22 January 2012

Aksara Cinta Aku

Ini bukan puisi, bukan juga syair. Aku beri tahu, ini hanya rangkaian kata –surat biasa. Karena ratusan frasa ini tidak akan pernah menjadi lebih spesial dari omelanmu, juga cintaku ke kamu.

Sudah tergambar di kepalaku sebuah sketsa; kamu duduk di kubikel kerja dengan kerutan kening –lelah, heran, bingung- saat kamu baca ini. Aku nggak akan bertele-tele dan membuat surat ini jadi menye-menye puisi cinta. Aku akan membuatnya cukup singkat setidaknya dibandingkan cintaku ke kamu, lagi-lagi.

Surat ini bukan tentang segala yang sudah kamu lakukan untukku. Bukan juga cintamu ke aku. Mengenai itu tentu kamu lebih tahu. Tapi ini tentang yang kamu nggak tau, karena aku nggak pernah memberitaumu; siapa kamu di mataku.

Betapa bertahun-tahun ini aku telah ter-syalala-huhuhu-aselole-grr-arrgh-hahaha olehmu. Di antara segala hati yang pernah aku singgahi, hanya kamu dan Dia yang membuatku merasa aman. Bagiku, kamu adalah rumah; tempat aku selalu pulang.

Kamu juga adalah orang paling misterius di dunia. Sepertinya baru semalam kamu dan aku duduk semeja, melempar tawa, berdoa bersama hingga kemudian pagi ini rentetan tugasku seharian mengalir lancar mengesalkan dari bibirmu. Sikapmu benar-benar unpredicted. Kamu gampang berubah ya? Atau jangan-jangan dulunya kamu staff power ranger?

Bicara tentang power ranger, aku kagum padamu loh. Kamu seperti superhero buatku. Superman, Batman, Gundala Putra Petir, Penjahat Bonnie & Clyde pun kalah sama kamu. Aku nggak pernah melihat serial mereka berjuang membesarkan, mendidik, menafkahi tiga biji gadis ingusan, insecure, dan immature sendirian. Sungguh kamu adalah superhero gaul penuh cinta.

Buatku kamu masterchef masakan asin ternikmat. Kamu penyanyi kamar mandi dengan suara termerdu. Kamu gitaris dengan salah-accord terharmoni. Kamu malaikat tanpa sayap yang selalu sigap melindungiku, menuntunku juga mengangkatku saat aku jatuh, ketika aku takut berjalan lagi. Kamu dunia dan surgaku :)
Kamu dan aku –kita- mungkin nggak saling bersuara. Karena sesungguhnya hanya kamu dan aku yang mampu berbicara tanpa aksara. Sebab kita selalu bicara dengan hati, merapal cinta.

Semoga cintaku selalu menguatkanmu, semoga doaku memudahkan segala langkahmu.

Hari ini bisa jadi Hari Ibu in a whole wide world. Tapi untukmu, setiap hari adalah Hari Mamahku in my whole wide heart. Selamat hari ibu, Mamah :*

P.S: Aku nanti jangan digetok, karena sudah meng’kamu-kamu’kan sampean, Mah.

The one who did, do and will always love you the most,


Gita @brutalia


Penabur Benih

Ardo yang baik,

Angin pesisir berhembus kencang ketika aku bangun, lalu menemukan bahwa hari sudah tak lagi terang dan gelap sudah membayang. Aneh sekali, rasanya baru beberapa jam saja aku merasa mataku memburam lalu semua menjadi hitam. Tak kusangka, airmata masih punya kekuatan untuk menghilangkan warna, maka tak heran semuanya menjadi legam.

Kau mungkin bertanya, apa yang aku lakukan pada pukul tiga, mengapa aku masih terjaga. Entahlah Ardo, entahlah. Sejak kau pergi mata selalu terjaga, selalu setiap pukul tiga. Aku tak pernah meminta mataku membuka, itu terjadi begitu saja.

Dulu ketika kau masih ada, kita selalu berlari ke pantai selepas pukul lima. Untuk melihat nelayan, untuk melihat surya. Aku acap bertanya, mengapa kau tak ikut bersama mereka. Kau memang kawan yang baik, kau bilang kau ingin menemaniku menikmati pagi. Aku hanya terkekeh perlahan, mendorongmu pergi agar kau bisa menangkap ikan.

Angin pesisir belum juga berhenti. Aku membencinya, membenci suara gaduhnya. Dulu, waktu kau ada, kurasa angin pesisir adalah musik yang indah. Sekarang aku membencitnya. Maka aku berusaha memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi untuk berkonsentrasi membayangkanmu membaca puisi.
Ah, puisi-puisimu bukan puisi sembarang. Puisi itu adalah sahabatmu untuk melaut, menemanimu di kala jenuh. Selepas pulang, kau selalu membawa ribuan puisi. Sayang isinya tentang kejenuhan. Tak ada semangat di dalamnya. Kau selalu mengeluh bahwa kehidupan nelayan sangat membosankan. Kau hanya bertanya kapan kau bisa meninggalkan laut, lalu terbang ke langit. Jawabku, kapanpun kau mau. Kau hanya tertawa kecil, menghadiahiku sepotong puisi.

Kau selalu menghadiahiku berpotong-potong puisi. Entah siang, entah malam. Pernah aku bertanya-tanya, apakah moyangmu punya pabriknya, sepertinya kau selalu bisa memproduksi puisi. Kau tertawa tergelak-gelak, dan berkata, “Tidak, hanya saja kau menjadi alasanku membuat mereka.” Kupingku memerah, kurasa itu sepotong puisi juga.

Kulirik jam. Aneh sekali, masih pukul tiga. Inikah relativitas waktu? Yang melambat setiap aku mengenangmu. Aku jadi ingat, aku pernah bermimpi aneh. Suatu hari ketika kau melaut, aku juga melaut. Perahu kita berlayar beriringan perlahan meninggalkan pantai. Aneh sekali, kau tak berbicara padaku. Tak membaca puisimu. Aku menangis merajuk bertanya mengapa. Jawabmu, “Aku sudah bertemu puisi, mengapa harus merangkainya lagi?” Aku menangis lagi, kali ini karena aku merasa kau berbicara bahasa lain, dan aku tak mengerti.

Dalam mimpi itu, surya tak kunjung pulang, kita lama sekali ada di perahu, membiarkan angin membuat kita bergoyang-goyang. Itu hanya mimpi, tapi aneh, kenapa aku merasa sangat sedih.

Kau melihatku menangis dan mulai membaca puisi. Ketika kau mulai membaca, ada satu ikan mendekatimu. Aku bertanya, ikan apa itu, bentuknya tak lazim, tak biasa. Dia sama sekali tak menyentuh umpanmu. Kau tak berhenti membaca puisi, kau takut ikan itu akan pergi. Aku berteriak, tangkap ikannya, tangkap. Kau menoleh, untuk yang pertama kali di hari itu. Aku tersenyum. Kau tersenyum.

Ketika kau menoleh, ikan itu masih ada. Kau sadar, ternyata tanpa puisi ikan itu tetap di sana. Aneh sekali, masakan ikan itu melompat ke perahumu. Dia menggelepar-gelepar seolah-olah terkena mantra. Aku melihatnya tak percaya.

Aku ingat, tiba-tiba saja aku tak bisa berteriak. Seolah-olah ada yang mencekik leherku. Ah Ardo, kukira saat itu aku akan mati. Untung itu hanya mimpi. Aku tak mampu berbicara, hanya bisa mengirim pesan pada angin, aku ingin kau tau, kau sudah mendapatkan ikanmu. Menyuruhmu berbalik ke bibir pantai.
Kita pulang. Aku lega. Sesak nafasku masih ada, tapi aku lega.

Sesampainya di sana kau melompat turun, tak mengacuhkan ikan yang lama-lama menyusut mengecil. Terengah-engah aku bertanya mengapa. Kau bilang kau mau menjadi vegetarian, berhenti makan ikan. Tak ada yang bisa dilakukan oleh sang ikan kecuali melihat punggungmu berbalik pergi, karena sekarang kau menjadi penabur benih. Ikan itu hanya bisa merana, menyesalkan segalanya, perlahan-lahan lalu mati. Aneh sekali, ikan itu berubah menjadi aku

- @rentalisa 

Untuk Sahabatku Austin


Selamat hari sabtu pagi real gentleman Austin Taura :)


Austin.. Austin.. Como estas? Te echos de menos, jajajaja.


Mungkin orang-orang bilang aku delusional. Tapi terserah sajalah, ini kan hidupku. Suka-suka aku.. Kenapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur. Bikin aku kesal dan ingin menangis saja.


Oz, kamu lagi apa? Aku sedang ingin makan goreng oncom nih. Kamu mau gak oz? Nanti aku bilang mama biar bikinin kamu goreng oncom yang banyak, hahahaha. Kamu kan seumur hidup gak pernah tahu apa itu oncom. Dasar kau, mentang-mentang nenek orang spanyol. Tapi kan kakekmu indonesia oz.


Oz, bagaimana kabar Romijn? Duh aku cemburu dengannya oz :(


Oz masih suka minum americano? Kalau aku masih di bucks, aku pasti akan membuatkanmu americano setiap pagi oz. Americano spesial bikinnya pakai cinta, LOL.
Makanya belikan aku mesin kopi dong oz, biar aku aku bisa bikinin kamu kopi tiap saat. Lamarzocco kayanya terlalu besar, mastrena aja cukup deh.


Austin, aku koq lebih suka manggil kamu pake nama lengkap gitu yah. Aku agak malas sebenarnya memanggilmu oz oz. Tapi memang lebih singkat manggil kamu oz sih.


Oz, kenapa kamu jadi cowok tuh real gentleman banget sih.. Udah gitu kamu mobilnya range rover lagi, bukan maksudku untuk matre yah oz. Enggak koq, kau tahu kan aku tipe wanita yang tidak matre. Biarpun aku shoppaholic, aku belanja pakai uangku sendiri tahu. Terus kamu sukanya americano. You’re truely real gentleman!!


Oz surat cintaku yang ini sepertinya tidak jelas sekali yah.


Pokoknya, aku cinta austin selalu.. Aku suka semua yang ada di kamu, oz. Aku mau punya suami yang kaya kamu ah, oz. Aku sudah tidak mau punya pacar yang kaya Chris lagi xp


Oh iya oz, aku mau backpacker-an nih. Ke spain, ikut yuk oz. Kita ke tempat kelahiran nenek hanafiah. Eh iya, aku lupa kau sih sudah sering ya bolak-balik kesana. Aku mau ke sabadell oz, tempat kelairannya Dani Pedrosa. Idolaku yang nomer satu itu, hihihi. Entahlah kenapa aku sangat terobsesi dengan semua yang berhubungan dengan pedrosa.


Aku mau backpackeran sama adil oz, adiknya della. Dia kan sekarang kuliah kedokteran di Halle. Jadi nanti aku ke Frankfurt dulu, baru setelah itu nyambung ke Spanyol dan negara-negara tetangganya. Doain aku cepet beres kuliah dan tabunganku cukup ya, oz. Baru deh aku bisa berangkat, aku kan tidak mau minta uang ke ayah mamah cuma buat jalan-jalan. Kan kau bilang, wanita itu tidak boleh manja xp


Oz, jangan terlalu banyak bekerja yah. Kau lembur terus, nanti sakit.


Send all my love to you, Austin Taura.




