26 January 2012

surat cinta tentang surat cinta

Dear Mama,

“Mama, saya ingin punya celana panjang dan Majalah Bobo. Kalau tidak bisa beli yang baru, yang bekas juga saya terima.”
Kamu ingat surat berisi permintaan bodoh yang saya letakkan di bantalmu itu? Saya berpikir selama berhari-hari sebelum berani menuliskannya. Kamu membalasnya dengan permohonan maaf, cuma mampu membeli Majalah Bobo. Uang kamu tidak cukup membeli celana panjang. Kamu tahu, waktu itu, saya ingin sekali punya celana panjang seperti teman-teman saya. Seorang anak kelas tiga Sekolah Dasar yang belum punya sehelai pun celana panjang adalah lelucon bagi teman-temannya. Tetapi saya menyesal telah mengirim surat itu. Hari itu, saya tahu bahwa ada keinginan harus saya relakan mendekam di dada saja—atau keinginan itu melukai orang lain lalu berbalik melukai saya lebih dalam.
Saya selalu mengenang masa-masa ketika kita seperti orang asing satu sama lain. Kamar kita cuma dipisahkan dinding tipis, tetapi saya harus mengirim surat ketika hendak mengatakan sesuatu. Ketika kamu berangkat ke pasar membawa jualan-jualan kamu yang tidak seberapa itu, saya akan diam-diam meletakkan surat saya di bantal kamu. Besok harinya, kamu akan meletakkan surat balasan di tempat tidur saya. Tulisan kamu selalu lebih rapi. Saya heran, kenapa kamu mau ikut hidup dalam permainan saya itu tanpa pernah mengeluh. Kamu tahu, alangkah pemalu anakmu.
Masa kecil aneh itu hadiah bagi saya. Saya pikir, kebiasaan menulis surat kepada Mama dan siapapun yang tidak mampu saya tatap matanya ketika bicara telah melatih saya menulis. Kemampuan saya menulis hari ini buah dari surat-surat di masa kecil saya. Kamu pasti ingat bagaimana anakmu ini lebih memilih beli perangko daripada beli gula-gula. Kamu juga pasti ingat, saya rela jadi penjual kantong plastik di pasar dekat penjual ikan dan penjual kacang goreng di sekolah agar bisa punya uang untuk membalas surat-surat sahabat pena saya.
Kamu tahu kebiasaan saya menulis surat tidak sembuh ketika menginjak masa remaja. Kamu pasti ingat saat saya pertama kali punya pacar— adik kelas saya yang ternyata anak teman sekolahmu. Saya dan dia bertukar surat setiap pagi, kecuali hari libur dan Minggu, di depan perpustakaan sebelum kami digiring bel sekolah ke kelas masing-masing. Kamu tertawa ketika membaca kisah itu ada di novel saya. Saya menyatakan cinta kepadanya juga lewat surat, Mama. Saya menulis surat di salah satu halaman buku catatannya. Hahaha. Sekarang dia sudah punya dua orang anak. Terakhir saya bertemu dia di toko buku. Dia memberi saya satu buku tebal, biografi seorang terkenal dan kaya yang meninggal karena penyakit yang dia rahasiakan selama hidupnya.
Waktu kuliah saya juga punya kebiasaan berkirim surat dengan Kukila, mantan pacar saya yang paling dekat denganmu itu. Saya membeli buku tebal bersampul biru—kami sama menyukai warna itu. Di halaman pertama, saya menulis surat cinta kepadanya. Besok harinya, saya meminta dia membalasnya di halaman berikutnya. Keesokan harinya lagi, saya membalas surat di halaman setelah suratnya. Begitu seterusnya, hingga buku tebal itu penuh surat, hingga kami memutuskan mengakhiri hubungan karena dia pindah ke Jakarta dan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya. Hahaha. Dia juga sudah punya dua anak. Dia masih sering mengirim surat lewatFacebook dan tidak pernah lupa menanyakan kabarmu.
Mengirim surat kepadamu dan kepada pacar, bukan hal aneh lagi bagimu. Tetapi, kamu pernah menyebut saya gila ketika pertama menerima surat yang saya kirim kepada diri sendiri. Saya berada di Jakarta waktu itu. Saya mengirim catatan perjalanan saya ke rumah kita di Balikpapan. Tetapi lama-lama kamu paham, anakmu memang gila, setiap berkunjung ke kota mana pun selalu mengirimkan catatan perjalanannya dalam bentuk surat ke rumah. Saya jarang pulang ke rumah, dan surat-surat saya sendiri adalah kejutan bagi saya setiap saya pulang ke Balikpapan.
Saya juga punya setumpuk surat-surat yang tidak pernah saya kirim kepada orang yang seharusnya membaca surat-surat itu. Ya, sejak kecil saya sering menulis surat kepada Ayah. Surat pertama saya kepada Ayah tentang celana panjang. Sebelum dia berangkat dia berjanji ingin membawa pulang ole-ole celana panjang untuk saya. Dia tidak mungkin lagi menepati janjinya itu. Saya tidak pernah mendengar dan membaca ada penjual celana panjang di alam kubur sana. Hahaha. Jika pun ada, dia pasti tidak tahu harus membeli celana panjang nomor berapa untuk saya. Dia pasti cuma mampu membayangkan setinggi dan sebesar apa anaknya setelah kepergiannya dari rumah lebih dari 20 tahun lalu itu.
Soal celana panjang itu, saya pernah mengirim surat kepada Nenek. Saya ingat, dia membuat saya menangis karena membeli celana panjang untuk saya. Waktu itu menjelang lebaran. Saya masuk kamar dan memeluk celana panjang itu sambil membayangkan memeluk Ayah. Saya lalu menulis surat buat Nenek untuk berterima kasih. Saya lupa, Nenek cuma bisa membaca aksara Arab dan Bugis. Saya harus membacakan surat itu sendiri. Itu surat pertama yang saya baca di depan orang yang saya kirimi surat.
Mama, bersama beberapa sahabat di internet yang sebagian besar belum pernah saya lihat secara langsung wajahnya, saya membuat satu proyek sederhana bernama ’30 Hari Menulis Surat Cinta’. Setiap hari ada ratusan orang menulis surat cinta. Setiap hari saya membaca surat cinta mereka. Itulah kenapa saya menulis surat berisi cerita tentang surat-surat ini. Setiap saya membaca surat cinta, saya tidak bisa tidak mengingat kamu. Bagi saya, Mama adalah surat cinta yang tidak berhenti dikirimkan kepada saya. Saya berharap saya bisa jadi surat cinta balasan bagi Mama, meskipun saya tahu tidak pernah mampu setimpal.
Terima kasih, Mama. Saya mencintai kamu.
Aan
P.S. Bagaimana kacamata barumu? Saya ingin sekali melihatnya kamu mengenakannya. Ciye, Mama punya kacamata baru! Hahaha.


1 comment: