping mu , sampaikan pada dia aku ingin bahagia , aku ingin jatuh cinta lagi, dan beri aku kebahagiaan ku, jika aku harus merasa kan rasa sakit tolong sampaikan pada nya, mungkin masa itu sudah banyak memberi ku luka dan ketersakitan, maka sampaikan pula pada nya izin kan aku untuk bahagia dengan cinta ku yang baru , cerita ku yang lebih indah , dengan segala kerja keras ku. oke ayah , aku sayang kamu.


Tunggu aku disurga ayah , aku , ibu. kami yang mencintai mu , pasti akan selalu di samping mu melalui doa dan pengharapan kami, aku sayang ayah. maafkan aku..





anak mu,


Rahmawati







teruntuk RAfika

menjumpai rafika di tanah rencong,

assalamualaikum…

katanya, wajib hukumnya untuk menjawab salam dari seseorang. dan sekarang pasti kau langsung menyambut dengan balasan wa’alaikum salam..

sedang apa kau disana? kudengar kau sedang tidak enak badan. istirahatlah yang cukup. oh iya, selamat ulang tahun untuk ayahmu. panjang umur dan sehat selalu.



jadi ingat pertama kali berkenalan denganmu. melalui jejaring sosial di akun fesbuk. tanggal 16 desember 2008 tepatnya. ini kulihat dari tampilan baru linimasa fesbuk. seru menyelaminya. seperti sedang membuka kotak kenangan. kadang aku kembali teringat apa yang sedang aku pikirkan dahulu.

pada akhirnya, kita bertemu juga di dunia nyata. di 7 eleven saharjo tepatnya. tempat gaulnya anak jakarta.

kau lucu dan menggemaskan. ingin kujadikan gantungan kunci atau apalah yang bisa ku bawa pulang kerumah. Aku ingat sapaan pertamamu padaku: hai sore hari…!! Dan aku hanya menyambut sapaanku dengan senyumku yang malumalu. Aku memang agak pemalu dan minder jika pertama kali bertemu dengan perempuan. Tak tahu kenapa. Beda sekali dengan saya yang di dunia maya. Ada yang memanggilku dengan sebutan: manusia virtual. Sedang kau menyebutku gak konsisten.

aku sedang di bandung sekarang. Kotamu semasa kuliah dulu. Kau harus memberitahuku tempattempat mana yang dulunya kau kunjungi di bandung. Siapa tahu, jika kudatangi tempat itu, aku bisa menemukan jejakjejakmu.

Bandung di juluki kota kembang. Sekarang julukannya Cuma kota saja, sedang kembangnya sudah tidak lagi ada. Sudah di atjeh sekarang. Hehehe. #gagalgombal

Disini dingin, seperti merindukan pelukan. #kode

Akh, sudahlah. Daripada terus ngawur tulisanku, ku akhiri saja sampai disini. Temanteman sudah memanggilku untuk mandi. (semoga kau tak kabur dengan bau kecutku). Sekalian check out. Sudah hampir jam 12 siang. Resepsionisnya menyuruh kami keluar sebelum jam itu. Mirip cerita cinderella saja yang akan berubah setelah jam 12. #bedatipis.



Sampai disini dulu suratku,

dari teman ambonmu,

Ben Yusoff Gersee




oleh @onossel

diambil dari http://tempathurufberkumpul.wordpress.com/

Aku Kirim Puisi Untukmu, Ibu

“Tabahlah engkau rasa rindu, yang menggebu menjadi kelabu. Biarlah rasa rindu menggerutu, terus sampai sendu. Masih lama kita bertemu, Ibu.”

Selamat siang, Ibu. Masih ingat puisi yang aku kirim kepadamu itu? :’)

Ini aku, anakmu yang sedang berada jauh darimu. Apa kabar? Aku disini baik-baik saja kok, bu. Kamu tau, bu? Aku disini merindukanmu. Eemh, berapa bulan ya kita tidak bertemu? Sudah terlalu lama hingga rindu ini tak tertahan. Ah, aku jadi rindu masa kecilku, semua kenangan indah itu. Sekarang aku jauh darimu, Ibu. Hidup sendiri, jauh darimu. Aku hanya bisa mengenang masa kecilku itu sebelum aku tidur, setelah aku mengenang kenangan bersama mantanku, yang pernah aku ceritakan kepadamu itu. Haha, aku rindu bercerita tentang pacarku kepadamu, bu. Berbicara langsung bukan lewat bbm.

Ini aku, anakmu yang sedang berada jauh darimu. Aku sibuk kuliah, bu, hingga aku terkadang lupa memberi kabar kepadamu. Hingga aku terkadang malu sendiri ketika kamu yang pertama menanyakan kabar kepadaku. Aku juga terkadang malu, bu, ketika aku hanya bisa menerima jatah uang bulananku, tanpa aku bisa memberi apapun kepadamu, bu. Aku juga malu ketika selalu merepotkanmu, bu.

Ini aku, anakmu yang sedang berada jauh darimu. Yang hanya bisa memberimu rasa rindu dan kasih sayang kepadamu, bu. Meskipun aku hanya bisa memberimu itu, tapi aku harap kamu tidak merasa malu, bu. Karena sedikit-banyaknya uang yang kamu beri, tak lebih banyak dari kasih sayang yang aku beri, bu.

Ibu, aku rindu dan aku sayang padamu. Sebelum dan setelah aku menulis surat cinta ini. Love you, mom!




oleh @mirzapw

diambil dari http://malaikatdanberuang.tumblr.com/

Escape From Freedom: Desakralisasi Keluarga

Cinita-2

Dear Cinita.
Bila Alvin Toffler mempertanyakan makna keluarga dengan memprediksi bahwa di akhir abad 20 akan ditandai dengan makin melemahnya fungsi keluarga. Justru gue tidak perlu memaknainya. Meskipun tidak dapat dipungkiri arti keluarga semakin sulit didefinisikan, tapi bagi gue, seorang Cinita Nestiti adalah bagian dari keluarga.

Mungkin terlihat seperti sebuah proses desakralisasi, karena meleburkan makna rekan kerja, pertemanan, dan keluarga dalam satu nama.

September 2009, pertama kali kita berkenalan sebagai rekan kerja. Bertiga, rasanya tim kita menjadi tekstur unik dalam perusahaan. Tak lengkap rutinitas kerja tanpa lo dan Male. Sesekali kita memperalat kerja sesuai keinginan dan kondisi. Karena bagi kita bekerja tak hanya pemenuhan nafkah, tapi juga sebagai tempat perteduhan.

Permasalahan datang dan pergi. Bertiga menertawakannya dan menyelesaikannya sebagai solusi.

Ingatkah, Cinita.
Ketika Male pergi, kita berdua mengawal tim. Dengan watak dan kepribadian yang bertolak belakang, kita tetap optimis, berobsesi besar untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Kadang kita bergantung dari keberuntungan.

Tapi pekerjaan mulai menjadi ubiquitous, (seakan-akan) terus mengikuti ke mana-mana, dan (seakan-akan) sulit dihindari untuk berhenti terjadi.


Gue mungkin pria yang selalu kalah. Dan akhirnya gue memutuskan untuk pergi meninggalkan lo, sebelum kekalahan berkali lipat didapat.
Maaf, Cinita.
Mungkin gue tidak bisa menemani lo lebih lama berlayar bersama tim, memperbaiki dan mendandani tim, tapi meja kerja kita yang menjadi saksi bisu bagaimana petualangan kreativitas kita selama lebih dari dua tahun.

Tapi jalan cerita tetap sama. Lo adalah teman yang setia, serta merta anggota keluarga yang bijaksana. Seperti kata pepatah Tiongkok lama, Keluarga adalah Mutiara. Dan seperti janji gue, sejauh apapun pelaminan lo nanti, pasti akan gue sambangi jua.


Semoga sukses, Cinita.
Terkadang ada penolakan dari diri gue untuk melihat lo terus bertahan dengan pekerjaan yang sama. Tapi tidak mengherankan bila justru ada jalan lain yang sedang lo kejar di sana. "Escape From Freedom," meminjam ungkapan Erich Fromm.


Salam Hangat,
@omkit

Untuk perempuan mungil berpikiran dewasa,
Cinita Nestiti --@cinititi



diambil dari http://bangkit.posterous.com/

246

Untuk kamu, dan kenangan dalam hitungan harimu.



Ini tentang ‘the-unfinished-business’ yang terus kamu bongkar dan terus membuat kamu sakit.
Ini tentang luka yang tak terlihat yang tanpa sadar terus kamu sakiti hingga tidak sanggup lagi mengeluarkan rintihan kesakitan.

Ini tentang rasa sakit yang terus datang dan pergi karena ‘kenakalan’ kamu, kamu yang sudah tahu hal itu membuat sakit, tapi terus bermain – main dengannya, berupaya terlihat kuat tapi ternyata tidak sanggup menahannya dan hanya bisa terdiam menikmatinya.

Tidakkah kamu lelah?
Tidakkah kamu ingin berhenti?

Dua ratus empat puluh enam hari, sayang.
Sudah dua ratus empat puluh enam hari sejak dengan jelas dia membuang kamu.
Masih belum cukupkah semua waktu itu?

Sampai kapan kamu mau seperti ini, sayang?
Sampai kapan kamu mau berusaha terlihat kuat, memasang tembok tinggimu dan menjadi patung dingin tidak berperasaan?

Berhentilah berharap akan ada kata maaf, sayang. Itu tidak akan pernah terjadi.
Bahkan dalam mimpimu pun, kamu tidak bisa menemukannya, iya kan?

Kita harus berhitung sampai angka keberapa sayang?
Kita akan berhenti di hari keberapa sampai kamu benar – benar melepaskan semua kenangan itu?
Hari ini kita sudah sampai di dua ratus empat puluh enam, sayang.

