25 January 2012

Iri

Kalau boleh jujur padamu, sesungguhnya aku iri padanya. Bukan… bukan cemburu, hanya iri karena kehadirannya sangat dibutuhkan olehmu. Memang benar kau jauh lebih dulu mengenalnya sebelum aku datang tapi aku bertanya-tanya dalam hati apakah kau lebih mencintainya daripada mencintai aku.

Dia selalu ada didekatmu, menemani aktivitasmu. Saat kau menyesap kopi, saat kau duduk manis di kloset, saat kau terpaku pada layar notebook, saat kau makan, saat kau membaca, bahkan sesaat sebelum kau terlelap. Sungguh aku iri melihatmu begitu menikmati waktu bersama dengannya, kau menggenggamnya dengan jemarimu yang lentik, bahkan begitu syahdunya kau menempelkan bibirmu pada kehangatannya.

Mungkin dia lebih setia daripada aku, selalu ada pada setiap momen hidupmu. Kau tertawa lepas, menangis sesenggukan, bahkan berteriak marah ketika bersamanya. Iya aku iri.. sekali lagi aku iri, sayang.

Dengarkan aku.. tinggalkan dia demi aku dan calon anak kita, dia memberikan pengaruh yang sangat tidak baik. Aku sayang kamu, aku lebih mencintaimu dan menjagamu, dia hanya racun untukmu. Sebelum semuanya terlambat dan anak kita menjadi korbannya, menjauhlah darinya dan berhentilah merokok. Sudah saatnya kau memutuskan hubungan dengan rokok - si teman setiamu. Kamu mengerti kan, Sayang?

Jakarta, Ku Titipkan Dia Padamu

Teruntuk Jakarta, Kota Tempat Berkumpulnya Tanya.

Niat datang ke kota begitu sederhana, mencari cinta. Sesampainya disana, baru kusadari Jakarta lebih rumit dari apa yang ku kira.

Selama lebih dari lima tahun, engkau menjadi kota kedua yang paling sering ku kunjungi setelah kota dimana aku tumbuh dewasa. Karena di jakarta, tepat di selatannya, disana ada sosok yang selalu ku pinta dalam doa. Sosok wanita yang membuatku berkali jatuh, dalam cinta.

Jakarta, sosok kota yang menggambarkan semua. Terang lampu saat malam yang tak ada dua, kepenatan siang yang selalu muncul di setiap kepala. Aku satu, dari beribu yang mencacimu. Aku juga satu, dari beribu yang mengagungkan namamu.

Jakarta, entah apa kata orang tentangmu. Bagiku, kau tempat dimana aku akan mewujudkan salah satu mimpi, nanti. Terlepas suka atau tidak aku terhadap keras kehidupanmu, tapi apa dayaku yang mencintai salah satu penghunimu.

Jakarta, berulang kali kau telah menjadi saksi, bahwa niat sesederhana untuk mencari cinta, tak semudah apa yang dibicarakan para pujangga. Pada salah satu penghunimu aku jatuh cinta untuk yang pertama, di depan matamu juga wahai Jakarta, aku patah hati dan kau hanya puas tertawa.

Haruskah ku ucapkan terima kasih padamu, Jakarta? Atas semua tawa yang pernah ku rasa? Atau harus ku acungkan jari tengah tepat di wajahmu, Jakarta? Saat semua yang kau beri hanya luka?

Suatu hari nanti, saat apa yang ku bawa lebih dari sekedar cinta untuk ku berikan pada salah satu penghunimu, semoga kau melihatku dari sudut pandang yang berbeda. Bukan hanya seorang pemuda yang tak tahu cara menikmati kota. Suatu hari nanti, aku akan datang kembali. Mengadu nasib tentang hidup dan cinta. Tunggu aku, Kota Tua!

Jakarta, sudikah kau kabulkan permintaan dari lelaki udik sepertiku ini?

Ku titipkan dia padamu, Jakarta. Jaga dia setiap kali kau mendengar rinduku padanya diterbangkan angin menuju utara. Peluk dia sehangat engkau memberikan nafas bagi para penghirup kota.

Tak akan habis jika ku tulis semua tentangmu, Jakarta. Maka ku sudahi untuk saat ini. Sampai bertemu di keadaan yang lebih baik dari terakhir kita bertemu.

salam,
@_FHMY


Oleh: @_FHMY
Diambil dari: http://aksarabicara.tumblr.com

mulakk tu jabu (pulang ke rumah)

Horas Medan,
Lama aku tak pulang, ke kota tempatku dibesarkan. Aku rindu banyak pepohonanmu, juga sejuk karena dekat pegunungan. Danau Toba yang dua jam dari kota masih indah? Apa kabar lae? semoga baek.

Masih ada becak kita? kendaraan yang dikayuh memakai bak kayu untuk penumpang. Dulu aku suka menaikinya tiap pulang kuliah. Menyambung dari terminal angkot menuju rumah.