Yunie Soeradijaya


Oleh : @yunie_dwi 

Bukanlah Undang-Undang

Teruntuk, Diandra, @andrararaa.

Hai, Ndra. Apa kabarmu? Sudah cukup lama kita tak bersua. Bahkan hanya sekedar untuk berbagi canda.
Entah harus kumulai dari mana. Maaf, kalau mungkin surat ini membuatmu tak nyaman. Mungkin kau heran, apa maksud aku menulis ini untukmu. Aku sekedar ingin berbicara denganmu dengan cara yang berbeda. Surat cinta, kurasa pilihan terbaiknya.

Mungkin aku ingin menjadi sesuatu yang janggal, untuk selalu kau ingat. Aku sadar, sudah tak mungkin bagiku untuk menjadi yang kau cinta. Tak mungkin pula bagiku untuk terus mencinta. Namun demikian, apa salahnya sekedar mengingat. Bukankah sejarah yang menjadikan kita seperti sekarang. Aku yakin kau setuju.

Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan pacarmu? Mungkin sesekali kau bisa bercerita kepadaku, sebaik apa dia. Aku harap, jauh lebih baik dariku. Kalau boleh, aku ingin titip pesan untuknya. Katakan padanya, untuk menjagamu dengan baik. Jangan sampai kesalahanku terulang padanya. Aku selalu berdoa, agar kau senantiasa mendapatkan yang terbaik, mungkin itulah dia.

Memang, semua tak lagi sama. Namun aku yakin, suatu hari nanti aku akan kembali menjabat tanganmu. Mungkin itu di pernikahanmu. Mungkin di pernikahanku. Atau mungkin juga di pernikahan kita. Kita tidak tahu.
Untuk sebuah surat cinta, mungkin surat ini terlalu aneh. Tak ada romantis-romantisnya. Ya karena memang aku bingung, mau bicara apa. Kalau ada orang yang berkata bahwa aku masih sayang sama kamu, jangan percaya. Karena, aku masih sayang banget sama kamu. Terakhir. Bahwasanya surat ini bukanlah undang-undang. Jadi, tak perlu terlalu serius kau memahaminya. Anggap saja ini hanya lucu-lucuan semata, seperti dulu kebersamaan kita.

Sekian percakapan garing dariku. Bolehkah aku sedikit tertawa? “hahahaaa”. Sekali lagi, jangan terlalu kau anggap serius semua isi surat ini.


Tertanda, Ipan, @bangajijul.http://irfanakaaziz.tumblr.com/post/16175644288/bukanlah-undang-undang

Jangan Unfollow Aku Dong Kakak


kepadamu : mantan kekasihku 


Hai Mantan


di pagi hari yang sangat cerah dan terang benderang ini,  kamu tau, sebenarnya aku….  ingin sekali menyapamu  , walaupun hanya dalam bentuk sapa kecil di mention twittermu. kalau kau perhatikan, hari ini sudah tepat 2 minggu kita berpisah bukan ? 


IYAH! 2 minggu yang lalu ketika pertengkaran kecil kita di depan aula kampus, di depan banyak teman-temanku dan kau pergi begitu saja dari perdebatan kita yang belum selesai. meninggalkan aku yang masih mematung berdiri di sana. dengan rasa malu yang belum bisa kulupakan sampai sekarang. masih kau ingat kan, aku masih berteriak memanggilmu untuk kembali dan jangan meninggalkan aku. tapi kau terus berlalu dengan ekspresi muka : “talk to my hand”


Malam itu tepat pukul 7 aku mencoba menghubungimu, namun dering telpon dariku rupanya kau reject , lalu aku juga mengirimkan sebaris pesan singkat: bisakah kita bicara ? “ ,  kau pun tak pernah membalasnya . kau masih ingat tentunya kan? sebagaimana kau juga pasti masih mengingat bagaimana aku berusaha menghampirimu keesokan harinya di rumah, mencarimu melalui teman-temanmu , namun kau tetap menghindar.


Hingga seminggu kemudian kita bisa melanjutkan pembicaraan kita yang belum selesai. kau dengan manisnya berbicara bahwa hubungan kita sudah tidak bisa di lanjutkan lagi. dan aku pun menerima keputusanmu dengan lapang dada. 


pertanyaanku sekarang : lalu kenapa kau unfollow akun twitter aku. kau juga menghapus aku dari friendlist facebookmu.kenapa ? :(  


sesungguhnya aku tidak ingin kamu unfollow twitter aku atau menghapus pertemanan kita di facebook. karena aku ingin kau tetap terus membaca tweet-tweet aku setelah kita berpisah.


aku ingin kau baca bahwa aku sama sekali tidak galau,tidak patah hati, apalagi menderita karena kita harus berpisah. aku ingin kau masih membaca kebahagiaan-kebahagiaan yang akan kutuliskan di masa mendatang. aku ingin kau membaca bagaimana aku menuliskan cerita saat aku  menemukan kekasih baru, dan juga kebahagiaan-kebahagiaan kecil di keseharianku atau ceritaku tentang semangkok bakso (yang kita santap seusai final test tiga minggu yang lalu), eskrim dan sekotak coklat. 


jadi mantan kekasihku, jangan unfollow aku dong kakak


Dari aku


Gadis Merah Jambu yang pernah kau cintai


oleh : @yvesjasmine

Pelukan Pagi


Halo kamu.
Bahagianya saat aku membuka mata, ada kamu disebelahku. Memelukku tanpa lelah dalam sakitku yang menyiksa semalaman. Terimakasih.


Semalam, kita menghabiskan waktu bersama untuk makan, berjalan-jalan, membeli sepatu, dan banyak hal lagi. Kamu yang memang sudah aku rindu, aku peluk selalu dan tidak aku lepaskan. Dalam deru kendaraanku, aku tak gentar untuk memelukmu selalu. Mau kamu risih, mau kamu geli, aku tidak peduli. Aku merindukanmu. Terlalu merindukanmu.


Entah apa yang telah aku lahap, yang jelas tiba-tiba perutku begitu istimewa sakitnya. Dalam perjalanan pulang kita, kamu tidak tenang. Sibuk berpikir apa yang bisa kamu lakukan untuk meredakan sakitku. Aku yakin kamu tidak mengerti apa yang harus kamu lakukan. Dan hal yang pertama kamu lakukan adalah membawaku ke hunianmu. Bukan ke hunianku. Aku bingung. Aku salah ruang. Ini bukan ruangku, ini milikmu.


Sakitku semakin membuatku diam. Dalam diam, aku menahan sakitnya perut ini. Seperti ada buaya diperutku. Dan kamu, disebelahku, memelukku dan mengusap keringatku. Walau tindakan itu tidak meredakan, tapi membuatku jauh lebih tenang. Kamu seperti penjagaku. Melindungiku dengan sayapmu. Aku bahagia bisa merasakan hal ini. Kamu, tidak beranjak sedikitpun. Memelukku dalam sakitku. Dan pagi memeluk kita berdua.


Aku buka mata, dan kamu tampak lelah. Menjagaku semalaman. Kantung mata itu bukti kerja kerasmu semalam. Jangan pernah pergi dari pelukan pagi ini, aku suka. Terimakasih kamu.


oleh : @yunitairmaa

Titip


Mbak, aku titip Jacko ya…


Aku harus keluar kota beberapa hari, ngga bisa bawa Jacko karena kuatir terlantar nanti. Jadi aku minta tolong mbak buat jagain Jacko. Semua keperluan Jacko sudah aku siapkan, mulai dari makanan - susu - tempat pup nya dia juga. Kalau pagi biasanya dia suka makanannya aga sedikit berkuah, siang tambahkan kornet aja ya mbak, malemnya kasih makan yang kering aja. Vitaminnya dicampur di makanan siangnya aja, dia ngga suka kalo harus minum vitamin langsung. Susu dikasih pagi aja, bisa dicampur sama makanannya atau diminum biasa, jangan terlalu dingin atau panas.


Kalau mbak repot keramasin dia, bawa ke salon aja ya nanti aku kasih salon langganan tempat dia biasanya di keramasin. Biasanya sih dia pup nya siang gitu setelah makan. Lebih banyak tidur sih dia, pemalas. Mudah-mudahan Jacko ngga nyusahin ya mbak, dia paling suka kalau dibelai dan disisiri. Pokoknya semua sudah aku siapkan kebutuhan Jacko selama aku pergi.


Nanti aku jemput lagi Jacko ke rumahmu, semoga dia betah di rumahmu. Kucing biasanya suka gelisah kalau hari pertama ditempat baru.


-Adikmu


Oleh : @zahrimaya

Surat untuk Pangeran Tata Surya

Sebenarnya aku bingung harus menulis apa di surat ini karena sebenarnya aku lebih suka menulisnya dengan pensil daripada harus menekan anak-anak huruf di keyboard komputer lipatku. Karena kalau menulisnya dengan pensil, aku bisa sambil menggambar-gambar wajahmu di samping tulisan ini.

Pasti kamu tahu kenapa aku menyebutmu Pangeran Tata Surya, tentu saja karena kamu tahu banyak hal tentang Tata Surya. Entah itu Bumi, Bulan, atau planet-planet lainnya yang ada di Tata Surya, dan kamu suka sekali menceritakannya padaku. Saat itu, matamu seolah menyala-nyala, berbicara, entahlah, aku tidak bisa menggambarkannya.

Ah, sampai lupa menanyakan kabarmu. Apa kabar, Pangeran Tata Surya? Semoga kamu baik-baik saja, ya? Sedang melanjutkan study di Bandung, kan?

Sekarang aku sudah kuliah di jurusan yang aku mau. Terimakasih ya, dulu kamu yang meyakinkan aku untuk terus bermimpi, dan harus memperjuangkan mimpi-mimpiku.

Hai Pangeran,

Tahukah kamu, aku sering mengunjungi ruang kerjamu? Aku suka memandanginya lama-lama, melihat kumpulan puisi-puisi dan foto-foto di atasnya. Kadang-kadang aku suka membayangkan kamu duduk di sana lagi, di depan komputer lipatmu sambil sesekali tertawa. Tawamu itu, selalu berhasil menenggelamkan sepasang matamu, lucu.

Setiap memandanginya, selalu berhasil membawaku ke masa-masa dulu. Masa-masa ketika aku sering berkunjung ke ruang kerjamu, mengganggumu dengan membawa kucing. Kamu jadi tidak jadi kerja, malah bermain bersama kucing dan aku. Kita tertawa bersama-sama.

Atau kadang-kadang aku membuka koran, melihat-lihat rumah yang sedang dijual, lalu aku memilih yang paling besar, kamu tidak setuju. Kamu lebih suka rumah yang kecil, minimalis. Katamu, rumah itu pasti cocok untuk kita, karena aku dan kamu sama-sama mungil. Dan kemudian aku mulai setuju, yang besar atau yang kecil sama saja, yang penting ada tempat untuk melihat Bulan di sana.

Ah, aku rindu bertukar cerita denganmu. Aku rindu memandangi dagu dan pipimu yang kadang penuh bulu, "Belum sempat dicukur." katamu, sambil menyeringai. Aku rindu mendengar suaramu dari seberang ponsel, kadang-kadang sinyal membuat kita kesal tapi tidak lama kemudian kita menertawai kekesalan kita barusan.