Tertanda,
Hari dalam kenanganmu.




oleh @luilliciousmey

diambil dari http://luilliciousmey.blogspot.com/

Happy Smoking Day

Salam terdasyat untuk kalian para jagoanku.
Selamat hari kamis,
Sedang berkumistipiskah kalian hari ini?
Atau sedang gerimis tipiskah sekarang disana?
Udah keterima kan kiriman aku? hehe.. semoga paketnya sampe dengan selamat ditangan kalian masing-masing ya :)



-happy smoking day-

Ada yang bingung?
Tapi akhirnya pasti pada senyum-senyum kan??
Ayooooo Mana coba senyum termanisnya dihari kamis??
Nah............ Gituuu cakep :) tahan yah... Aku pengen mengabadikannya dari sini.

Eitss.. Tapi Jangan dulu seneng ah, paketnya dateng bukan untuk dipersilahkan dengan senanghati kalian merokoknya. Inget loh "Cigarettes are killers that travel in packs" hiihiiii ngeriii yahhh... Tapi yasutralah kita lupakan kampanye anti rokonya, anggap aja ini hadiah dari aku buat kalian para jagoanku,yup karna hari ini 19januari. Hari dimana skali setaun yang aku bilang sebagai  'smokingday'
Kalian ga usah berterimakasih, justru hari ini aku yang ingin berterimakasih untuk kalian. Khususnya buat dia. Pacaran aku sama dia itu ceritanya bukan hanya sekedar cinta, sayang atau kangen aja tapi banyak hal lain diluar itu yang sederhana dan luarbiasa, dan dari perjalanan itu bikin kata 'rokok' jadi istimewa.
Terimakasih karna kalianpun telah ikut didalamnya,bahagia sekali bisa mengenal kalian. Mungkin ini untuk pertamakalinya aku pengen kalian ikut merasakan 'smoking day' di 19 januari.
Maaf ya aku sering merepotkan kalian. Tapi boleh aku titip dia ya disana, karna waktu kalian lebih banyak bareng dia tiap harinya dibanding aku. Tolong ingatkan saat dia sudah mulai terbatuk-batuk , jangan segan melarangnya berhenti merokok, ya... pleaseeeeee....

Dear @RubySyah
Bebep Cooommming lagi apa? Pasti banyak show ya? ihh... sms aku ga dibls ? Oia Kenapa dari dunhil jadi ke malboro black menthol ming?
Dear @fadhrialSelamat nongkrongin MAC nyambil nge-djisamsoe ya bep,  selamat ngedit slamat chatting
Dear @Wieediee
class mild kan diw??hehee.. Stop galau yess.. jangan ngeroko aja ah, mau mpe bilangin Ibu? Hayoo...
Dear @OtonkMarinkaNgot.......... Tugasnya lagi banyak yah?? Jangan ngeluh, tp dikerjain. Okee ditemenin sebungkus super biar smangattt cepet lulus, titip ariw ya disana :)
Dear @befiboiIni Garfit apa Garpit ya boii ?? buat boii ama ukulelenya, ayo akustikasik nya mainkann :)
Dear @ErvinEffendiAa jarang k flat, sibuk yah? Supernya buat aa yang kangen teteh nunut ama kangen nenk juga ahahaha...
Dear @yongminseuBebeppp.... Tangkep mild nya :D
Banyak jalan menuju roma bep, bnyk jalan buat target, smangat eaa kakakkk...


-19 januari 2012-

and the last
Special 4u my @teguhariyatna
Hallo.. Ih senyumnya aku suka, sayang cuman bisa ngebayangin aja, ga bisa liat langsung saat kamu nerima paketnya atau saat kamu baca ini.  Ketemu lagi dengan sebungkus roko yang ke 8 semenjak hari itu 19 january 2005 . Makasih ya riw buat menjadikan aku istimewa dihari itu. Entah sampai kapan, tapi sungguh sangat disayangkan untuk melewatkannya karna kamu juga sangat istimewa buat aku. Oke Malboro Merah buat nemenin yang lg nyusun. Semangat terus ya, doaku untukmu nyon.
Siniiiiiiii coba liat mana seyumnya :)

Hey.. Para jagoanku, kalian akan menjadi tua, aku pengen liat kalian tetap gagah sampe tua. Jangan tunggu sakit, tolong sedikit dikurangi kadar ngerokonya yah, inget banyak hal didepan sana yang nunggu kalian. Semoga kalian sehat, kelak aku akan mengabadikan moment pertemuan kalian  saat duduk bersama ngopi bareng dan bermain catur dihalaman rumah aku heehee . Dan kalian harus tetap gagah oke *deal..
Jadi, Kapan kalian meluangkan waktu untuk berfoto bersama denganku? Aku tunggu ya, pengen banget loh punya foto ukuran besar bareng kalian lengkap semuanya ada. Bolehkan foto gratis distudio barunya Taz?hehehe.. Kalian tau ga' nanti fotonya mau aku kasih judul 'aku dan para jagoanku' heheee..
*nice yahhh.....

Udah dulu ya suratnya,
Terimakasih buat senyum-senyum manisnya dihari kamis. *walaupun ga liat langsung tapi aku tau ko, kalian senyam senyum gitu hehehehe..

*peyuukk yahhh
.Mpe.

--------------------------------------------------------
Twitter : @teguhariyatna @RubySyah @fadhrial
@Wieediee @OtonkMarinka @befiboi @ErvinEffendi @yongminseu




oleh @mpe_eva

diambil dari http://catatankeciltentangdia.blogspot.com/

Variatio 6. a 1 Clav. Canone alla Seconda

Untuk Jean-Marc.  Yang menyatu dengan kulit jalanan, bersimpuh keringat pasir dan sinar bulan.
Yakin sungguh hanya ada waktu bagimu dalam keheningan malam.  Dibungkus sekat cahaya dan tameng – tameng debu. Takkan Kau berpikir sebelum, bahwa tulisan bisa mengulum equilibrium. Mungkin dalam keseharianku yang sepi, keseharianmu yang tiada tepi, Kau tak sempat memikirkan bahwa diri yang terhimpit di tengah keramaian dan kesepian, kan dianugrahkan gumpalan tulisan yang ditatahkan nyawa sebagian. 
Biar kuterangkan padamu di bawah langit gelap, disaat bintang yang nyenyak dalam pelukan dan keterikatan rasi  dan rasa, seumpama Monalisa yang dilahirkan ke dunia, tanpa tahu senyumnya ternoktah untuk siapa dan mengapa.  Ada sepi pada diri terkadang, ada kata – kata yang tak pernah bisa terwakili tulisan, dan lekatnya dekapan menghadang. Lalu hanya bisa bertandang, menerjang, dan panjang meradang.  Tentang kerinduanmu pada manusia. Pada percintaan yang tak cukup jika harus kita debatkan, menatap begitu singkatnya tahun usia disematkan.
“Manusia terlalu sibuk mendengar perasaan orang lain, sampai miliknya lenyap -tak tahan diduakan.” kalimat itu bukan untukku saja, tapi sekalian Malakh berkeping hati lembaga baja, -berguguran tanpa sengaja. Terlontar keluar berdesakan, seakan mengunggu berabad –abad untuk dilesakkan.
“Manusia, hai manusia. Aku tak percaya keabadian.” Katamu lewat genggam tangan dan bukan sebuah ungkapan. Ada waktu – waktu singkat dimana Aku mengingat, betapa kau percaya bahwa tiada perasaan dan kesaktian di bumi mengikat. “Manusia mati kawan, Cintanya dibawa sekalian.” Katamu padaku saat itu. Aku tak pernah melawan, tak menyanggah, sunyi membangga. Kesepian membentukmu kukuh tubuh, hingga percintaan Kau pukul rubuh kala subuh.  Takluk, pantang hadapmu berkubu.
Demikian itu, ini semua kutuliskan. Mengguncang  ketiadaan dengan ketiadaan yang nyata. Yang terlihat mata. Terbaca kata.  Jika keberadaan, kau tahu dusta.


Dear, Daniella.

Dear, Daniella.

Aku harap kamu tidak marah padaku. Ya, setelah beberapa tahun belakangan ini aku tak pernah menyapamu. Tak pernah lagi melewati malam-malam-sesi-curhat ala kita, walau selalu hanya aku saja yang bercerita, dan hanya kamu saja yang setia mendengarkan.

Daniella, akhir-akhir ini kamu jarang kelihatan. Mengapa? Apa kamu memang sengaja menghindariku? Apa kamu marah padaku? Atau karna akhir-akhir ini sering hujan? Ya, aku tentu masih ingat kamu tak pernah suka hujan. Setiap hujan datang, kamu selalu mengurung diri di rumahmu, tak mau keluar.

Sesungguhnya aku merindukan momen-momen keakraban kita dulu. Setiap malam aku selalu menemuimu, bercerita kepadamu tentang banyak hal. Tentang sekolah, keluarga, teman-teman, juga tentang hati. Banyak hal telah kuceritakan, banyak hal telah kamu dengarkan. Kamu adalah pendengar setia, sekaligus penjaga rahasia yang paling baik. Tak pernah sedikitpun kamu bocorkan rahasiaku kepada orang. Karena itu aku selalu nyaman bersamamu. Aku nyaman, oleh binarmu yang mampu teduhkan hati yang lara. Oleh pancar kasihmu yang selalu mampu ku rasa.