Kalau hari lebaran, inilah alasan pulang setiap tahun yang kami tunggu-tunggu. Hanya untuk mencium tangan papa – mama, dan memeluk adik kami yang paling kecil. Tak lupa pula oppung, tante, tulang*serta sanak keluarga lainnya. Rindu lebur suka cita. Juga serunya beramai – ramai ke pusat kota – menabuh takbir bersama. Masih meriah kan, woi?

Yah, begitulah caraku mengingatmu dan selalu ingin kembali padamu, Medan. Bagiku engkau adalah rumah, tempat aku pulang melepas rindu dan lelah. Kadang aku senyum sendiri, setiap bertemu orang Medan di Jakarta ini.

“Alahmakjang*, sudah jauh – jauh ke tanah Jawa, jumpa kita – kita jugak ya.” Logat khas, susah ditiru oleh orang yang memang belum pernah tinggal di Medan.

Ada marga melekat di belakang nama, yang ditanya bila tiap kali orang Medan bertegur sapa, mengakrabkan seketika. Meski kata papaku, sebaiknya marga tak usah dipajang – kalau belum sukses jadi orang.

Kalau pulang ke Medan pasti beratku bertambah, semua makanan rasanya enak, apalagi sambal buatan mamak. beselemak muncungku!* . Bah, macam mana ini ?* jadi makin rindu.

Tetaplah jadi kota yang ramah ya. Agar nanti ketika aku pulang dan pergi lagi, semakin banyak kenangan indah yang bisa kubagi – atas namamu, Medan.


Anak Medan,
Ika

Catatan* : oppung = kakek/nenek| Tulang = paman| Alahmakjang = wow, wah| beselemak muncungku = belepotan mulut saya, makan saking enaknya| bah, macam mana ini = aduh, bagaimana ini.


Oleh: @ikavuje


Diambil dari: http://eqoxa.wordpress.com

I ♥ BPN!

“Dimana kaki berpijak, disitu langit dijunjung.”

Daerah Gunung Sari diambil dari GEREJA GEKARI FILADELFIA


Kepada kota yang dikelilingi kaki-kaki pantai berombak rindu. Kota yang klasik. Hangat senyum masyarakat, selimut di kala senja. Yang masih hidup dengan tawa anak-anak kecil bermain di pelatarannya.

Kau harus tau mengapa aku menuliskan surat ini untukmu.

Aku termasuk anak yang entah harus dimana menyebutkan keberadaan kampung halamanku. Lahir di Jakarta, pernah menghabiskan masa kecil di kota kembang Bandung. Dan orang tua? Ayahku Manado, Ibuku Ambon.

Sejak kelas 4 Sekolah Dasar hingga lulus Sekolah Menengah Atas, aku hidup di atas tanahmu, Borneo.

Entah aku akan berkelana sampai kapanpun nanti, sejauh mana aku akan pergi, engkaulah kampung halaman. Kota yang aku merasa, iya, ini rumah saya.

Rumah tempat membangun hidup, yang hidup didalamnya dengan banyak orang yang kita sebut keluarga. Menangis, tertawa, jatuh, bangun, berlari kemudian terbang tinggi.

Di atas tanahmu, aku mulai belajar dewasa. Di atas tanahmu aku bertemu mereka yang bisa menangis bersamaku melebihi keluarga dekat. Di atas tanahmu aku pernah jatuh, kemudian berdarah. Lalu ada hujan dari langitmu yang menghapusnya.

Ada kenangan. Banyak. Air mata. Yang mengajarkan aku, ini sudah waktunya dewasa. Harus punya sayap lalu terbang mengejar mimpi.

Sampai akhirnya di hari aku harus pergi, angin dari pantaimu mengusap pipiku seakan berkata, “aku tau, pasti kau akan kembali lagi, suatu hari nanti”

Dan beberapa bulan lalu aku memang kembali. Dan kau masih sama. Hangat. Kau masih seperti dulu, cantik dengan banyak bunga di sisi jalanmu. Gempita anak muda masih memahkotaimu di malam hari. Pelabuhanmu, masih berpeluk rindu.

Terimakasih untuk tanah yang mengajarkanku tentang banyak hal. Satu hal yang pasti, aku akan selalu kembali. Berjalan di sudut kotamu sambil pelan-pelan kau akan mengingatkan aku tentang kenangan-kenangan yang ada di situ.

Sampai berjumpa lagi saat aku kembali lagi. Sampai kapanpun, jika mereka yang di luar sana belum pernah menyinggahimu, dengan bangga aku akan menceritakan dirimu. Menceritakan aku pernah ada di dalamnya.

Pantai di belakang Wisma Bhayangkara ( Depan R.S Pertamina )



Oleh:

Diambil dari: http://heykila.tumblr.com

Untukmu, Jogjaku..