Sudah lama sekali rasanya kita tidak bersua, terakhir kali tiga tahun yang lalu, tepat seminggu sebelum kamu menikah. Kamu mengirimkan pesan singkat ke ponselku, ingat? Pesan singkat yang menyatakan bahwa kamu akan menjalin sebuah ikatan pernikahan dengan seorang wanita, tapi bukan dengan aku.

Saat membaca pesan singkat itu rasanya dunia berhenti berputar, atau mungkin berputar sangat cepat? Entahlah, aku begitu kacau saat itu.
Malam itu aku sampai tidak bisa menangis lagi, Mama memelukku erat, sangat erat. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memelukku saja sambil mengelus punggungku. Mungkin ia tahu hati anaknya sedang terluka.

Sungguh, rasanya sangat menyiksa membayangkan kamu dengan istrimu sekarang. Dadaku sesak, seperti terjepit di antara pintu lift yang berkarat. Tidak ada yang bisa menolong dan tidak ada yang bisa kulakukan sampai rasa sakit dan sesak itu hilang sendiri atau dibiarkan saja sampai aku mati rasa, sampai tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Ah, Sudah, sudah, aku tidak mau lagi membicarakan rasa sakitnya.

Sepertinya aku sudah mengetik terlalu panjang ya? Seperti katamu, aku memang cerewet, bahkan di sebuah tulisan sekalipun. Sudah ya, sampai di sini dulu, aku akan menulis surat kepadamu lagi, suatu hari nanti.
Sampaikan salamku pada istrimu ya, bilang padanya bahwa dia adalah wanita yang beruntung. Dan satu lagi, anakmu sudah lahir? Jika sudah, aku yakin dia akan menjadi anak yang lucu karena mewarisi mata sipitmu dan kulit putihmu.

Salam hangat,


- @asakecil

Merindu Gadis Unyu


Untukmu, teman sebangku-ku, @rintadita



Hei, kamu gadis unyuu... apa kabarmu??

Lama tak berjabat cerita denganmu... kamu sih... sibuk melulu....
Sekarang... kata-kata tentang apa yang sedang kau rangkai? Ceritamu tentang pelangi? Atau... matahari? Aaahh... jangan yang sudah basi...

Hehehehe....
Aku cuma mau bilang, kamu sudah banyak berbeda daripada dulu, saat sebangku denganku, yang nyaris dua belas tahun lalu... :D
Kamu... makin dewasa.... makin tangguh... dan makin mencinta kata-kata...
Eh, tapi... apa kabar soal cinta???
Aaaahhh.. jangan kau redam karena kau dendam...
Sudahlah... warna semesta tak selalu hitam....
Semua cerita tak selalu mengerikan...

Duduklah sebentar... biarkan tubuhmu menyandar...
Aku tau kaupun mencinta Yang Maha Cinta...
Dan... Dia lah yang selalu sanggup membantumu membalut luka, membiarkannya mengering... hingga kau tak perlu memalsu tawa....

Jadi.... aku ingin kamu kembali mencinta....
Seperti saat kau cerita penuh suka cita....
Lubang-lubang dalam perjalananmu, bukanlah cerita semu...
Hmmm... itu ilmu, bahkan sanggup menjadi puluru...
Untuk seluruh impianmu....

Nyalakan lagi suluh-suluh rindumu...
Pada cinta yang terbalut peluk Sang Pencipta Semesta...



Aku,
yang masih merindumu kembali mencinta

oleh : @wulanparker

Buat Yang Di Sana Yang (Mungkin) Sudah Melupakanku


Apa kabar kamu yang-susah-disebutkan-namanya? Masih inget sama aku? Aku yang pernah hadir di kehidupanmu yang lalu.
Sekarang kita udah sangat jauh. Komunikasi bahkan udah gak pernah lagi. Mungkin, kita memang sama-sama egois. Ya, kita berdua emang egois, keras kepala, gak pernah mau ngalah. Karna kita berdua kayaknya emang gak pernah cocok. Gak pernah cocok, tapi slalu dicocok-cocokin.


Kita itu dulu memang jauh waktu pertama kali kenal. Lama-lama kita jadi makin jauh, kita musuh, kita saling olok, kita gak pernah akur. Tapi, kenapa tiba-tiba kita bisa deket? Kamu yang mendekatkan diri, atau cuma aku aja yang kepedean karna ngerasa dideketin kamu?
Trus semakin lama kita jadi deket, deket, deket, dan akhirnya. Ah you knowlah what I mean. Mungkin waktu itu aku ngerasa kita emang cocok, dan gapapa ngejalanin itu. Tapi, baru bentar dan kita udah... Hmm aku akuin memang selama itu kita gak ada komunikasi bahkan tatap muka. Kenapa bisa kita ngejalanin itu?


Sekarang, aku udah mulai ngelupain kamu. Bagiku, kamu ya kamu. Aku kenal dan deket sama kamu yang dulu. Kamu yang sekarang, itu bukan kamu. Aku gak kenal sama kamu yang sekarang. Aku juga berharap kamu ngelupain aku, semua tentang kita, semuanya. Anggap aja kita gak pernah kenal. Dan semuanya, bakal berlangsung biasa-biasa saja.


Ini harusnya aku kirim waktu tahun 2009, sekitar 3 tahun yang lalu kan? Dan sampai saat ini, aku masih ingin mengetahui kabarmu yang-susah-disebutkan-namanya.


oleh : @yucocho 

Dear You, H.

make you feel my love



Dear H,

Jeda sehari aku tak berkirim kabar (sepihak) padamu. Apa kabarmu, Cinta? Cerahkan di sana ?, ataukah gerimis kembali menyapa desamu, lagi. Karena Januari ini, hujan sepertinya jatuh cinta pada bumi di bawah, terlalu sering menyambangi tanah. Seperti aku yang selalu jatuh cinta, kesekian kalinya, pada kenangan kita. Semoga kau merasa.

Dan jika membaca surat ini, bersiaplah, mungkin saja, kau akan berairmata, seperti aku yang bahkan belum menjabarkan apa-apa. Sejak kapan, airmata begitu akrab dengan kita ya, H.

When the rain is blowing in your face
And the whole world is on your case
I could offer you a warm embrace
To make you feel my love


Dan ritualku, menuliskan surat padamu ketika matahari bergelagat lelah, turun dengan gelisah, siang perlahan petang. Dulu, waktu-waktu inilah biasanya kita bertemu. Ketika sore datang dan suara anak-anak yang berebut mandi di pinggiran “batang”. Masihkah kau suka, H. Bertelanjang dada, memamerkan kokoh bahu secara tak sengaja, membuat jutaan kupu-kupu beterbangan di dalam perutku, ingin memelukmu. Setelahnya aku sering mengutuki waktu, mengharap detiknya tak bergeser, membeku. Lalu aku kekal di sana, selamanya. Adakah kau merasa ?

When the evening shadows and the stars appear
And there is no one there to dry your tears
I could hold you for a million years
To make you feel my love


Sore selalu terasa singkat untuk kita kan, H? Walaupun tidak secepat senja yang disuguhkan petang sebagai penggantinya. Lalu ketika langit berubah warna, di pinggiran beranda rumah rakit itu kita duduk, bersisian. Merasakan gelombang perahu yang lewat menggoyangkan penopang-penopang rumah itu, mengayunkan tubuh kita perlahan. Lalu, memandang bianglala yang berwarna jingga, sekali berdebat bahwa warna senja tidak hanya jingga tapi juga merah muda, kadang sesekali ungu, menurutku. Lalu kau pun terpingkal sambil mengacak rambutku, sengaja mengalah padaku, menarik kepalaku ke dadamu. Dan itu membuatku diam, senyap dan lesap di sana. Kau tahu tidak ada yang lebih indah ketika senja turun di matamu, dan telingamu dengan lekat mendengarkan detak jantung seseorang yang kau sayang, begitu dekat, begitu hidup. Dan terasa hangat. Bahasa tubuhku mungkin menunjukkan itu, meringkuk dengan nyaman dalam lingkupan lenganmu, dunia pribadiku, hingga jingga lenyap digantikan kelabu. Dan jutaan bintang mulai menampakkan diri malu-malu. Aku mencintaimu, H.Saat itu,mencintaimu sampai ketulang-tulangku. Merasakah kau??

I know you haven’t made your mind up yet
But I would never do you wrong
I’ve known it from the moment that we met
No doubt in my mind where you belong


H, andai aku bisa memilih takdirku. Andai aku bisa kerkompromi dengan Tuhan dan menegosiasikan jalan hidupku, aku tentu akan mencatatkan namamu dalam daftar hal-hal yang kuinginkan dalam hidupku. Tapi tidak seperti itu akhirnya. Bukan aku sutradaranya. Bukan aku yang seenaknya mengubah skenario bahagia menjadi luka menganga. Akupun terluka H, adakah kau merasa ?

I’d go hungry, I’d go black and blue
I’d go crawling down the avenue No,
there’s nothing that I wouldn’t do To
make you feel my love


H, masihkah kau menjaga telaga nelangsa?

Tak cukuplah, penyesalan kita dan tangis pada malam-malam itu menjadi hujatan terhadapNya. Sumpah serapah dan amarah di matamu serupa neraka yang siap membakar pendosa, lalu kemudian membeku, luruh menjadi airmata. “Tuhan, saat itu, aku berharap mati rasa”

The storms are raging on the rolling sea
And on the highway of regret
The winds of change are blowing wild and free
You ain’t seen nothing like me yet


Maafkan aku, H. Penyesalanku membuatmu jatuh sedalam itu. Lalu pergi dan berpaling begitu saja. Ahh, sebenarnya tidak sesederhana itu, H. Akupun terluka sama sepertimu. Akupun menangis lebih darimu. Dan akupun menyesal, penyesalan yang selalu akan menjadi hantu dihidupku. Adakah kau merasa?

Semoga.

Maafkan aku,

- @alithdqueen

*Lyric by Adele (Make you feel my love)

Kisah Kata Kita

Dear Kamu,

Rasanya belum lama yang dinamakan hati- milikku- sakit lalu mendingin seperti bongkahan es.
Beruntung kamu yang membawakan obat hingga sembuh dan kembali pada fungsinya mewadahi sebuah rasa.



ballytra.com
Meski aku sempat berada pada  masa-masa dilema, nyatanya aku harus mengakui bahwa aku punya rasa.

Sempat ragu untuk meletakkan sebuah rasa percaya, terlebih pada mahluk lawan jenisnya hawa.

Tapi nyatanya aku bersedia, berbagi ruang hati berdua.


Kalau ditanya mengapa?

Jawabnya
Aku melihat kesederhanaan. Apa adanya, tidak dibuat-buat.Aku melihat semangat. Apa saja terlewati nyaris sempurna.
Awalnya aku tak pernah tahu siapa kamu.
Tapi singkat cerita, aku jatuh cinta.

Aku meyakinkan diri kita memiliki tujuan sama.
Aku meniatkan kamu, satu nama untukku kelak.

Kamu nyaris sempurna. Aku disini, bersamamu

Aku menunggu kamu menyempurnakan semua ini.


Salam,
Aku

PS:
Kita sama-sama tahu bahwa kita tidak tahu sejak kapan ada kata kita. Yang kita ingat hanya momen ini.


Ini tiket pertama aku nonton ma kamu
Alvin and The Chipmunks
23 Desember 2009
21 Semanggi



oleh @galoeh11

Donor Darah Pertamaku

Untuk Mbak Valencia Mieke Randa (@justsilly)

Hai Mbak, Selamat pagi/siang/sore/malam
*tergantung waktu Mbak (mudah-mudahan) membaca surat ini.