Daniella, kamu ingat pembicaraan terakhir kita? Sekitar empat setengah tahun lalu. Malam itu aku bercerita di mobil, sedang dalam perjalanan entah kemana. Aku menangis diam-diam karena seorang lelaki yang telah membuatku patah hati. Seisi mobil tak ada yang tau, aku hanya menunjukkannya di hadapanmu. Untung saja di dalam mobil gelap. Aku ingat kamu berbisik, ‘sudahlah, sayang. Dia akan menyesal telah menyakitimu.’ Dan kamu tau? Benar saja, dia kembali lagi padaku meminta maaf, namun tentu saja aku tak mau. Rasanya sudah cukup.

Daniella, walau sudah tak pernah lagi bercerita padamu karena aku yang beranjak dewasa, bukan berarti aku sudah benar-benar dewasa. Aku, sahabat kecilmu, tak pernah bisa menjadi berani sepertimu. Berani berbeda, bersinar paling terang di antara yang lainnya. Seperti arti namamu yang kuganti semauku menjadi Daniella, karena Daniel artinya orang yang pemberani, dan ku tambahkan La karena kamu wanita.

Daniella, kamu tetaplah bintangku yang paling terang. Sahabat kecilku yang paling setia. Walau kamu tak lagi menjadi tempatku berbagi cerita, namun memandang cahayamu di langit tanpa berkata apa-apa saja sudah membuatku tenang. Walau aku sudah beranjak dewasa, aku tau kamu kamu selalu disana, di langit, memancarkan sinarmu yang lebih terang dari bintang lainnya, berkelap-kelip mengawasiku sambil tersenyum, lalu berkata:

“Aku selalu ada untumu, Beatrice.. Dan aku menyayangimu dari sini.”


 
PS: Sekarang aku sudah punya dia yang selalu ada untukku membagi cerita. Aku yakin kamu sudah pernah melihatnya. Kapan-kapan aku kenalkan ya..


- @beatricearuan

Some Pings are Better Left Unsent

Unagi Tsukino, piye kabare?

Sounds wrong? No, it’s all about the matter of cross culture understanding. Or, oh well, in other words, I don’t know how to say “how are you” in Japanese. Now you know.

How’s the journey, by the way? It’s been a while since the last time I texted you. The last text that made you upset, the one which ended up with argument. I’m sorry :))

Do you know that since you left I’ve got this thing inside my heart needs to be done? Of course you don’t. You’re busy, too busy to bother me. Who am I anyway? Just a mere cameo who came into your moving pictures and left before the scene even ended. Nothing’s broken though. I don’t know why, but I’m not hurt. Of course there were some times when I feel like tempted to text you, but luckily, up to now I’m not insane enough to do that. Texting you first means giving up. I’ve promised myself not to let myself fall over again for the…, I can’t remember how many times.

The reason why I run to you, is because you seem to be the only one that listens and understands. You’re the only one that seems to care about what happens in my life without me even telling you. I only run to you, because you know what makes me smile and get my mind off things. But, I should have written those previous sentences in Past Tense. Yes, they were in the past. And now we’re apart. But somehow I’m not that hurt. I wonder why, and I wonder about you too. Your life might be great and you don’t need me now. I just want to thank you for putting up with me. And I’m sorry if I can’t repay you for any of that.

I sometimes find myself staring at your picture on my cell-phone’s screen, and wondering if I should text you or not. Always curious on what you’re doing, but too scared to ask. Wanting to text, but always ending up putting down my phone. So if you ever wonder why I never text you anymore, keep in mind that I want you to know I do that for my own good. I’m keeping this emotion I’m having to stay awesome. Like I’ve told you: I’m not hurt at all, even after you’re gone. I keep distance with a reason, but just because I’m avoiding you doesn’t mean I hate you. It means that I might still be wanting you, but I know that it isn’t right or I know nothing is going to happen. But who knows? Someday is a mystery.

So, forgive me for not texting you. Some pings are better left unsent, for the sake of my pride.

January 19, 2012

@dennyed


Untuk Stiletto Merah

Untuk kakak terbaik, @SariSubrata

Hey mpok, sedang apa kamu? Sedang jambak-jambak rambut menyelesaikan tumpukan pekerjaan, ataukah menghujamkan sumpah serapah ke jalanan jakarta dan kernet bis yang selalu ingin kamu gebok pake kunci stang?

Adik kecilmu yang tolol dan hobi jatuh cinta ini lagi memelihara taman bunga dan menulis tanpa henti karena ikut program #30harimenulissuratcinta. Karena ga cukup nyali memberikan tulisan untuk makhluk yang bersangkutan, jadi elo gw jadikan korban kali ini ya mpok.

Kamu orang ketiga yang aku sayang sepenuh hati setelah mama papa. Entahlah uda berapa kali caci maki dan huru-hara yang pernah kita lempar pada saat kita gelut, tapi kalo ga ada kamu sumpah adekmu ini mungkin uda nyangsang di segala ketololan yang dia buat tanpa sadar.
Kamu segala sumber kewarasanku mba, kamu bisa dengan instant membuat semuanya beres dengan segala tindakan absurd kamu dan ide-ide serta solusi praktis yang kadang terdengar gila. ( adeknya psychic, kakaknnya psycho :p )

Dan saat kamu kehilangan pijakan…saat pak otto pergi, aku ikut remuk melihat kamu sehari-hari bertahan sekuat tenaga jadi ibu sekaligus bapak untuk dua ekor brinyit poa, preman pasar..distroyers yang cuma terlihat damai saat pengsan setelah seharian ngegerecokkin uti dan papa kungnya.

Saat terjadi insiden drama “huru-hara” itupun, cuma satu yang ada dipikiranku. Aku hanya ingin menjaga kamu sekuat tenaga (ya..meskipun kamu ga minta, apalah daya ade’nya punya naluri gerwani), dan aku ga peduli kalaupun harus maju di garis depan, dimusuhi,salah paham ataupun perang melawan semua orang yang akan ngacak-ngacak kamu atau keluarga kita.

Semoga aku sudah jadi ade yang (cukup) baik untuk kamu mba, that’s the least i could do.
Satu yang aku pegang dari kata-katamu…“kamu akan selalu jadi adek aku, biarpun ada orang lain di hidup aku, ga akan ada yang bisa merubah apa yang kita berdua punya”.


Terima kasih, untuk asbak yang kamu sodorkan waktu patah hatiku pertama kali. “Ngerokok aja, gw juga kok…….cerita aja, ya elah…segitu aja, ngapain nangis…sebagai kakak kamu, mungkin aku kaget dan sedikit kecewa, tapi kamu uda besar..welcome to the real world neng, you’re a grown woman now”.

Apa yang kita punya ya mba, segala jujur dan komunikasi yang kita lakukan belum pernah aku temuin di sekitarku. Alhamdulillah Tuhan kasih aku keluarga yang lengkap, kakak-kakak yang super ajaib dan jadi antibiotik disaat penyakit kronis mulai menyerang.

I love you so much my mpok..smoga Tuhan cepat kasi pasangan hidup dan papa yang baik untuk brinyit-brinyit yang sebentar lagi mulai pacaran (bahahahaha…puas-puasin deh tuh kekep anak-anak).
Oiya, satu lagi…terima kasih uda bawel bgt nyuruh gw diet, i feel good mba..tapi anehnya ga laku juga deh ya meskipun uda nyusut. Sial…masalahnya ternyata bukan berat badan :D tapi kondisi otak dan hati yang sepertinya selalu bikin laki mabur bahahaha…

Ya udah ah, menye-menye gilak…hehehe….ditunggu traktiran dan malam huru-hara selanjutnya yah.
xxx ( thanks to you akhirnya gw ngerti maksudnya adalah peluk dan bukan be-ep :D )
love you much

Adikmu, si anak kecil tolol yang cengeng dan (mulai) hobi diet

- @dewisubrata 

Ini Hidup

Setiap hujan, aku selalu mengingatmu. Seakan-akan basah kuyup ini diakibatkan oleh konspirasi akal bulusmu agar aku kedinginan dan merasa sial. Ini hidup.

Kau, Sihir Hujan. Ada untuk sekedar mampir mengenalkan ujung runcing pada hidup yang terlanjur tajam.
Setiap hujan, aku selalu mengingatmu. Genangan-genangan air membuatku bergerak pelan sekali, ketakutan ada pejalan kaki yang terciprat olehku. Ini seperti rekayasa yang kau lakukan agar aku sepersekian detik merasa perlu hati-hati dan waspada dengan jalan licin. Ini hidup.

Kau, Sihir Hujan. Ada untuk sekedar mencubit kulit lenganku, ini bukan mimpi atau ilusi, cepat lari kejar semuanya demi kebaikan. Ini hidup.

Suatu hari aku benar-benar bersamamu berbagi kegilaan. Bertubi kesialan datang dan aku mengenalkanmu dengan satu solusi yang paling mudah. Ini hidup. Tertawalah. Kita duduk di tepian jalan raya. Tampak lusuh dan seharusnya resah. Namun, tak ada gunanya kau bersedih.

Tertawa lebih mudah. Mari berjalan di sampingku sebagai seorang sahabat yang baik. Ada setampuk kata yang tak jadi cerita. Saat bertemu kita hanya tertawa dan menggila.

Matamu ceria, tak lagi menyihir hujan untuk berhenti.

Semua yang kupikirkan konspirasi dan rekayasa ternyata bukan apa-apa. Ini hidup, sihir hujan. Tertawalah.

Surat pendek,

@badutromantis untuk @sihirhujan

ps: cepat dapat kerja yang lebih baik

Kura-Kura Terbang

Kepada kura-kura yang ingin selalu ingin terbang, tanpa tahu jalan pulang.

Hai kamu,

Apa kabar? Saya tidak ingin menanyakannya langsung ke kamu, dan sebenarnya pertanyaan “apa kabar” tadi hanya basa-basi. Saya tidak ingin terlalu ingin tahu kabarmu, karena saya toh sudah tahu melalui status BBM-mu yang kamu update hampir setiap lima menit sekali itu. Recent updates saya selalu ada kamu di paling atas. Hehe.