Sepertinya aku tak harus menanyakan kabarmu terlebih dahulu sebagai pembuka surat cinta ini. Karena jawabannya sudah pasti “istimewa”. Persis seperti yg tersemat pada namamu.
Dan jelas aku tau pasti kabarmu karena kebetulan aku pun sedang mendiami tanahmu. Bukan di Bintaro lagi.

Ya, memang sejak 3 tahun lalu aku merantau meninggalkanmu demi menuntut ilmu di salah satu sekolah kedinasan di Bintaro. Tapi kamu perlu tau, meninggalkanmu bukan berarti aku berhenti mencintaimu. Justru malah semakin berlipat ganda, hingga tak terkalkulasi lagi.

Kamu tak tau kan bagaimana perasaanku selama masa ‘pengasingan’ itu? Ada sesuatu yg aku bingung bagaimana harus mendeskripsikannya dengan kata. Tapi orang-orang sering menyebutnya dengan nama rindu.
Aku tak pernah bisa menyembunyikan rona bahagia setiap kali ada waktu liburan yg cukup untuk pulang ke tanahmu.

Norak? Persetan. Bagaimana bisa aku tak senorak itu. Di sini mataku belajar menangis. Di sini mulutku mengenal cara tertawa dan menertawakan hidup. Di sini kakiku pertama kali berdiri hingga mampu berlari. Di sini juga tanganku dididik agar tau kapan harus merangkul dan kapan harus mengepal.

Oh ya, satu lagi. Aku mengenal berbagai macam perasaan juga di sini, salah satunya cinta. Sejak aku lahir, tumbuh, kemudian belajar menjadi dewasa, hingga akhirnya cita-cita mengharuskanku mencoba mengeja kata ‘selamat tinggal’ padamu.

Sekarang, akhirnya masa kuliahku selesai. Aku jadi punya banyak waktu luang untuk meresapi keistimewaanmu lagi sembari menunggu pengumuman penempatan kerja dari Kementerian yg nantinya akan ‘mengusirku’ ke antah berantah.
Pasti banyak orang yg iri padaku, ketika aku bisa menemui senja dari atas Taman Sari lagi. Bisa jalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro lagi. Bisa melihat sepeda, andong, becak, dan kendaraan-kendaraan bermesin berjalan dengan harmonis di satu jalan. Bisa mendengar tawa dan obrolan hangat lintas profesi dan kasta di angkringan-angkringan pinggir jalan. Emm„ dan bisa menemui mantan-mantan yg dulu telah berjasa mendewasakanku tentunya.
Cuma itu? Jelas bukan. Salah satu keistimewaanmu itu justru terletak pada keterbatasan kata yg susah payah mendeskripsikan keistimewaanmu.

Di mana lagi aku bisa menemui semua ini kalau bukan di tanahmu ini? Aku tak yakin akan ada jawaban ‘ya’ untuk pertanyaan yg satu ini.

Terakhir dan terpenting, tetaplah menjadi istimewa dan hangat kepada siapa pun. Banyak temanku dari kota lain yg tidak bisa tidak tertarik padamu. Bahkan cinta.
Dan, izinkan aku untuk terus membanggakanmu di mana pun aku akan ditempatkan nanti.
Salam ISTIMEWA, tanah para masdab!!!

Dariku..

Oleh:

Aii Misses You, Tangerangs

Hei.

Aku tadi bilang sama Eka Otto untuk memberiku kesempatan kalau aku terlambat mengirimkan surat ini. Sebenarnya, aku sudah duduk berjam-jam di depan komputer dan tetap tidak tahu bagaimana harus menulis surat ini. Aku cuma bisa menulis "Hei." di atas. Tapi surat ini harus selesai. Harus. Jam berapa pun, harus selesai.

Seharusnya tidak sulit menulis surat kepadamu. Kan ada banyak kenangan, banyak perasaan, dan banyak kesan yang tertinggal untuk aku simpan rapi dalam sebuah ruangan berlabel 'Tangerang' dalam hatiku. Tapi rasa-rasanya terlalu banyak. Semuanya berebut keluar tanpa memberiku kesempatan untuk memilih. Aku tenggelam. Hatiku sekarang penuh sesak dengan isi ruangan itu tanpa bisa dicegah. Dan sayangnya semua itu tidak keluar dalam bentuk kalimat. Semuanya itu malah keluar dalam bentuk butir-butir bening asin yang hangat.

Ah sudahlah. Memang seharusnya aku tidak memulai. Seharusnya tidak kubuka kunci ruangan itu. Sekarang bagaimana aku akan membereskannya lagi? Sungguh, tidak mudah harus memasukkan semua hal tentangmu ke ruangan kecil, memastikan tidak ada yang tertinggal di luar, lalu menguncinya rapat-rapat. Butuh waktu lamaaaa sekali, dan ternyata seringkali aku menemukan serpihan di luar yang menusuk hatiku. Atau kadang, ada saja yang melemparkan penggalan darimu kepadaku.