Sebelumnya perkenalkan, namaku Nisaa. Aku ‘pengikut’ tweet-tweet Mbak belum lama, baru sejak Oktober 2011. Meski baru sebentar, banyak inspirasi yang aku dapatkan dari Mbak. Aku belajar tentang kecerdasan, ketulusan, dan konsistensi luar biasa dan wujud tindakan konkret dari sosok Mbak. Aku yakin, sudah banyak pujian, yang memang pantas Mbak dapatkan dari banyak orang lainnya. Namun dalam tulisan kali ini, izinkan aku untuk tidak membahas tentang kehebatan dan sosok Mbak yang luar biasa. Karena bagaimanapun aku berusaha, aku tidak akan mampu menyaingi para wartawan yang menulis tentang Mbak. Lagipula, aku justru takut kata-kata akan membatasi ungkapan kekagumanku. Karena sepertinya, apapun yang aku tuliskan, tidak akan cukup untuk menggambarkan kekagumanku pada Mbak.

Karena itu, mudah-mudahan Mbak tidak keberatan, kalau kali ini aku bercerita tentang pengalaman pertama aku donor darah. Seumur hidupku yang sudah berlangsung 24 tahun lebih dua bulan, aku mengalami lima kali pingsan. Empat dari lima peristiwa pingsan itu diakibatkan karena darah. Jadi, setiap aku melihat darah, sedikit saja mengalir dari tubuh aku, aku langsung pusing, dan pingsan. Pada kejadian pertama, aku tak sengaja memecahkan toples Mama. Kemudian tanganku terluka, aku berdiri untuk diobati oleh kakak. Tiba-tiba aku pingsan dan jatuh dengan posisi kepala persis menjatuhi pecahan toples, sehingga mendapatkan 3 jahitan di kepala. Belakangan, aku selalu bersiap-siap ketika berdarah. Begitu aku merasakan pusing, aku akan duduk, sehingga aku jarang pingsan lagi.

Namun, empat kejadian pingsan di masa lalu itu memberikanku pengertian yang salah. Aku pikir, aku tidak akan sanggup melakukan donor darah. Beberapak kali ada kegiatan donor darah di kampus aku dulu. Sebenarnya ada keinginan aku untuk ikut. Namun, aku selalu berpikir aku akan pingsan sejak tetes pertama darah keluar dari tubuhku.

Sampai akhirnya, aku bertemu dengan Mbak, meski hanya melalui dunia maya. Bulan Oktober yang lalu, aku berada di Jogja untuk menghadiri Pertemuan Nasional AIDS. Tiba-tiba salah satu peserta drop dan membutuhkan darah. Aku yang membantu teman menyebarkan info kebutuhan darah tersebut, disarankan untuk men-cc ke akun @bllod4lifeID, dan @justsilly. Alhamdulillah, delapan kantong darah berhasil didapatkan malam itu juga.

Sejak itu, aku yang langsung mem-follow akun Mbak dan @blood4lifeID, mendapatkan banyak informasi tentang donor darah. Tidak sekedar informasi mengenai kebutuhan transfusi, tetapi juga tentang pentingnya donor darah untuk menolong orang lain, bahkan manfaat bagi pendonor. Aku yang tertarik mulai browsing, dan sampai pada kesimpulan bahwa sebenarnya aku tak punya alasan apapun untuk merasa donor darah akan menyebabkan aku pingsan.

Kesempatanku untuk mendonor darah pun datang semalam. Berawal dari seorang kawan yang membutuhkan darah AB (+). Aku tak tahu dia sakit apa, yang aku tahu dia kekurangan trombosit, dan penyakitnya penyakit bawaan (gen). Dia harus mendapatkan transfusi trombosit berkali-kali, sejak dia masih SMA. Saat dia drop tubuhnya kejang-kejang, dan memar-memar. Kali ini, lagi-lagi aku meminta bantuan @blood4lifeID, dan mbak untuk menyebarkan informasi tentang kebutuhan temanku. Kami pun mendapatkan donor yang bersedia datang ke PMI, untuk diperiksa, lalu darahnya harus diproses untuk pemisahan trombosit sebelum didonorkan kepada temanku.

Sambil menunggu, aku berpikir inilah saatnya aku donor darah. Aku pun mengambil formulir dan mengisinya. Setelah mengisi aku sempat ragu. Namun seorang kawan menemaniku dan memutuskan untuk mendonorkan darahnya juga. Sampai di ruangan untuk periksa golongan darah, aku menyerahkan formulirku. Lagi-lagi aku merasa takut. Dinginnya ruangan membuat kepalaku pusing, dan dadaku berdegup lebih kencang.

Lalu Mbak tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba saja bayangan wajah Mbak hadir ke benakku. Wajah Mbak yang kukenal sebatas avatar twitter. Dari mulai avatar Mbak dengan jampul katulampa, sampai avatar terakhir yang membuat Mbak terlihat berusia 17 tahun. Ajaib. Aku cukup menghembuskan nafas, lalu ketakutanku sirna, dan aku melangkah yakin ketika dipanggil ke ruang transfusi. Prosesnya pun lancar. Alih-alih pingsan, sepanjang transfusi aku malah cekikikan karena acara televisi yang disetel di ruang donor darah. Malah aku dapat pin lucu bertuliskan golongan darahku. Hehe.

Begitulah Mbak, pengalaman pertamaku donor darah, dengan latar belakangnya yang banyak dipengaruhi oleh Mbak. Semoga saja, aku bisa terus konsisten melakukan apa yang bisa aku lakukan agar bermanfaat, termasuk dengan cara donor darah.

Terima kasih ya Mbak, untuk semangat, untuk inspirasi, dan untuk pembelajaran yang luar biasa. Tidak hanya melalui BFL, tetapi juga melalui 3LA, dan kisah-kisah Mbak tentang Tissa, Nando, dan pejuang-pejuang hebat lainnya. Terima kasih untuk peduli, untuk cinta yang begitu besar, juga untuk berbagi kepedulian dan cinta itu.

 Aku sayang Mbak
Ps: salam untuk anak-anakmu yang istimewa ya Mbak

Bekasi, 21 Januari 2012
Dinda Nuur Annisaa Yura

- @dnaynisaa
 

Teruntuk Perajut Kata Kesayangan

Teruntuk: @jemarimenari @greenziezt @commaditya @adimasimmanuel,

Kalian, yang selalu indah berbusanakan aksara. Kalian, yang selalu mengagumkan dalam merangkai kata. Kalian, yang selalu membuatku terpesona dalam diam lewat karya.

Kak Disa,
yang kukenal lewat kelahiran kata dari jemari menarinya. Dengan setiap puisi-puisinya yang selalu memiliki nyawa. Aku merasa nyaman untuk berada di antara rangkaian kata yang telah tercipta.

Akan ada pagi di mana kau terbangun menyentuh dada, bertanya-tanya kapan aku menyelinap ke dalamnya.

Sekali di jendela, lalu di halaman buku — lagi-lagi kudapati jemariku sedang bergerak membentuk namamu.

Kak Kiki,
yang kutahu dari keindahan sajak-sajaknya. Yang kadang, sekali membaca hanyalah melahirkan tanya. Mungkin kali kedua atau ketiga, baru bisa kumengerti artinya.

SEMINGGU. Aku dan istriku belum memberikan nama bayi kami, akhirnya kita sepakat, kenamakan melati, agar tanahnya selalu wangi.

Adakah yang mampu tak tersenyum melihat keindahan yang menghilang dan kuhilangkan dengan senyuman?

Kak Adit,
dengan kata-katanya yang selalu sederhana. Yang kutahu lewat kerendah-hatiannya terhadap setiap pujian yang ada. Tetaplah menjadi dirimu yang apa adanya, jangan berubah walau hanya sekecil saja.

Saat kita merindu, jarak memang selalu antagonis. Tapi dia membuat kita menghargai kenangan.

Aku memujamu, Tuhan. Meski jarang kukatakan pada mereka yang ingin tahu.
Aku, cinta sejati yang tak kau perlu. Aku, cinta tulus yang tak kau mau

Kak Dimas,
dengan alur kata yang mengalir, seperti dari hulu ke hilir. Kicauan dengan sejuta gagasan yang bahkan tak pernah sekalipun terpikir. Kuharap setiap senyum yang ada padamu bukanlah manis yang sejatinya getir.

Cemburu tahu cara membangunkan anak kecil yang bersemayam di tubuh orang dewasa.

Aku mengarungimu, tapi kamu mengurangiku. Mungkin itu sebab Tuhan mengurung niat mengarang kisah kita.

Gak suka zebra, karena jadul. Hewan lain kulitnya udah berwarna, dia masih aja item putih.

Sekian caraku menceritakan begaimana kicauan kalian di mataku. Kicauan yang senantiasa menghibur setiap saat. Maaf bila rangkaian yang telah kucipta mungkin tidak berkenan. Aku hanya pengagum yang sedang belajar, dan penuh dengan kekurangan.

Terima kasih, karena telah dan sedang menjadi motivasi untukku dan mungkin bagi sebagian orang di luar sana. Tetaplah tumpahkan ide yang ada secara tertulis, dengan tulus.

Salam sungkem!

- @estipilami

Aku Membutuhkanmu Keberanian


Ditulis untuk #30HariMenulisSuratCinta #day8


Tepat beberapa saat sesudah traktiran ulang tahun temanku„


Aku mencari keberanian, jujur aku membutuhkan dirimu untuk mengeluarkan sang jujur dalam diri


Aku butuh dirimu keberanian, bantu aku keluar dari lingkaran “orang baik”.
Karena kenyataan yang aku kemukakan akan berkata lebih keras dari kata.


Bantu aku keberanian, bantu aku
Aku tahu kau mau


Tertanda,
Zita Nadia


oleh : @zitapanda

Menengok Masa Lalu

Teruntuk : perjalanan Lampung - Sumedang


Sebelum memulai surat ini, aku mau kita semua kembali mengingat apa yang terjadi di pertengahan tahun 90an. Ya, ada aku, ayah dan ibu. Saat libur lebaran menjelang, kita sekeluarga akan mudik ke Sumedang, rumah emih. Ingat?

Nah, pasti ingat saat itu perjalanan Lampung - Sumedang bisa memakan waktu kurang lebih 12 jam lamanya. Karena belum adanya tol, dan kendaraan atas nama pribadi tentunya. Perjalanan ditempuh dengan bis, kapal laut, diakhiri mikrolet menuju rumah emih. Ingat?

Aku ingat sekali saat itu. Dimana ibu biasa membuat bekal berupa nasi dibungkus daun pisang dengan lauk tempe orek kesukaanku. Dimana aku dan ayah menyanyi sepanjang jalan. Dimana 12 jam yang seharusnya melelahkan terasa menyenangkan karena canda tawa bersama.

Oke, sekarang kita kembali ke masa kini. Masih ada aku, ayah, dan ibu. Masih di perjalanan Lampung - Sumedang. Dengan keadaan lebih baik karena dibangunnya tol Cipularang yang menghubungkan Jakarta - Bandung, yang mempersingkat waktu tempuh. Dan sebuah mobil pribadi, yang memberi kenyamanan lebih.
Tapi, aku tak lagi menemukan hal-hal yang menyenangkan diantaranya. Tak ada lagi bekal ibu dan nyanyian ayah. Ayah terlalu sibuk menyetir dan memperhatikan jalanan. Ibu terlalu sibuk dengan ponselnya, entah itu sesekali menjawab telepon atau membalas pesan singkat. Dan aku pun sibuk dengan berbagai ‘mainan’ yang ayah dan ibu beri, yang berhasil merebut senyumku bersama kalian.

Dengan waktu tempuh yang lebih singkat, aku masuk dalam perangkap bosan lebih lama yang melelahkan. Dengan jarak yang lebih dekat, aku terjebak dalam sekat kebisuan dengan ayah dan ibu. Masing-masing dari kita sibuk dalam urusan sendiri tanpa berani buka suara atau bertukar canda.

Maka, aku titipkan sepucuk rindu untuk perjalanan Lampung - Sumedang 15 tahun lalu.


dari : Aku yang sekarang

- @eigent

Selamat Pagi, Nyonya Sinambela!


Love puts the fun in together, the sad in apart, and the joy in a heart.
- Unknown

Kepada @m3nd1s yang akan melangsungkan pernikahan beberapa jam lagi, pada hari Sabtu 21 Januari 2012 pukul 19:00.

Dear Mendi,

Pertama-tama pastinya gue mengucapkan selamat menempuh hidup baru! Dan kedua, gue mau minta maaf karena gue nggak bisa hadir ke pernikahan lo. Maaf banget ya, Mendi. Kenapa lo nikahnya nggak di Jakarta Selatan aja coba? Hehe. “Miss Atur” banget ya gue.

Men,

Akhirnya ya. Menikah juga lo. Gue ikutan bahagia. Akhirnya, Men. Akhirnya. Kalo nanti kita ketemuan lo harus cerita gimana ketemuannya sama suami lo ya. Abis menikah lo masih tinggal di Bintaro kan?

Aneh banget ya kita ini. Sama-sama tinggal di Bintaro tapi malah nggak pernah ketemuan. Ya gue ngerti sih kalo lo sibuk banget, apalagi menjelang pernikahan. Dan gue juga nggak mau ganggu lo secara tahun lalu gue udah ganggu lo banyak banget waktu nitipin “anak-anak” gue. Duh. Jangan dibahas lagi deh ya, nanti gue sedih. Ini hari yang paling bahagia buat lo dan gue mau ikutan bahagia, nggak mau sedih. Thanks banget intinya untuk pertolongan lo saat itu. Kalo nggak ada lo entahlah, gue pasti lebih stress lagi.

Dear Mendi,

Kita ini benernya teman yang nggak terlalu dekat ya secara kita jarang ketemu dan jarang ngobrol juga, tapi kita sebenarnya teman lama banget dari jaman sama-sama di Singapore dulu. Dan sejak gue pertama kenal lo sampai terakhir, lo masih tetap sama cantiknya, sama pendiamnya, sama pemalunya, sama baik hatinya. Gue dari dulu yakin sih, lo bakal ketemu laki-laki yang terbaik dan dia adalah sekaligus laki-laki yang paling beruntung di dunia ini. Gue harus kenalan sama suami lo ya. Nanti deh kalo segala hingar-bingar pernikahan lo ini udah selesai dan lo juga udah pulang dari bulan madu. Lo yang cari gue tapi ya, karena gue yang pengangguran dan lo yang sibuk. Bukannya karena gue gaya lho. Hehe. Kapan pun lo bisa ketemu, gue pasti bisa juga selama nggak keluar dari Bintaro. Maklum lah, gue nggak ada kendaraan kan :))

OK deh, Men. Sekali lagi selamat ya! Salam buat @Priscine, @UlyMantigi, adik lo, dan orangtua lo. Beneran ya, kita harus ketemuan nanti dan juga lo harus janji bahwa lo nggak marah sama gue karena gue nggak bisa datang ke pernikahan lo hari ini.

Stay in His love, Mendi and Denny.


- @dear_connie

Saat Perpisahan Tiba

Apa kabar, Kisha.

Senang rasanya dapat kembali berjumpa denganmu. Ini adalah surat ke-6 dariku. Tak terasa, sudah nyaris seminggu kita saling bersua, ya… Aku memang telah merencanakan surat-surat ini, terutama sejak aku dapat mengetahui kabarmu dari Hasyim. Setiap malam aku menulis surat-surat untukmu. Saat pagi menjelang, hatiku berdebar-debar membayangkan bahwa beberapa jam lagi kau akan membaca surat-surat yang telah kutulis. Aku berdebar seperti benar-benar hendak berjumpa denganmu, bertatap-tatapan mata. Debar yang juga pernah kurasakan tiap dekat denganmu saat kita kecil dulu.

Ah, perjumpaan memang selalu indah, bukan? Namun sayangnya, perjumpaan selalu berentetan dengan perpisahan. Dan yang lebih disayangkan lagi, jarang sekali manusia yang mempersiapkan dirinya, hatinya, dengan perpisahan – yang justru adalah kepastian. Kita hanya menyiapkan sukacita untuk menyambut perjumpaan. Kalau kupikir-pikir, sebenarnya manusia hidup di dunia hanya untuk mengalami perpisahan. Bagaimana menurutmu, Kisha? Aku berkata demikian mungkin dikarenakan aku telah kerap mengalami perpisahan. Setiap perpisahan, seindah dan selapang dada apapun kita berusaha menerimanya, tetap mengguratkan rasa sakit. Sebenarnya kita tak pernah siap dengan perpisahan. Yang sekedar dapat kita lakukan hanyalah menerimanya mentah-mentah karena kita tak lagi punya pilihan selain menghadapi perpisahan.

Lihatlah kematian. Ia adalah sesuatu yang pasti, sedang kurasa kita tak pernah benar-benar siap untuk menyambutnya, menerimanya. Jika kita memang benar-benar siap, tidak akan ada linangan air mata yang mengiringi kematian, seperti halnya perjumpaan yang kita sambut sedemikian rupa. Mereka yang menyatakan diri siap untuk mati sebenarnya tak pernah benar-benar jujur mengatakan perasaannya. Bagaimana seseorang dapat dengan enteng meninggalkan kehidupan di dunia yang telah menorehkan sejuta kenangan dan rasa? Kita meninggalkan harta kita, anak kita, pekerjaan kita, kehidupan kita, semua yang berarti bagi hidup kita. Kurasa itu bukan hal yang mudah jika kita mencintai itu semua. Tapi itulah resiko mencintai. Saat tiba waktunya perpisahan, kehilangan, rasa sakit yang kita tanggung sungguh meluluhlantakkan.

Tapi kita takkan pernah mengetahui rahasia ini jika kita tak benar-benar mengalaminya sendiri. Mengalami cinta, kemudian perpisahan yang menyakitkan itu. Kita lebih senang dengan pengalaman daripada peringatan yang telah Tuhan katakan jauh-jauh hari sebelumnya, bahwa mencintai dunia dan seisinya adalah sebuah kerugian semata. Tuhan tahu betul pahitnya rasa sakit itu. Dia memperingatkan kita karena Dia begitu mencintai kita, dan tak ingin kita tersakiti. Namun kita memilih untuk menjadi bebal sebelum benar-benar mengecap rasa sakit saat perpisahan — yang adalah keniscayaan, benar-benar terjadi. Dalam perpisahan, selalu ada luka jika ada cinta.

Bagiku, perpisahan yang menyakitkan adalah saat berpisah denganmu, Kisha. Sampai kapanpun, aku takkan berhenti menganggapnya sebagai sebuah tragedi. Betapa tidak, karena aku tak hanya mengalami rasa sakit karena meninggalkanmu, namun juga menghadapi kemelut dalam keluargaku. Entah, apakah aku patut menyalahkan ayahku. Namun jika tidak karena ulahnya, barangkali kita masih akan bersama lebih lama lagi.
Kau masih ingat ayahku, bukan? Aku tahu kau tak terlalu suka padanya. Bagi orang lain, ayah memang dipandang sebagai pribadi yang kurang menyenangkan. Selain perawakannya yang tinggi besar, berkulit gelap, dan raut wajahnya yang terlihat garang, pembawaannya pun ketus dan kasar. Ia hanya mau bicara yang perlu-perlu saja. Jenis manusia seperti ayahku itu tak suka berbasa-basi. Apa yang ada di hatinya, itu yang dikatakannya. Aku ingat bahwa kau selalu enggan main ke rumahku jika ayah ada di rumah. Kau pasti heran, mengapa dunia ini juga melahirkan orang yang bicaranya selalu nyaring dan menyentak-nyentak. Mungkin ayah pikir semua orang di dunia ini tuli, kecuali dia.

Meski demikian, bagi keluarga kami, sejatinya ia adalah seorang ayah yang baik. Setidaknya dengan memiliki lima anak, itu membuktikan bahwa ibuku amat mencintainya. Tidakkah seseorang yang baik itu pasti dicintai? Dan asal kau tahu, ia pun mencintai anak-anaknya sepenuh hati. Namun dikarenakan kemiskinan kami, cintanya tak tersalurkan dengan baik. Ia terpaksa menenggelamkan diri dalam kesibukan pekerjaan yang membosankan sekaligus melelahkan.

Sudah sepuluh tahun ayahku bekerja di pabrik pemotongan kayu. Karena pendidikannya yang rendah, maka ia berlapang dada menerima nasib senantiasa menjadi buruh. Bayaran yang ia terima sangat kecil, padahal ia harus mencukupi keluarganya yang tidak sedikit. Ibuku terpaksa membantu keuangan dengan menerima kue pesanan dan menjahit. Ibumu dulu sering memesan kue pada ibuku, bukan? Jika ibumu yang memesan, aku selalu lebih giat membantu ibu di dapur. Bagi kami keluarganya, kue buatan ibu adalah yang paling enak. Tapi orang-orang pun banyak yang mengatakan demikian. Anak-anak ibu selalu bergembira jika ibu membuat kue. Kami bahkan selalu berebutan, tak jarang bertengkar, karena ibu selalu menyisakan sedikit. Hanya ayah yang jarang menyantap kue-kue bikinan ibu meski ibu telah memisahkannya tersendiri dalam sebuah piring kecil. Bagi ayah, makanan wajibnya hanyalah segelas kopi dan sepiring nasi. Kadang ia merokok, tapi tak terlalu banyak.

Sebenarnya aku tak terlalu dekat dengan ayah. Entahlah, mungkin karena karakternya yang jauh berbeda denganku hingga membuatku sedikit takut padanya. Ayah adalah seorang yang cukup tegas. Jika kami, anak-anaknya, melakukan kesalahan, ia tak segan menghukum. Jika kau pernah merasakan jewerannya, kau pasti takkan pernah melupakannya seumur hidupmu. Aku justru lebih nyaman untuk dekat dengan ibuku.
Namun kadang aku merasa bahwa sesungguhnya ayah lebih menyayangiku daripada saudara-saudaraku yang lain, terutama kedua kakak perempuanku. Mungkin karena aku adalah anak lelaki pertamanya. Dan dibanding kedua kakakku, prestasiku di sekolah jauh lebih memuaskan. Karena aku jarang mengecewakan ayah dalam soal prestasi, tak heran jika ayah selalu lebih mudah mengabulkan permintaanku, terutama untuk membeli buku-buku.

Ayah pun cukup menyayangi kedua adik lelakiku. Saat mereka masih sedemikian kecil, ayah seringkali mengajak mereka ke pasar malam, menikmati berbagai jenis permainan hiburan. Tentu saja tak mengajak semua anak-anaknya, melainkan bergantian. Begitulah nasib jika tak punya banyak uang. Andai kami memiliki uang yang lebih banyak, barangkali ayah akan membawa kami semua bersama-sama ke tempat hiburan yang jauh lebih besar daripada sekedar pasar malam.

Sebenarnya kehidupan kami yang sangat sederhana itu cukup menyenangkan. Namun rupanya Tuhan tak pandang bulu dalam menimpakan cobaan-Nya. Pada akhirnya, kami pun tak luput dari cobaan besar. Awalnya dimulai di suatu hari, ketika kutemukan raut muka ayah yang paling murung dari yang pernah kulihat selepas ia pulang dari bekerja. Tiba-tiba seharian itu ayah menjadi amat pendiam. Ia bahkan tak sedikitpun memberi komentar pada berita-berita di televisi, seperti yang biasa ia lakukan. Ayah memang tak lihai menyembunyikan perasaannya, terutama jika ia sedang bahagia atau sedang bermasalah. Ia seorang yang terlalu apa adanya. Beberapa kali ibu mencoba untuk mencari tahu, apa gerangan yang membuat ayah sedemikian terlihat susah. Namun ayah tetap bungkam, tak juga menceritakannya pada ibu. Ibu jadi ikut-ikutan gelisah. Nalurinya mengatakan ada hal buruk yang sedang menimpa ayah. Malam itu, ayah tidur lebih cepat.

Baru tiga hari kemudian ayah sanggup membagi resah atas permasalahannya pada ibu. Ia ceritakan bahwa ia telah memiliki utang dalam jumlah besar pada seorang rentenir. Ibu sangat kaget, karena kami tak biasa meminjam uang pada rentenir. Meski kami miskin, kami bahkan jarang meminjam uang pada siapapun. Ibu sempat marah karena ayah tak mengajak ibu berunding sebelum memutuskan untuk berhutang. Rupanya akar permasalahannya adalah ayah tergiur dengan bujuk rayu salah seorang teman baiknya yang mengajaknya untuk menginvestasikan sejumlah uang pada sebuah usaha investasi. Jika ayah menginvestasikan sejumlah uang, ia akan menerima  keuntungan tiga kali lipat dalam waktu hanya tiga bulan. Apalagi jika ayah menginvestasikan uang dalam jumlah besar, maka keuntungannya akan terlihat lebih nyata. Kau pasti menilai betapa bodohnya ayahku yang mudah percaya dengan hal-hal konyol seperti itu. Tapi kenyataannya itu benar-benar terjadi dan ayahku memang bodoh. Dengan setia ia mendengarkan temannya yang  bercerita tentang pengalaman keberhasilannya sendiri. Demi lebih meyakinkan, ayah pun diajak serta menemui orang-orang yang telah sukses dengan investasi mereka. Tak memakan waktu lama, ayah benar-benar tergiur. Ayah telah membayangkan, jika ia telah menerima hasil investasinya, ia akan berhenti bekerja dan membuka usaha perabotan seperti yang dicita-citakan sejak lama. Ia benar-benar sudah bosan bekerja di pabrik pemotongan kayu, pun sudah muak karena mereka tak pernah menghargai ayah. Bahkan untuk hari raya pun mereka tak pernah memberikan jatah.

Sebenarnya teman yang menawari ayah ini adalah sahabat ayah sejak lama. Itu sebabnya ayah menaruh kepercayaan yang sedemikian besar padanya. Tanpa pertimbangan lebih jauh, ayah segera mencari pinjaman. Untuk meminjam di bank diperlukan jaminan, sedang kami tak punya apapun sebagai jaminan. Maka tak ada pilihan lain, ayah terpaksa meminjam uang dalam jumlah yang cukup besar pada seorang rentenir.

Singkat cerita, ayah tertipu. Teman yang ia percayai sebegitu besarnya telah tega melarikan uangnya. Ayah mencarinya kemana-mana, namun teman sialan itu benar-benar telah kabur tak meninggalkan jejak. Bahkan keluarganya pun tak ada yang mengetahui keberadaannya. Ayahku yang lugu dan bodoh itu sangat terpukul. Pasalnya, ia sudah terlanjur berhutang, dan kemudian ia harus menerima kenyataan bahwa uangnya telah hilang. Padahal jatuh tempo pelunasan hutang itu sudah semakin dekat. Ayah bingung hendak mencari uang kemana. Hendak meminjam pada tempat ia bekerja pun percuma karena mereka terkenal sangat pelit, terutama pada buruh rendahan seperti ayah. Hendak menjual sesuatu pun takkan bisa menutupi hutang ayah yang nilainya terlampau besar. Ayah dilanda kekalutan. Seketika itu ia tersadar bahwa kini ia adalah orang termiskin dari yang paling miskin di dunia ini.

Dalam waktu dua bulan, kami tak kunjung menemukan solusi. Ayah pun menjadi berubah. Pembawaannya selalu murung, bahkan ia nyaris tak bisa lagi tertawa. Tubuhnya menjadi kurus dalam waktu yang sangat cepat. Ayah hanya makan sedikit. Bahkan kadangkala ia tak menelan apapun. Ayah benar-benar terguncang. Ibu mencoba memberi pengertian anak-anaknya supaya untuk sementara tak mengusik ayah. Kami, anak-anaknya, sudah mulai tahu bahwa keluarga kami sedang dilanda masalah. Sebuah masalah besar.

Saat aku terjaga di tengah malam, seringkali kudengar sayup-sayup isak tangis ayah yang tergugu. Ia menyebut nama Tuhan ratusan kali dengan suaranya yang nyaris parau. Saat berdoa, bendungan emosi yang selama ini ia pertahankan sekuat tenaga ambrol begitu saja. Sempat kuintip ayah di ruang sembahyang kami yang sempit. Kulihat ayah bersujud takzim. Ia tak henti memohon karena keputusasaannya sudah menggerogoti habis harapannya. Melihat dan mendengar tangis ayah, tak jarang aku pun ikut menangis tertahan-tahan, ikut berdoa dalam diam. Aku seolah dapat merasakan beban berat yang sedang dipikul ayah. Tapi kadang aku sempat merasa ragu, apakah Tuhan akan benar-benar menolong orang-orang seperti kami. Aku ragu apakah tangis ayah mampu menggoyahkan bejana keajaiban Tuhan. Jujur saja, kami bukanlah keluarga yang sangat rajin menjalankan perintah agama. Bahkan ayah atau ibu pun seringkali melewatkan jadwal sembahyang karena kesibukan yang tak bisa mereka tinggalkan. Andai kami tidak semiskin ini, barangkali kami akan punya lebih banyak waktu untuk memperhatikan Tuhan. Aku merasa malu sekaligus sangsi karena kami baru benar-benar mendekat pada-Nya hanya ketika kami membutuhkan pertolongan-Nya, saat kami sudah berada di ujung keputusasaan. Apakah menurutmu Tuhan akan mengasihani orang-orang tak tahu diri macam kami?

Tak terasa, bulan berganti dengan teramat cepat. Empat bulan telah berlalu, dan rumah kami mulai kerap didatangi para penagih utusan renternir. Kami telah benar-benar terlambat  dari jatuh tempo pembayaran. Para penagih yang rata-rata bertampang seram itu tak pernah ramah pada kami. Kemampuan mereka hanyalah berkata-kata keras dan menggertak kami. Adik-adikku selalu ketakutan jika mereka datang, bahkan adikku yang paling bungsu selalu menangis tiap kali mereka datang. Tapi tak ada yang dapat kami perbuat selain terus menghiba sambil gemetaran. Tak jarang mereka membuat keributan di rumah kami sehingga kami terpaksa menjadi tontonan para tetangga. Kami benar-benar telah menjadi sasaran empuk bagi para penggemar gosip. Mereka saling berbisik-bisik dan memandang kami dengan sinis. Tiba-tiba kami menjadi orang yang sangat hina karena urusan ini telah menjadi rahasia umum di kalangan tetangga dan kawan-kawan baik keluarga kami. Rasanya benar-benar seperti habis jatuh  tertimpa tangga. Ibu mulai kerap mencucurkan air mata.

Hingga akhirnya, di suatu malam, ayah mengumpulkan kami semua, keluarganya, di ruang tengah. Ia membawa kabar yang mengejutkan kami. Dengan sikap yang sedikit kikuk, ayah mengatakan bahwa sudah tak ada lagi jalan keluar kecuali menjual satu-satunya aset kami, yakni rumah yang kami tinggali. Sepetak rumah yang sempit dan sudah tua milik kami satu-satunya. Dengan uang hasil penjualan rumah, ayah baru dapat melunasi hutang sekaligus memulai hidup baru. Ayah pun memberi kabar bahwa ia sedang mempertimbangkan tawaran salah seorang adik ayah untuk pindah ke Gulama, sebuah kota nun jauh disana, yang sebelumnya bahkan tak pernah  aku tahu. Konon, kota itu jauh lebih ramai dan lebih maju daripada kampung Sammoa. Dan yang terpenting, adik kandung ayah atau pamanku itu telah menyiapkan pekerjaan untuk ayah, yakni sebagai asistennya di sebuah perusahaan pengepakan makanan. Tentu saja pekerjaan ini jauh lebih bergengsi daripada sekedar sebagai buruh pemotong kayu. Kata paman, upah yang akan ayah terima pun jauh lebih baik. Ayah memberi gambaran bahwa kami akan memiliki kesempatan untuk berpenghidupan lebih baik. Disana banyak sekolah maju dan bagus. Pamanku sendiri termasuk orang yang cukup sukses setelah lima belas tahun merantau. Ia pun menyatakan diri sanggup membantu ayah di bulan-bulan awal kepindahan kami disana dengan menampung kami di rumahnya yang besar. Sepertinya ayah melihat ini sebagai kesempatan yang tidak akan bisa ia tolak.

Namun ibu sempat protes. Ia yang seorang wanita tentu merasa berat karena emosinya telah terlanjur terikat kuat dengan riak kehidupan kampung Sammoa. Jika memang hasil penjualan rumah itu masih terdapat sisa untuk kembali memulai hidup baru, mengapa tak mencoba bertahan saja? Katanya. Tapi ayah bersikeras. Ia telah terlanjur kehilangan muka di hadapan orang-orang. Tiada yang lebih baik selain pergi, menyudahi hidup di Sammoa. Namun di balik itu semua, aku menduga bahwa sesungguhnya ayah juga ingin menyudahi pekerjaannya di pabrik pemotongan kayu tersebut. Di Sammoa kesempatan pekerjaan begitu langka. Kalaupun ada, mereka hanya sanggup memberi upah yang rendahnya keterlaluan. Wajar jika ayah berpikir barangkali ia bisa mengadu nasib di tanah lain. Sepertinya ia benar-benar tak sabar untuk mencoba pekerjaan baru yang ditawarkan paman. Siapa tahu keberuntungannya ada disana. Ayah sudah terlanjur bosan dengan penderitaan yang melulu disuguhkan Sammoa untuknya.

Rentenir itu membantu menjualkan rumah kami. Ia memiliki begitu banyak kenalan sehingga membuat rumah terjual dengan cepat. Resikonya, harga yang kami terima teramat murah. Katanya, rumah kami terjual murah karena surat-surat yang tak lengkap. Apa mau dikata, kami terpaksa menerima. Kami hanyalah orang-orang tak berdaya yang selalu menjadi sasaran mereka yang gemar menindas. Dua minggu lagi, kami harus hengkang dari rumah yang telah membesarkan dan menghidupkan kami puluhan tahun.