Katakanlah saya lebay, tapi lebih lebay mana dibanding dengan kura-kura yang ingin terbang?

Beberapa kali kamu mengatakan kepada saya bahwa kamu dijuluki “kura-kura” semasa sekolah dulu. Dan entah kenapa, saya menangkap rasa bangga ketika kamu menceritakan hal itu. Buat saya itu bukan suatu pujian, karena (maaf) badan dan kepala kamu memang mirip kura-kura. Dagingmu pun tebal. Teman-temanmu pasti juga setuju dengan saya.

Dan kebanggaan kamu terbersit dengan seringnya kamu menggunakan foto kura-kura terbang di profile picture BBM kamu. Tak lupa dengan menuliskan status: “With God all things are possible.” Kadang dengan tata bahasa yang salah, tapi kurang lebih seperti itu. Intinya, kamu percaya bahwa kura-kura itu memang bisa terbang. Mungkin kamu juga percaya bahwa katak bisa menjadi pangeran dengan satu ciuman saja. Have you ever french-kissed a frog yourself? A female one? Did she turn into a beautiful princess? Saya belum pernah, tapi entah sudah berapa ratus kodok masak, baik jantan maupun betina, yang pernah masuk ke mulut dan berbaring di lidah saya, sebelum meneruskan perjalanan ke pencernaan saya. Mereka tidak berubah menjadi sepasukan pangeran tampan dan putri cantik. Mungkin saya yang kurang iman?

Saya setuju denganmu bahwa tiada yang mustahil bagi Tuhan. Sejak saya duduk di bangku Sekolah Minggu, kakak-kakak pengajar juga sudah bilang begitu. Dan beberapa kali saya sendiri sudah mengalami betapa Tuhan itu luar biasa ajaibnya.

Tapi kura-kura yang terbang?

Begini. Saya mengerti keinginanmu untuk menjadi kaya mendadak. Semua orang juga ingin begitu, termasuk saya. Tapi jika kamu seekor kura-kura, berusahalah menjadi kaya dengan cara kura-kura - bukan dengan cara kupu-kupu. Kupu-kupu diberi sayap oleh Tuhan, kura-kura diberi punggung yang kuat. Pergunakan apa yang kamu punyai, bukan apa pun yang tidak kamu miliki. Dan mungkin kura-kura lambat. Itu tidak mengapa, yang penting selamat sampai di tujuan. Tidak perlu tergesa. Bukankah segala sesuatu di muka bumi ini ada waktunya?

Kura-kura yang ingin terbang,

Keinginan kamu terlalu banyak. Dan kamu ingin semuanya berjalan cepat. Mendengarkan impian kamu itu serasa diajak melompat-lompat bersama dengan kecepatan tinggi di tempat antah-berantah. Sesak nafas rasanya. Bagaimana jika Tuhan memberikan segalanya dengan cepat lalu mengambilnya dengan cepat juga? Kamu ikhlas jika hal itu terjadi?

Kura-kura,

Ayo berenang terus. Atau berjalan dengan sepatu roda jika ingin cepat. Jangan lupa untuk membeli dua pasang sekaligus. Berhentilah untuk ingin terbang. Bahkan guru terbang seekor elang pun tidak akan sanggup mengajarimu terbang. Karena kamu adalah seekor kura-kura. Karena kamu memang tidak punya sayap. Karena hidup ini bukan dongeng, meskipun mukjizat Tuhan itu nyata.
Salam saya untuk para ikan di kolam. Semoga mereka tidak ingin berubah menjadi manusia.


- @dear_connie

Halo Tuan Arisitek (4)

Halo Tuan Arsitek,


Ada masa ketika nanti jari-jemari kita seolah membeku. Layar di depan kita berpendar redup, kesepian tanpa garis dan kata. Ruangan ini hening tanpa nyaring cumbuan jari pada papan ketik dan tetikus. Belum lagi mulut kita yang saling terkatup sejak tadi.

Sunyi. Seakan-akan mereka kabur dan bersembunyi dari kita. Mereka yang menciptakan riuh dan senantiasa mengajak pikiran ini berkelana. Mereka adalah inspirasi.

Selama sesaat hela napas panjang darimu mengusir senyap yang berkerumun. Aku menoleh padamu, memandangimu dengan wajah sama kusutnya. Kamu mengusap wajahmu kemudian bangkit dari kursimu begitu saja. Meninggalkan layar yang pelan-pelan menggelap serta lembar-lembar Moleskine penuh coretan.
Aku kembali ke duniaku, masih bertahan dengan jari-jemari bersentuhan dengan permukaan papan ketik. Sesekali aku menatap catatan-catatan di Moleskine-ku, lalu kembali ke layar. Akan tetapi, tak satu pun deret aksara bertambah di sana. Pelan-pelan aku menarik tanganku menjauh dari sana. Tatapanku beralih pada kalender yang sekaligus berfungsi sebagai papan jadwal—penuh warna merah di sana.

Deadline. Deadline-ku. Deadline-mu. Deadline kita.

Tik-tok-tik-tok. Jarum jam di dinding itu terus melangkah riang. Tanpa peduli aku yang sendiri dan kamu yang pergi.

Semua pikiran itu mendadak lenyap ketika melihatmu kembali. Penat yang terpahat di air mukamu menyurut oleh senyum yang terhampar di bibirmu. Kamu tak kembali sendirian, tapi ditemani wangi kopi yang mengepul. Secangkir di tangan kirimu, secangkir di tangan kananmu yang terjulur padaku.

Aku balas tersenyum seraya meraih cangkir di tanganmu.

Senyum yang menuntun inspirasi pulang kembali kepada kita.

Selamanya aku ingin tersenyum bersamamu.

Sampai jumpa di kesempatan yang tepat,

Nyonya Pengarangmu


Bogor, 18 Januari 2012

- surat @adit_adit 

Surat Wasiat Penuh Cinta

Anak-anakku tersayang,

Saat kalian membaca surat ini Ayah sudah tidak ada lagi. Ayah tidak tahu apakah kalian sedang menangis sedih atau sedang tertawa bahagia. Ayah harap yang pertama. Ayah tahu kalian lebih dekat pada almarhum ibu kalian dan tidak terlalu dekat dengan ayah sejak kecil, tapi kalian tetap anak ayah. Dan ayah berharap kalian mencintai ayah sebesar ayah mencintai kalian.

Anak-anakku tersayang,

Tidak banyak yang bisa ayah tinggalkan. Hanya beberapa benda kenangan yang sangat berharga bagi ayah. Dan walaupun rasanya itu tidak cukup banyak untuk menunjukkan rasa cinta ayah pada kalian, tapi ayah merasa kalian harus tahu dan mendapatkan sesuatu dari ayah. Untuk itulah ayah menuliskan surat ini. Mudah-mudahan ayah cukup adil pada kalian.

Untuk anakku Toni,

Kau adalah anak paling besar. Kaulah yang paling lama kenal dengan ayah. Ayah rasa kau berhak mendapatkan sepeda ayah. Kau tahu, sepeda itulah yang telah menghidupi kita sejak awal. Dengan sepeda itu dulu ayah bisa bekerja mencari nafkah setiap hari. Sepeda itu adalah barang milik ayah yang paling berharga. Kau harus merawatnya baik-baik. Setiap kali melihatnya, kau harus selalu ingat awal perjuangan ayah dulu. Dan kau harus meneruskannya, nak. Beri contoh yang baik untuk adik-adikmu. Kau adalah pemimpin mereka sekarang.

Untuk anakku Soni,

Kau anak ayah yang paling pintar di sekolah. Ayah selalu bangga padamu tiap kali menerima raport di sekolahmu. Kau yang paling berhak menerima pulpen kesayangan ayah. Kau tahu, pulpen itu telah membantu ayah bertahun-tahun, dan menemani ayah sejak awal. Simpanlah, nak, dan ingatlah bahwa tangan ayah selalu memegang pulpen itu setiap hari. Kelak, ketika kau harus memutuskan suatu hal yang penting, ingatlah bahwa banyak keputusan ayah dilakukan bersama pulpen itu. Ayah harap itu bisa menyemangatimu, nak.

Untuk anakku Diana,

Kau anak perempuan ayah satu-satunya. Kau tahu kadang-kadang ayah pikir ayah menyayangimu lebih dari yang lain. Tapi ayah tak pernah bisa menunjukkannya. Ayah menyesal kita tak bisa dekat satu sama lain seperti ayah-ayah lain dengan anak perempuannya. Maafkan ayah, nak. Untukmu ayah tinggalkan buku harian ayah. Ayah harap kau bisa mengenal ayah lebih dekat melalui buku harian itu. Kau bisa tahu betapa ayah sangat menyayangimu. Oya, kaulah sekarang yang bertugas untuk mengurus kakak-kakakmu. Ingatkan mereka saat mereka lupa. Bangkitkan mereka saat mereka terjatuh.

Anak-anakku tersayang,

Barang-barang yang ayah tinggalkan untuk kalian itu memang tidak banyak, namun itu adalah barang-barang yang paling berharga. Barang-barang yang paling ayah sayangi. Seperti kalian. Rasanya barang-barang paling sarat kenangan dalam hidup ayah itulah yang paling pantas untuk kalian. Biarkan barang-barang yang lainnya seperti rumah, villa, dan mobil menjadi milik ibu tiri kalian. Barang-barang itu tak ada harganya. Tak ada gunanya bagi kalian. Dan jika kalian rindu pada ayah, ayah harap warisan ayah untuk kalian itu dapat sedikit mengurangi rasa rindu itu. Ayah sungguh sayang pada kalian, nak.