Aku masih ingin menikmati kalian. Menikmati macetnya perempatan Ciledug di pagi hari dan underpass-nya yang lengang. Menikmati kabut tipis pagi hari di BSD, beserta transformasi jalan raya yang sepinya menguap menjadi kemacetan. Menikmati malam-malam yang teduh dan hangat di GKI Serpong. Menikmati padatnya parkir Supermall Karawaci dan Summarecon Mall Serpong. Menikmati rumah Dimas, rumah Svy, rumah Ditha, rumah Fani, rumah Dini, rumah Tante Evi, rumah Tante Budi, rumah Vita, rumah..ku. Ya, menikmati rumah. A home. Seluruh bagianmu adalah rumah bagiku, rumah yang nyaman, aman dan selalu mendendangkan lagu yang mengajakku pulang.

Coba pikirkan, bagaimana mungkin aku tidak ingin pulang kepadamu. Kamu jadi saksi hidupku, sejak aku memasuki lingkar pendidikan formal wajib sampai aku lulus. Kamu jadi saksi aku tumbuh dari anak kecil menjadi gadis dewasa. Kamu jadi saksi semua pelajaran hidupku, jatuh, bangun, naik, turun, senang, sedih, jatuh cinta dan patah hati. Semua patah hatiku terjadi di depan matamu, oleh anak lelaki, oleh guru, oleh teman, oleh sahabat, dan oleh dirimu sendiri waktu aku terpaksa meninggalkanmu. Kamu tahu, meninggalkanmu rasanya seperti....seperti meninggalkan seluruh kehidupanku tapi harus hidup terus.

Kurasa aku memang kekanak-kanakan, tapi aku tidak berusaha melebih-lebihkan. Tidak setitik pun. Karena menulis tentangmu rasanya sulit...aku terlalu tenggelam dalam diriku sendiri daripada padamu.

Ah, sudahlah. Surat ini lebih kepada diriku sendiri daripada kepadamu. Sudah ya. Aku kangen. Itu saja yang penting.

Eh iya, kamu perlu tahu, aku belum bosan berbisik pada Tuhan untuk memberiku kesempatan tinggal di Tangerang lagi.
Kalian masih mau menerimaku kan kalau aku pulang nanti?

Sejuta cinta dari putrimu,
Id





metro yang bukan politan

Knock knock! Look who’s knocking at your door. Salam dari Bandung untuk kamu, kota Metro di Lampung. Meski kamu bukan Metropolitan seperti yang dibayangkan, tapi cukup banyak alasan yang membuat aku merindukanmu dan mengharuskan aku menengokmu yah minimal sekali dalam setahun. Di bawah ini beberapa alasannya:

Aku selalu merindukan saat-saat memandang bintang di langit melalui gelapnya malam dari atas kapal yang tangguh. Dan itu aku dapatkan ketika aku mengunjungimu. Aku selalu suka menghampirimu lewat laut. Meski waktu yang kubutuhkan lebih lama, tapi aku menikmatinya. Sangat. Yah anggap saja latihan jika suatu hari nanti aku berpelesir dengan si kapal pesiar, dengan atau tanpa jodohku kelak.

Aku tergila-gila dengan Empek-empek! Atau Tekwan, atau apapun itu namanya yang bercuka dan pedas. Dan juga DURIAN! Ya, Aku suka! Dan dengan mengunjungimu, aku bisa menemukan mereka di setiap sudut kota. Murah, nikmat, dan itu artinya surga dunia! Hanya di tempatmu ini aku bisa menjadikan mereka sarapanku, makan siangku, sekaligus cemilan penutup malam.

Berharap menemukan kemacetan? Tidak akan! Apa karena kamu kota kecil, sehingga macet merupakan barang langka? Bayangkan, waktu yang kuperlukan untuk menjelajahimu setara dengan jarak antara tempat tinggalku dengan pasar terdekat di Bandung. Dan kamu tahu? Walau kadang harus menikmatinya, tapi aku sangat benci macet! Jalanan di sini lengang, lebar, tanpa polusi. Bukan, bukan jarang ada kendaraan, tapi memang orang lebih suka memakai kendaraan roda dua di sini. Dan meski banyak bangunan yang sederhana, tidak megah, tapi cukup terawatt dengan rapi. Minus sampah atau coretan-coretan yang tidak jelas.

Mungkin bukan tepat di kotamu, tapi dengan mengunjungi kamu aku dapat keuntungan dengan suguhan pantai di sepanjang jalan. Aku ingat, di masa kecilku hampir sebulan sekali aku dan keluarga meninggalkanmu dan menuju pantai-pantai yang bertebaran. Dari pagi smapai sore, sampai kami pulang ke pangkuanmu lagi menjelang malam. Kamu tahu, rencananya dalam waktu dekat aku akan kembali mengunjungimu, dan aku akan beri tahu satu rahasia. Aku akan meninggalkanmu sebentar untuk mengunjungi TELUK KILUAN dan menyapa lumba-lumba. Tolong, jangan iri.

Ya, jangan iri. Meski lebih dari setengah hidupku kuhbaiskan di kota Kembang, aku akan kembali ke pelukanmu. Karena kamu adalah pilihan keluarga aku untuk menghabiskan waktu. Meski mereka memaksa aku untuk mendiami dirimu juga, tapi aku belum bisa. Bukan, bukan karena aku tidak suka. Yah meskipun aku alergi dengan udara panasmu, tapi bukan itu. Aku masih harus menuntaskan studiku, dan tentu saja setelah ini selesai asemua terserah pada jodohku kelak. Tapi meskipun begitu, aku masih tetap akan mengunjungimu. Terima kasih sudah menjaga keluargaku.


Salam rindu dari Bandung

Oleh:

Kota Penuh Peluh

Sore, kota penuh peluh. Surat cinta kali ini bertema, untuk kota. Mungkin kebanyakan orang akan menulis tentang kota-kota terkenal, kota-kota yang indah, kota-kota yang mereka ingin kunjungi, tapi entah mengapa kota pertama yang muncul di pikiranku adalah kamu, Jakarta.

Tidak banyak lagi keindahan yang bersisa di sudut-sudutmu, bahkan hampir semua orang mengakui bahwa kamu lebih banyak menunjukkan kekacauan dari pada keindahan. Tapi ada sesuatu yang membuatku selalu rindu, membuatku jatuh cinta.

Ada sesuatu yang berbeda, tentang senja yang aku lihat ketika berjalan menuju terminal TransJakarta, tentang semburat sinar yang hampir menghilang yang aku lihat dari balik jendela rumah nenekku ketika di bawahnya hanya terlihat pemandangan kacau orang-orang berjualan atau saling memaki, tentang suatu malam yang panas dan pengap namun membahagiakan saat menghadiri salah satu festival di sudut kotamu.

Aku sudah pernah pergi ke berbagai sudut dunia, bukan sombong atau menghina, namun kamu memang kota yang sudah rusak, penuh dengan kekumuhan, ramai namun sarat kekacauan, nyaris tidak aman, dan sudah kehilangan masa jayanya. Aku pun pernah melihat banyak kota yang jauh lebih cantik, lebih tertata, lebih tenang, lebih aman. Tapi kamu akan tetap menjadi kota yang akan selalu aku rindukan, kota penuh kekacauan, namun memberikan rasa damai, bahkan ketika keindahan kota lain terhampar di depanku.

Aku hanya berharap kamu akan menjadi lebih baik, agar suatu saat nanti peluhmu terusap oleh segar pepohonan yang orang-orang akan tanam untuk menyegarkanmu. Tapi meski begitu, meski perubahan itu belum hadir, ingatlah, aku sudah lama jatuh hati, dan selamanya akan selalu jatuh hati.

Kepada kamu, Jakarta. Kota tempat aku akan selalu berpulang.

Aku Pasti Kembali

A city is a place where there is no need to wait for next week to get the answer to a question, to taste the food of any country, to find new voices to listen to and familiar ones to listen to again.
~ Margaret Mead

Teruntuk kota yang kutitipi separuh cintaku.

Waktuku bersamamu selalu singkat. Tapi kamu selalu membuatku terjatuh dan terjatuh lagi. Terus dan berulang. Tanpa henti.

Tiga kali aku mengunjungimu, ratusan kali aku jatuh cinta.

Saat aku bertelanjang kaki berjalan di pasir lembut pantaimu. Saat aku menyelami lautmu yang biru, menyaksikan dengan mataku sendiri Manta Rays yang seakan tengah terbang di air dan menyentuh coral yang berwarna-warni.

Dan saat aku merasakan sendiri senja di kotamu. Aku merasa begitu hangat.

Mengingatmu saja didalam perutku banyak kupu-kupu yang beterbangan dan menggelitikku. Ah, aku teramat rindu padamu. Aku ingin sekali bertemu lagi denganmu. Secepatnya!

Kamu tahu mengapa hanya separuh cinta saja yang aku tinggalkan disana? Agar aku selalu punya alasan untuk kembali. Suatu saat nanti aku akan datang lagi kesana, memberikan sisa cintaku dan tetap tinggal disana selamanya.

We all become great explorers during our first few days in a new city, or a new love affair.
~ Mignon McLaughlin

Bali, aku pasti kembali. Aku ingin jatuh cinta lagi.


Oleh:

Diambil dari: http://flanelmerah.tumblr.com

Paris - La Ville Que J’aime De Loin

Meaning : Paris - The City I Love From Afar

Bonjour, Paris - ou bonsoir, I don’t know.

Paris, aku cinta kamu - banget. Aku belajar bahasa prancis karena aku keterlaluan cintanya sama kamu. Sayang aku belum pernah bertemu kamu. Belum pernah nikmatin semua cantik dan jeleknya kamu.