Dengan tergesa aku memberimu kabar sedih ini. Bagiku, ini lebih dari sekedar kabar sedih. Adalah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan bulat-bulat bahwa aku akan berpisah denganmu. Aku takkan bersamamu lagi, takkan melihatmu lagi. Adakah yang lebih menyedihkan dari sebuah perpisahan yang pahit? Kupikir, inilah saat cintaku telah benar-benar kandas. Sebelum memiliki kekuatan untuk menyampaikan perihal kabar buruk ini, aku telah menguras air mataku habis-habisan. Toh tetap tak mengubah keadaan. Kami tetap akan pindah. Kau mendengarkan kabar yang kusampaikan dengan muka muram. “Tidakkah ayahmu mau menunda setidaknya sampai kenaikan kelas lima bulan lagi? Sebentar lagi kita kelas sembilan, Ramu! Bagaimana dengan sekolahmu?” Kau mencoba berargumen, seolah-olah hanya kau seorang yang memikirkannya. Aku tahu kau pun menyimpan kepedihan. Delapan tahun kita bersama-sama, merajut masa kecil yang indah, bagaimana bisa tiba-tiba berpisah begitu saja? Kita mencoba untuk pura-pura tidak mengerti, tapi kita bisa menolak bahwa itulah yang terjadi. Apa yang bisa kita lakukan?

Dua hari kau tak mau menemuiku. Kesedihanku makin menjadi-jadi. Saat itu, ingin rasanya kukatakan pada ayah bahwa aku tak ingin ikut pindah ke Gulama. Aku tak peduli dengan kehidupan sebaik apapun yang ada disana. Yang kubutuhkan hanya berdekatan dengan Kisha. Tapi aku tak mungkin benar-benar mengatakannya, dan kalaupun aku punya keberanian mengatakannya, ayah pasti takkan mengijinkanku. Sempat aku jadi membenci ayah, membenci keadaan keluargaku yang miskin dan lemah, juga membenci Tuhan. Bukankah ayah sudah bersujud setiap malam dan menghabiskan air matanya? Aku pun telah sekuat tenaga menyambung doa. Namun lihat! Nyatanya kami telah kehilangan rumah. Ayah kehilangan pekerjaan. Ibu kehilangan tetangga. Adik-adikku kehilangan teman sepermainan. Aku kehilangan perempuan yang kucintai! Apakah Tuhan tidak mau mendengar doa kami? Apa Tuhan lupa dengan permohonan kami? Apakah Tuhan pilih kasih? Bukankah katanya Dia selalu mengabulkan doa hamba-Nya? Tiba-tiba saja, aku menjadi sosok yang dikuasai kebencian besar terhadap segala hal. Bahkan aku pun membencimu karena telah bertemu, bermain, menghabiskan waktu, sekaligus menghabisi hatiku.

Sementara kau berdiam dengan kesedihanmu, aku kerap berjalan-jalan sendiri ke pantai, ke bukit mahligai, ke tempat manapun aku suka. Kunikmati sisa-sisa waktuku di Sammoa dengan kesendirian. Pilu rasanya. Seperti inikah rasanya sendiri tanpa kamu? Apakah aku bisa melalui hari-hari ke depan tanpa kamu? Apakah aku dapat membiasakan bermain tanpa kamu? Aku mulai mencoba untuk mengimajinasikan masa depanku yang dalam kesendirian. Yang kulihat disana hanyalah sosok kecilku yang menderita.

Baru beberapa hari kemudian kau mendatangiku. Seperti biasa, kita menghabiskan waktu senggang berdua dengan membaca, banyak mengobrol, atau sekedar berjalan-jalan ke pantai. Aku tak lagi melihat kemurungan di raut wajahmu, seperti yang pernah kulihat sebelumnya. Kau masih menyisakan tawa dan senyum di saat-saat terakhir sebagai bekalku nanti ketika berada dalam kesendirian. Kita benar-benar menikmati hari-hari terakhir itu dengan perasaan yang menyenangkan. Seolah-olah kau melupakan hal kepergianku yang sebentar lagi. Aku pun tak berani menyinggungnya di hadapanmu.

Akhirnya waktu keberangkatan tiba. Ayah menyewa sebuah mobil pikap untuk mengangkut barang-barang kami. Demi menyewa mobil, ia telah mengeluarkan biaya yang cukup banyak. Padahal yang kami bawa sudah seperlunya. Ibu telah menjual banyak barang demi menambah biaya kepindahan sekaligus memperingan beban bawaaan. Kami telah pula berpamitan dengan para tetangga kiri kanan, para kenalan, handai taulan, termasuk juga dengan keluargamu. Beberapa berbasa-basi mendoakan kami sukses di perantauan. Namun tak sedikit pula yang menampakkan rasa keprihatinan. Padahal kami benci dikasihani.
Kau datang membawa bingkisan kecil terbungkus kertas kado warna biru. Bergegas kau menghampiriku dan memberikan bingkisan istimewa itu. “ini buat kamu, kenang-kenangan dariku. Jangan lupakan aku, ya. Suatu saat nanti kita pasti bertemu. Kalau kau libur, mainlah kesini.” katamu dengan bibir bergetar. Rasanya ingin sekali memelukmu, tapi tidak kulakukan. Aku hanya menatap wajah polosmu, mata beningmu, mencoba menyelami hatimu, dan menerima bingkisan berkertas biru itu. “Dibuka nanti saja,” katamu lagi. Aku hanya tersenyum,kemudian kita bersalaman. Salam perpisahan itu, meski begitu lembut kita lakukan, tetap terasa menyakitkan.

Ayah dan kakak keduaku telah berangkat lebih dulu bersama mobil pikap. Sedangkan aku, ibu, dan saudara-saudaraku lainnya menempuh perjalanan dengan kendaraan umum, dengan bis yang kemudian berganti kapal laut. Kami telah bersiap untuk perjalanan panjang yang melelahkan. Paman Rosihan, tetangga kami yang memiliki mobil, berbaik hati mengantar kami ke terminal. Ia telah siap menunggu kami masuk ke dalam mobil, sedang ibu masih saling berpamit-pamitan, saling berpelukan dengan orang-orang yang mengantar kepergian kami. Ibu tak bisa menahan emosi. Ia tak henti-henti mengusap wajahnya yang berleleran air mata.

Aku cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi berlama-lama memandangmu. Aku takut tak sanggup bertumpu pada kakiku sendiri dikarenakan beratnya beban kepedihan yang kurasakan. Kepalaku seperti mendengar suara-suara gaib darimu, “Ramu, jangan pergi! Jangan pergi! Jangan pergi, anak bodoh!” Tapi kau sedang berdiri bersama ibumu diantara orang-orang yang mengantar kepergian kami. Sempat kulihat titik-titik air bening mengaliri pipimu. Hidungmu yang memerah benar-benar tak bisa membohongi bahwa kau pun menelan duka yang mendalam. Apakah kau merasa kehilanganku? Apakah kau akan merindukanku? Apakah kau nantinya akan menyadari cintaku? Dengan susah payah aku menyeret kenangan-kenangan kita demi ketenanganku. Suara mobil butut Paman Rosihan yang begitu berisik menyamarkan keheningan hati yang sesungguhnya kurasakan. Kulihat kau bersama orang-orang yang lain melambaikan tangan. Air matamu semakin deras, aku semakin menjauh. Jauh sekali.

Hingga beberapa jam perjalanan, hanya aku yang begitu sepi. Kucoba untuk memejamkan mata, tapi justru bayangamu bermain-main di pelupuk mata. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Batinku yang lelah. Ibu sempat heran mengapa aku sedari tadi menyimpan suara. Tapi lambat laun ia paham dengan apa yang kurasakan. “Kau akan menemukan banyak teman baru disana, Ramu.” kata ibu menenangkan. Tapi ibu tak pernah mengerti seberapa besar aku kehilangan.

Dear Kisha,

Begitulah rasanya kehilangan yang menyesakkan. Kupikir barangkali ini adalah mimpi buruk terakhir. Kucoba-coba untuk bersikap seperti ayah, ibu, dan saudara-saudaraku yang lain, menggenggam keyakinan bahwa hari esok pasti akan lebih baik. Mimpi buruk itu tidak akan pernah terjadi lagi. Namun kenyataannya tidak demikian, Kisha. Hidupku ke depan masih teramat panjang, dan kurasakan tiba-tiba aku duduk di salah satu kursi roller coaster kehidupan yang siap meluncur deras. Ternyata apa yang kurasakan saat perpisahan itu hanyalah permulaan.

Kurasa aku harus mengakhiri dulu suratku ini. Aku takut kamu menjadi semakin bosan. Setelah ini, aku akan bercerita padamu bahwa kehidupanku, ternyata pun tak jauh berbeda dengan kehidupanmu, kehidupan orang-orang lain di muka bumi ini. Tidak ada yang mudah. Bukankah saat menginjak dewasa kita kemudian sering mengatakan demikian? Hidup ini memang tidak mudah, Kisha…

Tapi aku berharap semoga kebahagiaan dan ketentraman hidup senantiasa meliputimu setelah ini. Kau punya dua matahari yang menjadi penguatmu. Aku tahu kau akan kuat. Kau pasti akan bahagia. Kadang aku bermimpi dapat mengenal anak-anakmu. Mereka pasti sangat cantik seperti kamu. Aku ingin sekali dapat membelai mereka, kemudian berbisik di telinga mereka bahwa seseorang yang tak dikenal ini pun menyimpan sisa cinta untuk mereka. Semoga kamu tak keberatan, Kisha…

Sampaikan salam peluk hangatku untuk kedua buah hatimu. Beranjaklah untuk berdoa, untaikanlah permohonan-permohonan baik yang sekiranya menenangkan hatimu. Meski dulu aku sempat memandang-Nya sinis, tapi sesungguhnya ia jauh lebih baik dari apa yang kita perkirakan, Kisha… Semoga kebaikan selalu bersemayam di hatimu.


Yang mencintaimu,

A Ramu

@bintangberkisah

...Ciumh!

...Bolukuh, akuh kangenh ciumh pipih kamuh yangh wangih, kapanh kitah ketemuh?




...Ciumh!

Kakangprabumuh.





oleh @toiletcafe

diambil dari http://boluku.posterous.com/

Pada Sebuah Band

Kita telah bersama selama enam tahun. Aku menjadi diriku yang sekarang menyandang namamu di belakang namaku. Ada sedikit senyuman tiap orang memujimu.

Aku telah berjuang keras menjadikanmu utuh, meski aku belum merasa puas. Dirimu yang sekarang sedang menuju umur barumu, yang masih kanak-kanak dan perlu banyak pelukan.

Tiap kali lagu kumainkan, ada banyak doa yang terdengar – tentang keberhasilanmu. Tentang rasa optimisku. Tentang kemungkinan-kemungkinan mengangkatmu ke puncak keberhasilan.

Aku bahkan melepaskan segala godaan lain, yang akan membuatku meninggalkanmu. Meski kadang mereka sangat luar biasa – cenderung masih datang kembali. Berkali-kali.

Tenanglah, kau telah duduk nyaman di hatiku. Kujadikan penghibur sekaligus tujuan hidupku. Alasan untuk membahagiakan diriku – bahkan untuk membahagiakan siapapun yang mencintai aku.