Peluk cium ayah menyertai kalian selalu.

- @bernardls

Sakitnya Keikhlasan

Selamat siang, Kisha tersayang..

Apakah tidak terlalu dini meraih suratku saat ini? Semoga kau telah membereskan semuanya dengan baik. Satu-satunya yang kutakutkan adalah, bahwa aku hanya akan menjadi lalat pengganggu bagimu.

Bagi seorang pecinta, impian terbesarnya adalah menjadi penyejuk, pengayom, sekaligus penghibur bagi yang dicintai. Namun kadangkala bukan perkara mudah untuk mendapatkan kesempatan berharga itu. Kecuali jika mereka telah terikat dalam penyatuan sempurna yang bernama pernikahan. Itulah mengapa pernikahan dianggap sebagai puncak dari pencapaian perjuangan cinta. Karena hanya dengan melalui pernikahan maka impian seorang pecinta dapat terwujud dengan mudah.

Ngomong-ngomong soal pernikahan, masih ingatkah kau bahwa dulu kita sering bermain pengantin? Tentu saja pengantin bohong-bohongan. Kita lah yang berpura-pura menjadi pasangan pengantin. Kau senang sekali memakai mahkota dari jalinan rumput liar yang dipilin-pilin. Kau selipkan kembang sepatu di telinga kirimu. Bagiku, kau tampak cantik sekali meski kawan-kawan kita cekikikan saat melihat dandananmu. Aku, yang berpura-pura menjadi pengantin pria, menyematkan cincin di jari manismu. Cincin itu terbuat dari serabut akar yang telah kujalin. Kemudian teman-teman yang lain berbaris berderet untuk menyalami kita, pura-pura memberi selamat. Selanjutnya para tamu dan juga kita disibukkan dengan pesta jamuan yang juga bukan sungguhan. Sajian penganan itu terbuat dari tanah, batu bata, bunga, dan dedaunan. Kita semua bergembira seolah benar-benar merayakan pesta. Namun jauh di lubuk hatiku, sempat terselip doa diam-diam, semoga permainan ini kelak menjadi kenyataan.

Tapi aku pun ingat pada suatu momen ketika kita bermain pengantin-pengantinan. Di tengah keasyikan permainan kita, tak sengaja mataku menangkap bercak merah pada rok bagian belakang yang kau pakai. Kau sendiri tampak tak menyadarinya, terus saja sibuk mondar-mandir  dan tertawa-tawa dengan teman-teman yang lain. Kupikir, apakah kau sedang terluka atau bagaimana. Tapi sepertinya kau tak tampak kesakitan. Mustahil jika itu adalah bekas bercak darah yang telah lama, karena sepertinya masih baru. Maka saat kau sedang menyusun bebungaan di sampingku, kugamit lenganmu. Kau menoleh padaku. Kutanyakan apakah kau sedang sakit atau terluka, kau menggeleng. Aku bersikeras bahwa kau sedang terluka — mungkin tersayat. Kukatakan bahwa aku melihat bercak darah di rok bagian belakangmu. Kau terkejut dan segera memeriksa bagian belakang rokmu. Keterkejutanmu semakin tergambar jelas. Saat itu juga, dengan gugup kau katakan bahwa kau hendak pulang, tak lagi meneruskan permainan. Aku menawarkan diri untuk mengantarmu.

Sepanjang perjalanan kau hanya terdiam, dan aku pun ikut-ikutan diam. Kita saling berjalan bersisian dalam keheningan. Langkahmu tergesa, membuatku semakin merasa khawatir. Kupikir kau memang benar-benar sakit.

Sesampai di halaman depan rumahmu, secepat kilat kau berlari ke dalam rumah. Aku memilih duduk di teras rumah, menunggumu sembari membolak-balik halaman koran yang tersedia disitu. Kutunggu-tunggu sampai beberapa lama, kau tak kunjung keluar menemuiku. Aku semakin tak sabar, sekaligus penasaran. Bagaimana keadaanmu? Apakah kau baik-baik saja atau memang sedang sakit? Karena ketaksabaranku, kemudian aku mencoba untuk melongok-longok melalui pintu ruang tamu sembari memanggil-manggil namamu. Kau tak jua menjawab.

Namun tak seberapa lama ibumu muncul dan menemuiku. Pada beliau, aku memberanikan diri untuk bertanya, “Kisha dimana, mama?” Lagi-lagi, senyum ibumu terkembang sempurna. “Sepertinya hari ini Kisha tak bisa bermain, Ramu.” katanya lemah lembut. “Memangnya kenapa, mama? Apa Kisha sakit? Tadi aku melihat bercak darah di belakang roknya… Aku takut Kisha kenapa-napa, mama..” Aku tak lagi bisa menyembunyikan kekhawatiranku. “Tenang saja, Ramu. Kisha nggak kenapa-napa kok. Kamu tak perlu cemas, ya. Kisha sekarang sudah jadi wanita yang lebih dewasa, bukan anak-anak lagi. Sepertinya sekarang Kisha sedang ingin istirahat. jadi besok baru bisa ketemu Ramu lagi, ya.” tuturnya lembut. Sejenak aku merasa bingung. Apa maksud ucapan ibumu? Mengapa ia mengatakan sekarang kau sudah menjadi wanita yang lebih dewasa dan bukan anak-anak lagi? Tapi aku merasa tak enak bersikap terlalu cerewet di depan ibumu. Maka dengan masih menyimpan sejuta pertanyaan, kuputuskan untuk pulang.

Sesampai di rumah, aku enggan bergabung bersama adik-adikku yang sedang menonton kartun di ruang tengah. Aku masih memikirkan kamu sekaligus ucapan ibumu. Kulihat ibu sedang menata talam untuk persiapan pengajian. Tiba-tiba terbersit pikiran untuk membagi pengalaman dan ceritaku mengenai kamu kepada ibu. Biasanya, aku memang senang mencurahkan segala kisah maupun isi hatiku kepada ibu, terutama ketika aku sedang merasa galau. Maka kuhampiri ibu dengan hati-hati, kemudian duduk di sisinya. Aku mulai bercerita tentang kejadian mengenai kamu. “Itu namanya Kisha sedang dapat menstruasi. Perempuan yang sudah akil baligh akan mendapatkannya setiap bulan. Mungkin yang dialami Kisha itu adalah menstruasi pertamanya.” Ibu mencoba menjelaskan. “Memangnya mengapa perempuan harus mendapat menstruasi, ibu?” tanyaku, masih tak mengerti. “Kalau perempuan sudah mens berarti sudah boleh menikah dan sudah bisa punya anak.” Jawab ibu enteng. Aku masih tak yakin, tapi mencoba menerima jawaban ibu. “Apakah menstruasi itu sakit, bu?” tanyaku lagi. “Tergantung. Ada beberapa perempuan yang merasa sakit, ada yang tidak.” Sejenak aku mengkhawatirkanmu. Bagaimana jika kamu termasuk yang mengalami sakit saat menstruasi? Namun teringat pada penjelasan ibu bahwa perempuan yang sudah mendapat menstruasi boleh menikah dan punya anak, aku tersenyum. Kubayangkan sebuah pelaminan dimana aku dan kau duduk disana. Dan aku pun mulai membayangkan bayi-bayi…

Baru keesokan harinya aku dapat menjumpaimu di sekolah. Tapi tingkah lakumu tak seperti biasanya. Saat jam istirahat berdenting, kau memilih tetap tinggal di kelas, duduk di bangku belajarmu sembari membaca-baca buku yang kau pinjam dari perpustakaan tempo hari. Kuajak engkau bermain di halaman sekolah, kau menolak. Kurayu pergi ke kantin, kau pun tak hendak. Aku pantang menyerah, terus saja mencoba mengajakmu mengobrol. Tapi sepertinya kau sedang tak minat bicara banyak. Yang ada, kau justru seringkali senewen. Kurasakan senyummu pun mahal.

Nyaris selama tujuh hari berturut-turut kau menjadi sosok Kisha yang menjengkelkan. Kau jadi sedemikian sensitif bahkan terhadap hal-hal sepele dan gemar marah-marah. Tentu saja aku yang seringkali menjadi sasaran kemarahanmu karena memang akulah yang kerap memancing emosi marahmu. Sempat aku merasa sedih, mengira kau telah bosan berteman denganku. Kadang aku juga berpikir, jangan-jangan perubahan sikapmu adalah efek samping dari menstruasi yang kau alami. Apakah seorang anak yang telah menjadi gadis akan berubah menjadi semenyebalkan ini? Bukankah itu sama sekali tidak menyenangkan? Kalau begitu, mengapa anak-anak perempuan suka sekali berangan-angan untuk menjadi wanita dewasa? Aku sungguh tidak mengerti.

Kisha yang seorang gadis cukup berbeda dengan Kisha kecil yang pertama kali kukenal, meski perbedaan itu tak terlalu jauh. Setidaknya, Kisha yang beranjak remaja tak lagi mau bermain lompat tali atau memanjat pohon. Tak lagi mau mandi bersama-sama di sungai bendungan atau  berenang di tepi lautan karena kau tak mau mencopot baju sembarangan. Begitulah alasan yang kau utarakan. Saat kita beranjak lebih besar, satu-satunya aktivitas yang masih menjadi kegemaran kita adalah membaca dan membicarakan cerita. Entah itu di bawah pohon di atas bukit, di pantai, atau di rumahmu. Kita pun senang bermain monopoli, permainan yang baru dibelikan oleh ayahmu. Di sekolah, kita semakin sering menghabiskan waktu di perpustakaan.
Saat itu kita memang sudah menginjak kelas tujuh di sekolah menengah. Kita masih tetap bersama-sama meski mulai jarang memainkan permainan-permainan di masa kecil.  Pelan-pelan, Kisha dan Ramu kecil menapak masa-masa pra remaja yang menjanjikan gairah yang berbeda. Kita mulai sibuk mencari-cari eksistensi pada dunia yang baru. Tapi aku pun juga disibukkan oleh geliat rasa cinta terpendamku kepadamu. Seperti mencermati gelegak air mendidih dalam ketel yang tertutup.