Paris, kalau nanti aku bertemu kamu, kita jalan jalan yuk. Berdua aja, aku sama kamu. Kita ke Pont Des Arts. Itu, tempat paling romantis di tempat kamu. Dan itu jembatan. Iya, jembatan, keren ya, jembatan bisa cantiknya sebegitu.

Masih nanya kenapa aku nggak jatuh cinta sama kamu, Paris?

Abis dari Pont Des Arts kita ke Jardins du Trocadéro. Liat Eiffel nyala terang waktu twilight, terus kita lari sampe di bawah Eiffel, persis. I’ve dreamt about us kissing in the top of Eiffel Tower, but underneath? Better.

Sebelum malam habis, kita naik perahu ke bawah Pont-Marie ya. Pont-Marie itu ssering disebut Bridge Of Love kan? People said, if you kiss under Pont-Marie and wish for eternal love, your wish will be granted. Paris, kalo kita kesana nanti, may I borrow a kiss? siapa tahu kita jodoh :)

I swear I’ll kiss you here, Paris.

Besok paginya, kita jalan ke Jardin des Tuileries yuk. Abis itu ke Musee du Louve, ngeliatin Monalisa, dan masterpieces lainnya. Kita jalan kaki aja. Sampe patah juga nggak kerasa kali ya, soalnya yang dilihat cantik semua. Abis dari Louvre kita ke L’avenue des Champs-Élysées. Belanja!! Kamu mau beliin aku apa, Paris?

Jangan lupa ke Place de La Concorde, sama ke Notre-dame. Aku tahu tempat di taman belakang Notre-dame yang cantik banget. Nanti petang, kita ke L’arc de Triomphe de L’etoile, liat petang dari atas sana.

Aku sudah punya jadwal kalau kita bertemu nanti, Paris. Tapi, aku nggak tahu kapan kita bertemu, tapi kamu mau nunggu kan, Paris? I’ll be there soon, Paris.


Oleh:

Diambil dari: http://hunnamiraaah.tumblr.com

Surat kepada Tanah Rantau

Dear Solo, kota budaya tempatku bernaung selama hampir 3 tahun ini.
Apa saya sudah bilang kalau saya cinta kamu?
Sumpah, saat ini saya kangen Solo dan pengen buru- buru kembali kesana. Pegang janji saya ya, 2 minggu lagi saya akan kembali kesana.
Luar biasa sekali saat saya bisa tinggal, beradaptasi dan mulai berpikir dewasa disini.

Oh ya, sambil mulai menghitung dengan jari-jari tangan saya ternyata gak kerasa ya kurang lebih seribu hari-an aja gitu . Pertama menginjakkan kaki di bulan Agustus 2009, dan sejak saat itu bermetamorfosa menjadi seorang mahasiswi sejak tanggal 24 Agustus 2009, that was the sweetest moment ;) Mulai dari masih pake rok putih seragam SMA saya ke kampus di hari pertama ospek, sampe akhirnya bisa bener- bener bebas dari label anak SMA itu.

Tiga tahun ini saya belajar banyak loh. Belajar hidup mandiri tepatnya, yang dulunya makanan 3x sehari aja disediain mama, sekarang mesti usaha dulu ya keliling nyari makanan, kadang waktu yang mepet juga bikin makan gak teratur. Awalnya saya benci banget harus stay lama- lama di Solo, pengen rasanya tiap weekend tiba tuh buru- buru ambil kereta dan pulang ke Jakarta abis itu balik lagi hari senin nya. Tapi itu gak mungkin, bisa rontok badan saya kalau bolak balik Solo- Jakarta selama 12 jam.

Bersamaan dengan surat ini, saya mau mengikat perjanjian denganmu wahai Solo. Saya mau mencoba membuat komitmen. Hmmm, baiklah jadi begini, terkait dengan masa studi saya yang saya targetkan hanya 4 tahun ini, maka tahun 2013 kita harus berpisah. Berat sih mungkin nantinya, tapi saya memang harus pergi dari kamu, Solo. Ingatkan saya ya tentang perjanjian ini, pastikan saya tak melanggarnya.

Selama 3 tahun berkelana di jalan-jalanmu, saya pernah mencium perihnya aspalmu, sampai seminggu lebih ga bisa jalan dan motor saya lecet lumayan parah. Pernah juga menggigil kedinginan akibat hawa malammu yang kadangkala dingin menusuk tulang, namun pernah juga bercucuran keringat ketika bangun di pagi hari saking panasnya. Pernah juga berkali- kali merasakan sakitnya demam, gejala tipus, dan penyakit- penyakit rese lainnya serta berjuang sembuh sendiri tanpa keluarga. Tapi, untungnya saya punya temen-temen yang luar biasa, yang selalu bersedia menemani, menghibur, membantu saya waktu itu.