Tetaplah demikian menarik. Tetaplah menjadi yang tersayang. Tetaplah dengan tujuan utama kita bersama. Membagi kebahagiaan lewat musik. Aku mencintaimu The Vuje.

Founder,

Ika



oleh @ikavuje

diambil dari http://eqoxa.wordpress.com/

Tuhan Tau, Tapi Menunggu.

Teruntuk Yussi Kekasihku.
Hai, apa kabar kau disana? Baik-Baik saja? Kabarku, akan selalu baik selama kau pun ada dalam keadaan baik. Percayalah, itu bukan klise.
Terakhir aku menulis surat beberapa hari lalu. Kesibukanku seharusnya bukan menjadi alasan untuk tidak memberikanmu kabar. Maaf sayang, aku hanya lelah dengan semua pekerjaan disini. Semoga kau tak marah.
Apa yang ku lakukan disini selama beberapa hari, nanti akan aku ceritakan di surat setelah ini. Sekarang, aku benar-benar harus melanjutkan pekerjaanku. Namun percayalah, tak sedetikpun aku melupakanmu yang menungguku disana. Justru karena mengingatmu, ku lakukan semua pekerjaan dengan secepat mungkin, agar nanti ada waktu bagi kita untuk melepas rindu.
Aku disini, kau masih disana. Semoga kau belum menyerah menghadapi kenyataan ini. Kenyataan bahwa kita tak bisa saling berpeluk erat saat semua hanya memberi penat, yang saat lelah selalu ada sosok nyata penyemangat untuk tidak menyerah.
Ku sudahi dulu suratku.
Masih salam rindu dari kekasihmu yang jauh.
Ami.

oleh @_FHMY

tomat, ketimun, dan puisi cinta sederhana

Dear Kukila,

Kemarin saya baca di status Facebook kamu, anak bungsumu yang—kamu bilang—senyumnya selalu mengingatkan kamu pada senyum saya itu sakit. Berapa hari tepatnya usia dia sekarang? Semoga dia lekas pulih dan kakaknya yang lincah itu punya teman bermain lagi.

Tadi siang saya makan di warung tempat kita dulu sering makan. Pelayan yang senang menggoda kita tidak bekerja di sana lagi. Kata temannya, sebulan sebelum menikah, dia berhenti bekerja. Kamu masih ingat namanya? Saya mengabadikan namanya di salah satu cerita pendek saya, seperti saran kamu. Dia tokoh utama dalam cerita pendek saya yang dimuat sebuah majalah wanita dua bulan lalu.

Sebagaimana kenangan, warung itu tidak banyak berubah, Kukila. Lukisan air terjun di dinding sebelah kiri, di mana kita sering duduk menyantap makan malam, masih ada. Poster besar Nike Ardilla, penyanyi favorit pemilik warung itu, juga masih ada di posisinya yang dulu. Menunya masih sama. Tidak ada makanan baru dijual di sana. Pelayannya masih tersenyum ketika meletakkan piring berisi nasi campur dengan sepasang irisan ketimun dan tomat di tepinya.

Karena irisan tomat dan ketimun itulah saya tiba-tiba terpikir menulis surat ini. Kamu pasti masih ingat kebiasaan kita dulu. Sesaat seusai mengucapkan terima kasih kepada pelayan, kamu dengan cepat memindahkan irisan tomat dari piring kamu ke piring saya. Tentu saja, saya akan membayarnya dengan memindahkan irisan ketimun saya ke piring kamu. Tadi siang, saya makan sendiri. Saya menggigit irisan ketimun sambil mengingat cara kamu menggigitnya.

Apakah suami kamu juga suka tomat, Kukila? Betapa beruntung siapapun dia yang pernah mencicipi betapa enak jus tomat bikinan kamu. Ada 135 gelas jus tomat yang pernah kamu bikin buat saya selama 6 tahun 7 bulan 5 hari kita pacaran. Saya ingat persis jumlahnya. Saya menulis di catatan harian setiap usai meminum jus tomat bikinan kamu. Jus tomat terakhir, kamu bikin seminggu sebelum cincin laki-laki pilihan ayahmu itu melingkar di jari manismu. Saya belum pernah mengatakannya: itulah jus tomat paling enak yang pernah saya minum!

Oh, iya, di warung kesukaan kita itu, Kukila, kita pernah bertemu nyaris seratus orang bisu. Kamu masih ingat? Mereka melakukan penggalangan dana. Malam itu, warung itu betapa senyap. Cuma kita dan para pelayan yang menggunakan kata-kata. Pengunjung lain bicara menggunakan jari dan mata mereka. Kamu berbisik kepada saya, “alangkah puitis peristiwa ini.”

Saya mau memberitahu kamu bahwa peristiwa yang kamu sebut puitis itulah yang membuat saya menulis sebuah puisi tepat di malam pernikahan kamu. Saya menulis puisi itu di Biblioholic, kafe baca yang kita bikin berdua, tempat yang selalu kamu sebut anak kita. Puisi sederhana itu memenangkan lomba menulis puisi cinta. Puisi itu mengalahkan lebih 6.000 judul puisi cinta lain dari berbagai penyair Indonesia. Separuh hadiahnya, tanpa pernah kamu tahu sebelumnya, saya gunakan membeli novel-novel kesukaan kamu dan menyimpannya di Biblioholic. Separuhnya lagi saya kirim kepada Mama yang selalu menanyakan kabar kamu.

Saya ingin sekali, suatu kali, bisa membacakan puisi itu di hadapan kamu. Saya ingat kebiasaan kamu meminta saya membacakan puisi sebelum tidur. Saya ingat ketika saya ingin sekali dipeluk dan dicium, saya memaksa kamu mendengar saya membaca puisi. Kamu selalu memberi saya hadiah pelukan dan kecupan seusai membaca puisi, seburuk apapun puisi itu.

Saya ingin menuliskan puisi cinta sederhana tentang orang bisu itu di surat ini. Jika kamu mau, saya mau kamu membacakan puisi ini kepada anak bungsu kamu yang sedang sakit. Kakak dan ayahnya boleh mendengarnya, jika mereka mau. Tentu saja, itu akan lebih baik lagi.

Sajak Buat Istri yang Buta
dari Suaminya yang Tuli

Maksud sajak ini sungguh sederhana.

Hanya ingin memberitahumu bahwa baju
yang kita kenakan saat duduk di pelaminan
warnanya hijau daun pisang muda, tetapi
yang membungkus kue-kue pengantin
adalah daun pisang tua. Memang keduanya
hijau, tetapi hijau yang berbeda, Sayang.

Di kepalamu ada bando berhias bunga,
kau merasakannya tetapi mungkin tidak
tahu bunga-bunga itu adalah melati putih.
Sementara di kepalaku bertengger sepasang
burung merpati, juga berwarna putih.

Aku selalu membayangkan, hari itu, kita
seperti sepasang pohon di musim semi.
Kau pohon penuh kembang. Aku pohon
yang ditempati burung merpati bersarang.

Aku lihat, orang-orang datang dan tersenyum.
Mereka berbincang sambil menyantap makanan.
Tapi aku tak dengar apa yang mereka bincangkan.
Maukah kau mengatakannya padaku, Sayang?

Terima kasih mau membaca surat ini—dan puisi sederhana itu.

Peluk rindu,

Aan—yang selalu kamu sebut pohon.



oleh @hurufkecil

diambil dari http://hurufkecil.wordpress.com/

Terlambat Satu Hari

Sayang,
Maafkan aku yang sudah lancang mengirimkanmu surat ini. Juga memanggilmu sayang. Aku tidak tahu apakah aku masih boleh melakukan ini lagi.
Sayang,
Aku merindukanmu.
Ingatkah kamu dengan tempat terakhir yang kita datangi bersama. Beberapa hari yang lalu aku kesana. Dan setiap sudut-sudutnya meneriakkan kenangan. Rasanya telingaku sampai tuli mendengarnya.
Ingatkah kamu, hari itu terakhir kalinya kita menjadi sepasang kekasih. Kita datang bergandengan tangan lalu pulang saling memalingkan wajah.
Sayang,
Aku mencintaimu. Kembalilah padaku. Jadilah milikku. Lagi.



—————————————-
Ada amplop putih terselip dibawah pintuku pagi ini.
Kubuka. Kubaca. Kurobek. Lalu kubuang.
Maaf sayang, suratmu terlambat.
Seharusnya kau sampaikan kemarin, saat aku belum memutuskan untuk menikahi sahabatmu.



oleh @heyechi

diambil dari http://flanelmerah.tumblr.com/

Surat Ulang Tahun Lelaki Tampan

Cihanjuang, 20 Januari 2012


Bapak sayang,
Hari ini aku merasa pilu. Maaf, hingga hari ulang tahunmu yang genap 60 tahun, aku belum banyak berbuat apa-apa. Maaf kalau bapak bosan mendengarnya. Tapi aku merasa, hingga kini aku belum mampu membuatmu bahagia.


Bapak, di hari ulang tahunmu tahun ini, kau tidak ada di sisiku. Selamat ulang tahun, pak... Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan semakin dekat dengan Tuhan. Di hari ulang tahunmu kini, aku memohon pada Tuhan agar aku dapat menghadiahimu pengganti dirimu sebagai penjaga aku yang lebih baik dari sebelumnya, secepatnya. Entah bagaimana caranya, aku menyerahkannya pada Tuhan. Aku tahu, pasti tak ada yang sehebat dirimu dalam menjaga aku, namun aku harus segera mencari pengganti dirimu bukan karena aku bosan tapi agar kau bisa lebih menikmati masamu di usia yang semakin banyak.


Bapak, aku menangkap raut sedih dan kecewamu ketika aku mengalami kegagalan lagi dan lagi. Aku menangkap wajah murungmu ketika sendiri selepas aku ditinggalkan orang yang aku anggap bisa membahagiakan aku di masa depan. Maafkan aku bapak, aku belum juga mampu memberimu cucu yang lucu bahkan mendapatkan menantu baik untukmu pun aku belum mampu. Tapi, bapak tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Aku bisa mendapatkan rasa bahagiaku sementara ini dengan cara yang lain.

Bapak, jangan terlalu mengkhawatirkan aku, jangan terlalu banyak memikirkan kebahagiaanku. Peluk saja aku dan beri aku kepercayaan diri untuk kembali memulai hari. Maafkan aku pernah memaksamu untuk merestui aku dengan pejuang kecilku dulu. Maafkan aku karena pada akhirnya aku sendiri yang kena batunya menerima pengkhianatannya. Aku akan lebih banyak belajar darimu. Melihat sosok setia sepertimu. Melihat pejuang hebat sepertimu. Tidak lagi sekedar percaya kata manis di luaran sana.


Di hari ulang tahunmu, aku memohon maaf padamu karena aku mulai sering menghindar tatapan matamu. Ya, aku hanya takut kau menangkap raut kesedihan yang akhir-akhir ini terpancar dari mataku. Aku malu atas kekerasan kepala dan juga hatiku. Maaf.


Bapak, jaga selalu kesehatan. Jangan curi-curi minum kopi. Jaga hati tetap tenang ketika menyetir mobil.


Salam sayang selalu,
Aku, anak perempuan sulungmu yang sangat mencintaimu.




oleh @hotarukika

diambil dari http://theothersideoffireflies.blogspot.com/