Sedangkan kau, semakin hari terlihat semakin cantik. Wajahmu yang oval mulai terpulas bedak, membuatmu semakin bersinar. Aku senang sekali memandangmu di kala pagi. Bahkan kesejukan yang kau timbulkan pada mataku jauh lebih dahsyat daripada aku memandangi hijaunya rimbunan semak. Tapi pernah pula aku melihat sebuah benjolan merah di sebelah kanan hidungmu. Semula aku tak terlalu memperhatikanmu. Namun karena kau bertingkah aneh dengan terus-terusan menutupi wajah bagian kanan dengan tanganmu, aku pun jadi curiga. Saat kau lengah, aku baru dapat mengetahui apa sebenarnya yang kau tutup-tutupi. Ah, rupanya kau sedang berjerawat. Kau punya satu jerawat yang besar sekali! Memerah, membengkak, dan menantang. Tentu saja aku tak asing dengan jerawat karena wajah ibuku senantiasa dipenuhi jerawat. Tanpa peduli perasaanmu, aku menggodaimu, mengolokmu tak bosan-bosan. Kupikir inilah saat yang tepat untuk membalasmu setelah masa-masa murammu yang menyebalkan itu. Kau semakin kesal padaku. Sambil mengejar-ngejar aku, kau lempar dengan penuh emosi buku matematikamu hingga tepat mengenai kepalaku. Aku meringis kesakitan, namun juga senang.

Aku telah cukup lama mengenalmu. Aku tahu betul bagaimana sifat dan watakmu. Kau bukanlah seorang pemarah, dan sejatinya kau pun bukanlah seorang pendendam. Yang tidak pernah berubah darimu, kau adalah seorang anak, seorang gadis yang periang. Sejengkel apapun kamu terhadapku, esok aku selalu masih menemukan senyum ceriamu. Esok aku selalu dapat bermain bersamamu, berada di dekatmu.
Saat itu kita memang masih sering bermain ke pantai. Namun selain pantai, sebenarnya ada pula tempat indah dan mengasyikkan yang menjadi favorit kita. Bukit Mahligai, begitu orang-orang menyebutnya. Bukit itu tak terlalu tinggi. Puncaknya hanya setinggi dua puluh meter dari permukaan laut. Terdapat banyak bebatuan besar yang tersusun acak. Tanahnya menghijau oleh rumput-rumput liar pendek. Beberapa penduduk gemar memangkasi rumput disana demi memberi makan ternak mereka. Selain semak-semak perdu, terdapat pula sebuah pohon akasia yang cukup besar dan rindang. Kita seringkali bermain dan beristirahat di bawahnya. Anak-anak yang lain pun kerap menjadikannya sebagai tempat bermain.  Jika siang hari, suasana disana lebih sepi ketimbang sore hari. Tapi kita lebih senang kesana pada siang hari selepas pulang sekolah. Rasanya lebih nyaman karena kita dapat menikmati semilirnya angin segar. Kadangkala kau membawa buku. Aku senang sekali tidur-tiduran di salah satu batu besar di bawah pohon itu sembari mendengarmu membaca buku keras-keras. Kadangkala kita membaca berganti-gantian.

Di bukit itu kau pernah mengungkapkan sesuatu yang kemudian membuat hatiku pecah berkeping-keping, patah hati sejadi-jadinya. Kala kita sedang asyik berdua membicarakan sekolah, teman-teman kita, guru-guru kita, tugas terakhir, sambungan serial televisi dan komik terbaru yang kau miliki, tiba-tiba kau bertanya sesuatu dengan sikap diluar kewajaran. “Ramu, menurutmu Andrea itu bagaimana?” Aku sempat bingung, hal apa yang membuatmu tiba-tiba menanyakan soal Andrea. Sepanjang obrolan, kita sama sekali tak pernah mengulas apapun yang menyangkut murid pindahan itu. Tapi tiba-tiba kau menanyakannya. Aku was-was. Yang menjadikan perasaanku tak enak, Andrea adalah seorang anak laki-laki yang sepatutnya kucemburui. Ia adalah siswa pindahan yang masuk ke kelas tujuh. Menruut banyak cerita, ia datang dari kota besar nun jauh disana, kemudian ayahnya dipindahtugaskan.

Andrea seorang anak yang kaya raya, dari keluarga yang terhormat pula. Wajahnya  tampan, perawakannya menawan. Ia benar-benar berpotensi menjadi idola murid-murid perempuan. Tapi aku sungguh tak berani membayangkan jika Kisha-ku, Kisha yang kucintai diam-diam, pun menaruh hati pada anak sombong itu. Kukatakan sombong karena sejauh ini ia begitu pemilih dalam bergaul. Tatapan matanya terlihat merendahkan. Gerak-geriknya terlihat sok, dan ia hanya mau berbicara dengan guru ataupun teman yang sepadan dengannya. Mengetahui kau menyebut nama Andrea saja sudah membuatku mulas. Dan yang membuatku merasa kesemutan, kau menyebut namanya dengan tersipu malu, dengan wajah merah merona.

“Mengapa kau tiba-tiba menanyakan soal Andrea?” Aku menyelidik. “Aku hanya sekedar bertanya. Menurutmu dia seperti apa? Apa kira-kira anak seperti dia sudah punya pacar?” Jawabmu setengah berbisik, setengah malu-malu. Ah, Kisha… Siapapun yang bertanya seperti itu, semua orang pasti tahu bahwa ia memiliki perasaan tertentu pada orang tersebut. Memiliki dugaan ini saja membuat hatiku rontok seketika. “Aku tahu! Kau pasti menyukainya! Iya, khan?” Aku mencoba menyimpulkan. Sedapat mungkin aku bersikap sewajarnya, seolah sama sekali tak terpengaruh. Aku harus menjaga sikap seolah-olah aku memang benar-benar sahabatmu yang dapat kau ajak berbicara apa saja – termasuk tentang seseorang yang kau taksir sekalipun.

Kau justru makin tersipu. Mukamu benar-benar memerah, tawamu pun merekah.  Kau bahkan berusaha untuk meutupi wajah dengan kedua tanganmu. Aku mencoba untuk ikut tertawa, menggodamu, membuat diri pun merasakan senang seperti yang kukira sedang kau rasakan. “Dengar, Ramu. Aku hendak menceritakan rahasia kepadamu. Tapi berjanjilah untuk tidak membocorkannya pada siapapun, terutama pada teman-teman kita.” Mimik mukamu berubah serius, dan sepertinya kau hendak membicarakan hal besar kepadaku. Aku lebih mendekat, bersiap mendengarmu. “Dua hari yang lalu Andrea mengirimiku surat cinta. Dia bilang dia suka padaku, dan ingin menjadi pacarku. Tapi sampai saat ini aku belum menjawabnya. Menurutmu bagaimana, Ramu?”

Hatiku mencelos kala mendengar apa yang kau katakan. Ah, ternyata tak cukup hanya Romi yang menyatakan cinta padamu. Dulu aku sudah dapat menduga dengan tepat bahwa Romi takkan punya peluang sama sekali. Namun kali ini sepertinya berbeda. Anak laki-laki itu adalah Andrea! Dan ia punya segalanya untuk menarik hatimu. Tiba-tiba tubuhku serasa kehilangan tulang. Tapi kucoba menguatkan diri, bersikap sewajarnya seorang sahabat. “Wah, itu bagus!” Seruku. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku telah berekspresi keliru. “Kau sendiri menyukainya, tidak?” tanyaku supaya terlihat lebih perhatian. “mm… entahlah… Kurasa dia cukup menarik…” Kau menjawab dengan setengah melamun. Benakmu mulai mengembara. Kupikir aku tahu kau sedang mengembara kemana. Karena aku pun mulai membayangkan sosok Andrea.

Sejak itu, aku dihujani mimpi buruk tentang kau dan Andrea. Hatiku pedih tiap kali membayangkan kau akan menerima cinta Andrea dan bersedia menjadi pacarnya. Bagaimana dengan perasaanku sendiri? Aku telah cukup lama memendam cinta kepadamu. Sedangkan Andrea hanyalah seseorang yang tiba-tiba muncul. Namun kemunculannya itu telah sanggup memporakporandakan seluruh mimpiku, harapanku. Apalagi mengingat apa yang dimiliki Andrea, membuatku harus menelan ludah menerima kenyataan pahit. Aku bahkan tak layak untuk dibedakan dengan Andrea yang jelas lebih kaya dan lebih tampan daripadaku. Aku sadar siapa dan bagaimana diriku. Karena itulah yang membuatku tetap bertahan untuk lebih baik memendam cintaku terhadapmu. Barangkali aku memang hanyalah pungguk yang merindukan bulan. Kemarin aku mencoba untuk senantiasa berbesar hati menerima cinta yang terpendam karena keadaanku sekaligus tipisnya nyaliku. Tapi sekarang, ketika sosok Andrea tiba-tiba muncul, aku tak tahu seperti apa sikap berbesar hati itu. Aku terpuruk. Aku kesal. Aku marah.