Saya rasa gak salah waktu mama mengarahkan jarinya, memilihkan saya universitas di Solo. Rencana Tuhan memang indah dan tak terduga ya. Solo jauh lebih santai dan tenang dibanding Jakarta, dan anti macet pastinya. Dan saya jadi tahu bahwa saya datang ke Solo untuk menemukan sebuah kota yang damai dan tenang, jauh dari ingar bingarnya ibukota yang selama 17 tahun ini saya diami. Meskipun pada awalnya saya harus repot banget mulai belajar bahasa Jawa dari nol, tapi...Terima kasih ya Solo untuk kenangan- kenangan manisnya, untuk kisah inspiratifnya, untuk senyuman ramah orang- orangnya, untuk teman- teman yang menjadi keluarga kedua saya, untuk pelajaran hidup, untuk batik indahnya yang tenar sekali dan untuk nasi liwetnya yang saya suka.

Solo, saya kangen deh menikmati senja di langitmu, saya rindu sapaan angin malammu di wajahku, saya ingin (lagi) menikmati dinginnya pagi hari, saya rindu saat-saat sibuknya mengatur tugas disimak oleh teriknya panas mataharimu.

Dua minggu lagi kita ketemu ya.
Jangan telat, jangan hujan please.


Penghuni mu sementara waktu, penggemar mu, penduduk maya mu yang tak terekam dalam sensus,
HS


Oleh:

Bogor-Sebuah Kota dalam Ratusan Kata

Bandung, 24 Januari 2012

Dear Bogor,

yang tiada pernah terbuang kenanganku tentangmu


Selamat pagi..

Belum genap 24 jam meninggalkan kamu, tapi rasanya sudah gak sabar ingin menujumu lagi, Bogor. Sepagian kemarin saya masih bergelung dalam selimut bunga-bunga di kamar saya. Sebetulnya sekarang saya juga sedang bergelung dalam selimut, tetapi bukan lagi di bagian utara peta tubuhmu.

Bagaimana kabarmu hari ini? Masih berangin besarkah seperti kemarin? Atau gerimis sudah datang duluan seperti biasa? :)

Selalu ada dalam ingatan saya saat-saat sekolah beberapa tahun lalu. Yang paling diingat tentu saja sekitaran Jalan Djuanda, Jalan Dadali, Jalan Polisi, Jalan Pajajaran, Jalan Merdeka, Jalan Salak, Jalan Pakuan, Jalan.. ah, ternyata terlalu banyak untuk saya sebutkan satu per satu. Begitupun kenangannya, jika ada kata yang bisa deskripsikan sesuatu yang melebihi kata ‘terlalu banyak’, saya rasa itulah kata yang cocok.

Saya paling mencintai kamu saat pagi hari. Warna merah kekuningan, kadang masih biru-hijau zamrud menggantung di langit. Membingkai jendela dekat kamar mandi. Penuh senyum saya ucapkan syukur. Kamu cantik sekali.

Saya paling mencintai kamu saat siang hari. Walaupun kadang pengapnya panas terbitkan peluh di dahi, tetapi penat bakal terusir oleh lantun nyanyian adik pengamen dekat Tugu Kujang dan pepohonan di kiri-kanan jalan. Kamu cantik sekali.

Saya paling mencintai kamu saat sore hari. Antara pukul tiga sampai lima sore saat matahari sudah seperempat menggantung. Apalagi ditambah hujan rintik kecil. Juga kapas putih yang kadang beterbangan dari pohon-pohon sekitaran Kebun Raya, seperti salju. Kamu cantik sekali.

Saya paling mencintai kamu saat malam hari. Saat warung-warung tenda penuh disesaki muda-mudi bercengkrama. Saat tukang sekoteng rasa surga keliling komplek rumah saya. Saat ahirnya sepi jemput selimut bunga-bunga dan bantal empuk, lalu antarkan sejuta mimpi. Kamu cantik sekali.

Kamu, meski gak seramai ibukota, gak secanggih Seoul, Kuala Lumpur ataupun Singapur, akan selalu miliki porsi terbesar dan terpenting dalam hidup saya. Mungkin juga dalam hidup teman-teman masa kecil saya. Dalam hidup orangtua saya. Dan dalam semua hati yang ikut jatuh cinta padamu, Bogor..

