10 February 2012

Cinta Kadaluarsa Part 3 : Simfoni Lirih

Kepadamu kisah kasih lirih

Jejak-jejak kakiku berserak di pantai. Sepasang kaki, Aku hanya sendiri. Menatap sunyi ombak yang menepi. Angin hilir mudik menemani hati yang terusik. 2 tahun masih belum cukup untuk membuka hati yang tertutup.

Kamu telah pergi meninggalkan segala hal termasuk aku, kecuali satu : hati. Aku makhluk egois yang tidak ingin mengembalikan hatimu, anggap saja kita remis. Namun, aku tidak peduli, karena satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan menyimpan hati. Hatimu, hatiku, hati kita satu namun usang penuh debu.

Saat ini aku kembali mengecap rasa itu saat kita duduk berdua disini, kamu menyandarkan kepalamu di bahuku, aku memelukmu yang mengigil beku. Merasakan getir nafasmu, menahan sakitmu. Aku hanya bisa membisu, pelukku memang bukan antibiotik bagi penyakitmu, tapi itu cukup untuk menenangkanmu.

Dua jam sebelum itu, kita masih berdebat di kamar tempatmu dirawat. Aku tidak setuju untuk memenuhi keinginanmu pergi ke dermaga tempat biasa kita melepas rindu. Keras kepalamu tak mampu ku bendung, kamu ingin ke dermaga entah dengan atau tanpa aku.

Akhirnya tibalah kita disini. “Aku hanya ingin menikmati senja”, bisikmu kepadaku. Aku masih memelukmu, menjaga agar angin tidak menusuk kulitmu. ”Senja. Pantai. Kita. Sempurna bukan? Aku ingin menikmati setiap senja denganmu, karena senja itu adalah siang dan malam yang bergabung. Dan jika kita menikmati senja hingga usia senja, bumi hanyalah roda bagi kita berdua yang menggerakkan kaki kita untuk berburu senja dipenjuru dunia”, lanjutmu lirih. Kamu memang ahli beranalogi, meluarkan kata-kata metafora yang aku tak tahu artinya.

Senja telah lewat, malam sekilau kawat. Aku masih memelukmu erat yang tertidur di bahu. Nafasmu mulai ringan. Tenang. Mataku memejam, menahan air mata yang ingin berontak namun gagal karena hatiku yang bergejolak. Aku menggendong tubuhmu yang kini terbaring di pemakaman.

Disini, masih terekam jelas, nafas terakhirmu yang kamu buang dalam pelukanku. Ketidakadilan itu nyata, kamu ingin menikmati senja bersama hingga tua, namun ternyata jingga tidak pernah tiba di singgasana. Otakku bagai kotak pandora, menyimpan kenangan-kenangan kita dan kemudian memutarnya dengan seketika.

Disini, aku mencoba untuk merasakan kehadiranmu untuk sekedar memaknai kamu ada meski kita berbeda dimensi jiwa. Menyebut namamu seperti mantra, sepenuh jiwa aku memanggilmu untuk menyatakan bahwa hati ini masih milikmu. Kamu tak pernah tiba, meski malam membahana.

Angin yang memelukku lembut ini pasti kamu. Selamat dua tahun cinta, jutaan senja menunggu untuk kita lewati bersama. Tadi pagi aku meletakkan bunga lily di peraduanmu, bunga kesukaanmu.

“aku memujimu hingga jauh, terdengar syahdu ke angkasa

rintihan hatiku memanggilmu, dapatkah kau dengar nyawa hidupku?”

~JD~



No comments:

Post a Comment