Beberapa hari kemudian kau tergesa-gesa mengajakku kembali ke bukit. Kau tak peduli meski langit sedang menggantung mendung. Katamu, ini lebih penting daripada hujan. Sepertinya kau tak sabar hendak mengatakan sesuatu padaku. “Ramu, aku mau minta tolong padamu. Kuharap kau tidak menolaknya. Aku mohon, ya…” Kau merayuku. Kutatap wajah dan sorot matamu yang tanpa dosa, menghiba dan penuh pengharapan. Melihatmu demikian, siapa yang sanggup menolak? Andaikan saat itu kau minta aku untuk memindahkan bukit pun barangkali aku bersedia. “Aku minta tolong padamu untuk menyampaikan surat ini pada Andrea.” Kau mengeluarkan sebuah amplop dari balik lipatan buku cerita yang kau bawa. “Surat apa ini?” Aku tak tahan untuk ingin tahu. “Surat balasanku untuknya.”jawabmu. Aku teringat cerita tentang Andrea yang mengirimkan surat cinta untukmu. “Kau balas apa? Apa kau menerimanya?” Aku bertanya dengan dada yang bergemuruh. Kau tak menjawab, melainkan hanya tersenyum lebar. Senyum yang membuatku menyadari bahwa kau telah menerima cinta Andrea. “Baiklah. Aku akan menyampaikannya besok di sekolah, ya.” Kataku sedikit kaku. “Jangan, Ramu. Aku ingin kau menyampaikannya sekarang. Di sekolah sangat berbahaya. Bagaimana jika anak-anak tahu? Pergilah ke rumah Andrea sekarang. Kau tahu rumahnya, bukan? Aku mohon, Ramu…” Kau kembali memohon. Kutangkap cinta di matamu. Tapi aku tahu, bahwa cinta itu jelas bukan untukku. “Tapi sebentar lagi akan hujan, Kisha. Lagipula, rumah Andrea cukup jauh… Perlu tiga puluh menit naik sepeda.” Aku mencoba memberimu pengertian. Tapi tatap matamu terus menghiba. Tatap mata yang penuh pengharapan, menyimpan sejuta asa, kerinduan, dan cinta. “Baiklah, aku akan berangkat.” kataku pada akhirnya.

Dengan membawa surat cintamu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil sepeda. Sementara itu, gumpalan awan kelabu yang terlihat berat menanggung beban berarak memayungi kampung Sammoa. Kukayuh cepat-cepat sepeda bututku menyusuri jalanan tanah yang berkerikil hingga mencapai jalan besar beraspal. Kuterjang batu-batu kecil yang menghadang. Beberapa ayam kampung yang melintas dengan melenggang berlari terbirit-birit hingga merontokkan helai bulu-bulu mereka. Kukayuh pedal dengan kekuatan maksimal. Aku bersepeda seperti orang kesetanan. Mungkin jiwaku pun sedang kesetanan. Mataku nanar menatap jalan lurus ke depan, tapi benakku penuh berisi kamu, Andrea, melintas-lintas, berganti-gantian. Kubayangkan kamu dan Andrea sedang tertawa. Terus saja tertawa. Bukan tertawa karena memadu bahagia, tetapi menertawaiku. Menertawai kebodohanku, kemalanganku, ketragisan nasib cintaku. Bunga mawar yang kutanam dan kurawat sepenuh hati dalam hatiku telah merontokkan kelopaknya satu persatu, pun dengan dahan yang telah mengkerut layu.

Mendung semakin gelap, segelap hatiku. Kurasakan titik-titik air yang mulai berjatuhan memerciki tubuhku, sepedaku, jalan-jalan, dan apapun yang kulintasi. Aku sudah berjanji padamu. Apapun yang terjadi, meski hatiku terkoyak, suratmu harus sampai di tangan Andrea. Ah, mengapa harus Andrea? Anak itu selalu beruntung sejak lahirnya. Tidakkah pernah terlintas dalam pikirannya bahwa keberuntungannya pun acapkali menggerus keberuntungan orang lain? Lihat apa yang telah dia lakukan. Kau jatuh bertekuk lutut menyerahkan cinta dengan begitu mudahnya. Padahal ia baru beberapa bulan di sekolah kita. Seberapa jauh dia mengenal sosok Kisha? Dan lihat! Betapa mudahnya ia menyatakan cinta dengan hanya perkenalan dan kebersamaan yang takkan bisa dibandingkan denganku! Lagipula, tidakkah kau menemukan kekurangan atau kelemahannya – yang setidaknya mampu membuatmu mempertimbangkan lebih lama untuk menerima cintanya? Perasaan dan emosiku terus berkecamuk hingga membuatku tak lagi peduli dengan perjalanan yang dihempas hujan. Kaos dan celana pendekku telah basah kuyup. Rambutku basah, wajahku basah, pipiku pun basah. Basah oleh hujan dan air mata yang semakin deras. Barangkali suratmu pun juga basah. Tapi aku tak mau ambil peduli. Biar saja basah, biar saja air hujan melunturkan tulisan dalam suratmu yang telah meruntuhkan harapanku, menghanguskan semangatku. Biar saja. Kalau perlu, biar saja surat itu hancur menjadi bubur oleh hujan lebat yang terus mengguyur. Itu bukan salahku! Salahkan saja hujannya. Salahkan Andrea!

Kekacauan yang menguasai pikiranku membuatku tak awas melihat jalan. Ditambah dengan air hujan yang menghalangi pandanganku, membuatku merasakan kesialan yang bertubi-tubi. Sekonyong-konyong rodaku menumbuk sesuatu yang membuatku jatuh dan terpelanting. Lulutku memar membentur aspal, membentuk goresan luka yang kemudian terasa perih saat terguyur hujan. Beberapa jari kakiku terkilir, sakit sekali rasanya. Aku berteriak dalam kesendirian. Aku merasa sakit keseluruhan. Sakit kakiku, sakit juga hatiku. Kuurut-urut sejenak jemariku hingga sedikit merasa lebih baik. Ah, mengapa aku selalu tidak beruntung? Bahkan sekedar hendak menyampaikan surat pun aku masih juga tidak beruntung! Kuperiksa keadaan, ternyata ada sebuah kayu lapuk yang tergeletak melintang di tepi kiri jalan. Dengan mengabaikan luka yang kualami, aku segera bangkit dan kembali meraih sepedaku. Kutabahkan diri untuk meneruskan perjalanan. Luka di lututku terasa pedih. Namun hatiku jauh lebih pedih.

Andrea berdiri kaku di hadapanku. Ia terkejut dan terheran-heran dengan kedatanganku. Ia menyuruhku masuk, tapi kutolak. Segera kuserahkan suratmu yang kusimpan dalam saku celanaku. Surat cinta itu telah benar-benar basah, namun tidak hancur – seperti harapanku. “Dari Kisha”, kataku lirih. Aku mencoba tak banyak bicara demi menyamarkan emosiku yang belum pulih.

Pelan-pelan Andrea membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ternyata ia pun masih dapat membaca baris-baris tulisan Kisha yang indah. Ternyata hujan tak cukup banyak melunturkannya. Kulihat Andrea tersenyum setelah membaca suratmu yang singkat. Ada binar bahagia pada matanya yang teduh. Sialan! Anak laki-laki ini memang pantas disukai! Meski seribu tahun aku sibuk mengorek-ngorek kekurangan dan kecacatannya, aku pasti tak akan dapat menemukannya. Meski sebelumnya aku sempat menduga bahwa ia adalah anak yang sombong dan angkuh, nyatanya ia tersenyum ramah padaku dan mempersilakanku masuk. Hatiku lah yang sebenarnya belum sanggup menerima kebaikannya. Ah, melihat kesempurnaannya secara langsung, betapa jauhnya ia dibanding diriku. Rasanya aku ingin mengecil serupa semut kemudian menghilang dari hadapannya.

Terlalu lama berdiri di depan Andrea membuatku kikuk. Maka tak menunggu lebih lama, aku berpamitan pulang. Ia sempat menahanku karena hujan masih juga belum reda. Kupikir dia itu sedikit tolol. Jelas sekali ia melihat aku datang dengan keadaan basah kuyup. Bisa-bisanya ia  masih mengkhawatirkanku dengan alasan hujan.

Meski luka itu masih menganga, tapi aku pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Setidaknya, surat yang ‘memberatiku’ itu telah kusampaikan dengan sukses. Kurasa kau pasti akan senang. Kemudian kubayangkan senyummu yang biasa terkembang saat sedang senang. Bukankah itu juga akan menyenangkan hatiku? Apalagi yang bisa kuperbuat selain membuatmu senang? Kau memilihku atau tidak, kau tetap adalah cintaku. Demi kamu aku bahkan rela mengorbankan diriku di hadapan maut dengan terjun ke laut. Mengapa sekarang aku tak rela menghancurkan hatiku sendiri? Bukankah itu toh juga untuk kesenangan kamu, kebahagiaan kamu? Dibandingkan dengan rasa cintaku terhadapmu, keegoisanku masih jauh lebih kecil dan masih bisa kuatasi, meski dengan terpaksa. Barangkali aku memang harus lapang dada menerima kenyataan ini. Aku harus tabah, aku harus ikhlas, aku harus sabar. Bukankah orang sabar adalah orang yang beruntung? Pak ustad mengatakan itu berkali-kali.

Aku membayangkan kau sedang diliputi perasaan bahagia dan jatuh cinta. Tak bisa tidur karena memikirkan si dia sambil tersenyum-senyum. Aku pun tak bisa tidur karena memikirkanmu, memikirkan hatiku. Kadang aku menangis, tapi lebih sering kutahan-tahan. Saat kita bermain bersama, kau pun mulai kerap membicarakannya. Tentu saja dengan hati yang berbunga-bunga, dengan wajah yang berbinar-binar. Kau membicarakan apa saja tentangnya dengan tertawa-tawa senang. Kau pun ingin aku antusias dengan semua ceritamu, luapan perasaanmu. Aku melakukannya. Aku ikut tertawa, menggodamu, mendengarkan dengan penuh perhatian mengenai kisah-kasihmu bersama dia. Begitulah caraku membuat diriku sempurna di hadapanmu. Apakah aku sudah benar-benar tampak sempurna waktu itu, Kisha?