Tetaplah secantik kamu yang saya hapal betul, yang bikin saya selalu rindu ingin pulang. Karena pulang, hanya berarti padamu.. :D


Dari saya,

sebuah jiwa yang selalu terperangkap di dalammu,walau kemana tempat lain sudah pernah pergi


Oleh:

Diambil dari: http://abcdefghindrijklmn.tumblr.com

Kota yang Selalu Memanggil Untuk Kembali

Semua bermula dari hidup nomaden gara-gara Bapak hobi dipindah tempat dinas. Lahir di Bandung, TK di Jayapura, SD di Jayapura, Timika, Semarang, Mataram, SMP di Mataram, Pekalongan, SMA di Pekalongan dan kuliah di Solo. Dari sekian banyak kota yg sudah kusapa dan kusambangi, ada satu kota yang selalu memanggilku untuk kembali, itu kamu, Mataram :)

Ngga lama banget hidup dalam balutanmu, sekitar 3,5 tahun. Tapi, membekas sekali dihati. Lwtakmu yg ada di Pulau Lombok, menyuguhkan banyak hal baru, yg belum pernah kulihat sebelumnya. Kulinernya seperti plecing kangkung, sate bulayak, ayam taliwang dan favorit, telur bunting! Ngga bunting sih telurnya, cuma telur gulungnya tu gendut di tengah, kaya bunting gitu. Lucu pokoknya. Terus alamnya, walaupun ngga di kota Mataramnya, tapi kan deket Mataram, domisili juga di Mataram. Bisa lah ya? Pantainya tu loh, Senggigi, Malimbu, Kuta (Mandalika Resort sekarang), Pusuk, Gili-gili yang ada, Rinjani, dll. Keren lah pokoknya waktu hidup di Mataram. Dulu, hampir tiap weekend kerjaannya ke pantai. Nginep di hotel yang ada di tepi pantai. Hampir tiap weekend, jadi berasa tajir banget waktu itu.

Kamu ngga cuma tentang kuliner sama pariwisata aja yang membekas. Yap, temen pasti sangat membekas dihati. Dulu SD tempat saya sekolah namanya SDN 08 Pagutan, diganti jadi SDN 44 Ampenan. Disini, saya mengenal Wulan, Ristha, Jaka, Chicha, Mira, semuanya deh. Pegel kalo diketik one by one. Pertama sampe di Mataram, biasalah ada culture shock. Tapi namanya anak-anak, cepet lah ngatasinnya. Langsung berbaur. Yang bikin lumayan bingung tu, di Mataram kebanyakan pake 'saya', padahal saya kan kalo ngomong sehari-hari pake 'aku'.

Beranjak SMP, kamu menyuguhkan dunia yang lebih luas buat saya. Kamu menghadirkan teman-teman baru. Winda, Dodi, Raqib, dan sebangsanya. Ohiya, Rangga juga. Thanks loh buat Rangganya. Berhubung sekolahan jauh dari rumah, kamu menyediakan kendaraan khas yang mengantarkan saya kembali ke rumah, cidomo. Seru banget naik cidomo. Sport jantung!

Ninggalin kamu itu beraaaaaaattt banget rasanya. Ngga tau kenapa. Kamu terlalu indah buat ditinggalkan, Mataram. Makasih ya buat pengalaman 3,5 tahunnya. Ngga bakal dilupain kok. Kamu itu ngangenin. Untung kemarin masih bisa balik lagi ya kekamu. Setelah tujuh tahun, banyak yang berubah. Untung penghunimu, temen-temenku, masih ramah-ramah, seramah kamu. Karena kamu, saya rela kembali menempuh perjalanan jauh dan kocek yang dalam. Makasih buat semuanya. Makasih. See you soon :)

Mereka yang berbaik hati menyambut saya:

Sincerely,
yang-selalu-merindukanmu

Oleh:

Yogyakarta

Senin, 4 Juli 2011, waktu kaki-kaki ini menyusuri pagi yang dingin di Stasiun Tugu. Hari itu bukan kali pertama aku menatap hangat keramahan yang kamu pancarkan bahkan saat matahari belum bersinar. Tapi sebuah perasaan yang tidak terdefinisi ini perlahan menyusup ke dalam jiwaku. Sambil menatap langit aku berdoa semoga Ia meridhoi kebersamaan kita. Karena mulai hari itu aku menjadi bagian darimu, paling tidak untuk empat tahun selanjutnya dalam hidupku.

Kamu, nampaknya berhasil membuatku jatuh cinta dengan segala daya magis yang mungkin bahkan tidak kamu sadari. Kamu, dengan gagah beraninya tumbuh menantang kemajuan zaman seraya berpegang teguh pada budaya dan jati diri. Satu kakimu berlari menyusuri semesta sementara kaki lainnya tertancap lekat di tempat.

Lantas dengan segala indah dan keterbatasanmu, kamu membuat aku merasa seperti budak cinta yang telah menemukan belahan jiwanya. Membuat aku merasa dilahirkan untukmu, ditakdirkan denganmu. Denganmu aku tak sanggup memikirkan masa lalu. Aku hanya ingin memuja masa yang kita bagi saat ini dan kenangan indah yang akan tetap hidup berpuluh tahun dari hari ini.

Untuk kamu, terima kasih telah dengan mesranya membuka pintu untukku. Terima kasih telah mengizinkan aku menyayangimu dan merasa nyaman denganmu. Terima kasih telah membagi suka dan duka di setiap sudut kota dan pada tiap wajah yang aku temui.

Surat ini untukmu, yang menempati daerah istimewa di hatiku.