Sekedar itu tentu saja belum cukup. Bukankah aku juga cukup setia menemanimu? Maksudku menemani kalian? Kadangkala kau memintaku bergabung diantara kemesran kalian yang malu-malu. Entah itu di perpustakaan sekolah, di kantin, atau dimanapun kalian memiliki kesempatan untuk berduaan. Aku seolah menjadi penjaga yang siap mempertaruhkan nyawa untuk keselamatan kalian. Masihkah kau ingat bahwa kita bertiga pernah berjalan-jalan di pusat perbelanjaan yang terletak di pusat kota? Andrea yang mengajakmu, dan ayahnya yang mengantar kita. Kau tentu takkan mendapat ijin dari orang tuamu jika pergi seorang diri. Akulah yang menjadi penyelamatmu, bukan? Di mobil Andrea yang besar, kalian berdua duduk di tengah, sedang aku duduk sendiri di bagian belakang, menonton kalian yang sedang saling curi-curi pandang. Bukankah orang tua Andrea pun menyukaimu? Tentu saja menyukaimu karena derajatmu sepadan dengan mereka. Lagipula, orang tuanya pun terlihat  ramah dan baik, tak kalah dengan orang tuamu. Nah, betapa kalian adalah pasangan yang sangat serasi!

Tidakkah andilku memuaskan bagimu? Aku pun kerap menjadi penengah diantara kalian. Seorang penghubung yang baik. Di minggu-minggu pertama pacaran, kalian masih senang saling surat-suratan. Kau pikir siapa yang menjadi tukang pos cinta diantara kalian? Di tengah hubungan, acapkali kalian saling marahan. Apakah kau pikir hanya kau saja yang melampiaskan segenap perasaanmu? Bahkan kekasihmu yang tampan itu pun bertingkah laku sama denganmu. Ia kerap memintaku menjadi pendengarnya, menjadi corong atas hasrat hatinya supaya engkau lebih mendengar, lebih mengerti. Ia sering memintaku merayumu untuknya, dan kau pun sering memintaku untuk membetikkan pengertiannya. Tidakkah kau merasa beruntung berteman denganku, Kisha?

Andaikan ada yang mengetahui keseluruhan tentang sepak terjangku, perasaanku,  tentu mereka akan menganggapku gila. Menilaiku konyol. Mau-maunya aku melakukan itu semua! Tapi bukankah sudah kukatakan bahwa seseorang yang mencintai seringkali berlaku gila dan berbuat konyol? Kecintaanku padamu membuatku gila, dan kebodohanku membuatku bertingkah konyol. Antara gila dan konyol dalam diriku beda tipis. Aku gila sekaligus konyol.

Lagipula, lambat laun aku pun mulai terbiasa. Terbiasa menerima kenyataan bahwa selain ada aku dan kamu, juga ada dia. Pun terbiasa untuk kembali menyimpan cinta cukup di dalam dada. Bukankah dari dulu juga demikian? Barangkali aku memang harus mengikhlaskannya. Mencoba untuk memiliki sikap demikian membuatku merasa sedikit lebih nyaman dan tenang. Tapi entahlah, kadangkala kupikir pun beda tipis antara mengikhlaskan atau menyerah karena tak lagi dapat melakukan apapun. Pada kondisi yang sepesimis itu, tak ada yang lebih baik selain sekedar mengharap kamu bahagia dengan cara apapun yang kau kehendaki. Karena bahagiamu, kusadari pun adalah bahagiaku. Bagiku, lebih baik kutahan-tahankan diriku menatap keriangan kalian berdua daripada kehilangan senyummu sama sekali.

Tapi entahlah, apakah kemudian aku harus bersyukur atau turut bersedih. Tiga bulan menjelang, kujumpai kau terduduk murung di kursi terasmu. Saat melihatku, seperti biasa, kau tak sabar untuk menumpahkan segenap curahan hatimu. Kau ajak aku bergegas ke atas bukit. Disana kita saling duduk bersisian. Saat kutanya ada apa, kau malah menutup wajah dengan tanganmu. Di antara isak tangismu yang tertahan-tahan, kau katakan dengan terbata bahwa hubungan cintamu dengan pangeran yang sempurna itu telah berakhir.

Kisha yang kucintai,

Sesungguhnya apapun yang telah kita alami adalah anak tangga menuju posisi kita yang sekarang. Jangan pernah disesali, jangan pernah merasa bersalah, dan jangan pula membenci. Saat mengungkap semua ini kepadamu, kuharap kau tak kecewa padaku dan menganggapku menggenggam belati di balik punggungku. Kau tahu bahwa aku takkan pernah menyakitimu. Andaikan belati itu memang melukai, maka ia hanya akan menusuk jantungku sendiri. Namun itu tiadalah mengapa. Bukankah aku terbiasa dengan rasa sakit? Bukankah sudah kukatakan bahwa bagi seorang yang mencinta, bahkan rasa sesakit apapun takkan pernah dirasakannya? Maka janganlah kau mengkhawatirkanku. Sejak dulu hingga detik ini, yang kupedulikan hanyalah kebahagiaanmu. Andaikata kebahagiaanmu adalah dengan mencabik-cabik diriku, hatiku, aku rela dengan sepenuh hati. Jauh lebih baik daripada kehilangan senyummu sama sekali.

Kisha yang kucintai,

Barangkali kau merasa lelah sekarang. Aku pun mulai merasa lelah. Aku telah mengungkap banyak hal kali ini. Regangkan sejenak otot-ototmu supaya tak kaku. Tersenyumlah. Kau selalu lebih cantik jika tersenyum. Lihatlah ke arah luar. Apakah masih terdapat cahaya disana? Jika iya, berarti masih terdapat cahaya pula dalam hatimu, dalam rentang asa dan harapanmu. Bersabarlah. Aku akan kembali menjumpaimu esok.

Yang mencintaimu,

A Ramu

surat @bintangberkisah

aku pasti akan singgah

dear rafael,

“pada daun jatuh, Tuhan menyiapkan musim gugur—agar segalanya menjadi indah dan tak sia-sia”.__

ini penggalan sajakmu yang kau tulis untukku di lembar pertama buku puisimu. membacanya, aku serupa berada di danau tenang, duduk bersama angin (yang memainkan anak-anak rambutku), mendengarkan celoteh pipit di dahan akasia. aku betah berada di rumah kecilmu, sebuah pondok dengan rimbun teduh aksara, di tepian danau puisi. aku juga suka mengulang-ulang perjalanan pagi, siang, malamku dengan serenda penidur hujanmu. membaca puisimu serasa ada beban yang terangkat dari hatiku. menatap deret huruf itu serasa ada tangan yang membelai lembut pikiranku. semuanya terasa menyenangkan, menenangkan. bagiku, hadirmu lebih dari sekadar huruf. lebih dari itu, Tuhan sudah menghadirkanmu di takdirku. menjadikanmu bagian terhebat hidupku. (kelak) aku akan singgah sejenak di berandamu yang hangat. di sebuah rumah tempat cintamu berdiam. mungkin secangkir puisi dan sepiring senyuman bisa kau suguhkan untukku.

“Kini hujan datang membangun ingatan. kau dan aku terus membangun rindu. maka singgahlah sejenak—di manapun kini ada kita”

aku pasti akan singgah. seperti katamu, di manapun kini ada kita.

ps : titip salam untuk angin (psssttt ini rahasia kecil kita)

salam, amalia

surat @ama_achmad untuk @opiloph

(my name is) RAIN

Kalau kau bisa bicara, pasti kau akan berkata “Saat aku tidak turun dan membiarkan Matahari bersinar terang benderang memerkan teriknya, Kau Manusia akan mengeluh panas dan mengharapkan aku turun. Tapi saat aku turun, Kau Manusia tetap akan mengeluh agar aku lekas beranjak agar aktivitas kalian tidak terhalangi olehku. Dasar Kau Manusia labil yang tidak bersyukur!”.

Duhai Hujan… aku sebagai penggemarmu tentunya merasa prihatin terhadapmu, banyak yang memujamu sebanyak yang mencacimu. Terkadang memang kedatanganmu terlihat seperti suatu konspirasi yang sengaja berkolaborasi dengan Dewa Zeus dan Dewa Poseidon. Ya, aku tahu memang fenomena alam akan membelamu mati-matian bersih dari segala konspirasi tersebut. Hanya saja, petir Zeus disertai gemuruh guntur dan halilintar yang bersahut-sahutan dan gelombang pasang surut di lautan wilayah kekuasaan Poseidon terlalu membuat kedatanganmu nampak didramatisir.

Buatku, kau memberikan banyak momen romantis dan aku menikmatinya. Aku suka mencium aroma tanah yang kau sapa saat baru menjejak bumi. Aku pun lega kau datang saat aku sedang menangis karena mengaburkan linangan air mataku. Suara hujanmu menutupi ketika aku merintih. Bahkan ketika tubuhku basah kuyup oleh deras airmu seolah segala lara dan rinduku meluruh bersih terbawa olehmu jatuh ke tanah.

Saat ini kau sedang turun, gerimis cantik membawa kesejukan. Rinai hujanmu membentuk titik-titik air di kelopak daun yang terlihat dari jendela kamarku yang sedikit mengembun. Suara gemericikmu menghadirkan ritme teratur menjadi nada yang terdengar menentramkan. Duhai Hujan, maukah kau menemani aku di sofa cokelat untuk menyesap kopi harum yang masih mengepul? Temani aku hingga jatuh terlelap dalam bungkusan selimut hangat.

Your name is RAIN and i am your fans.