31 January 2012

Ingat Setahun Yang Lalu?


Kemeja kotak-kotak, celana jeans belel dan tatanan rambut semi mohawk yang gagal. Yep, dengan dandanan mirip pengamen itu, aku berangkat dari tempatku dengan menggunakan taksi yang pengap oleh bau ketek supirnya, untuk menuju sebuah pusat keramaian di Selatan Jakarta, untuk menemuimu yang mungkin sudah menunggu.

Entah konspirasi apa yang terjadi hingga akhirnya taksi yang aku tumpangi terjebak macet di jalan kecil yang ramai oleh mobil pribadi itu. Merasa panik dengan kenyataan bahwa waktu tinggal beberapa menit lagi dan jarak yang ditempuh masih lumayan jauh, aku berpindah haluan ke Bus Transjakarta yang jalurnya masih lumayan steril dari kendaraan lain.

Setelah lari-larian naik tangga penyebrangan, aku akhirnya bisa berdiri sempit-sempitan dengan puluhan orang bau ketek lainnya di dalam sebuah Bus Transjakarta berwarna abu-abu itu. Alhamdulillah, nggak sampai sepuluh menit aku sampai di tempat kita berdua janjian dengan kondisi mengenaskan karena sepanjang jalan diketekin abang-abang.

Berbekal petunjuk seadanya dari seorang satpam yang kumisnya lebat naudzubillah, aku pun berlarian menuju tempat yang kamu sebutkan di sebuah pesan pendek beberapa menit sebelumnya tadi. Aroma cologne yang aku pakai asal-asalan sesaat sebelum pergi, sekarang terasa aneh setelah bercampur dengan keringat hasil lari-larian sedari tadi. Hasilnya, aku memiliki bau seperti anak sapi belum mandi yang dipakein cologne.

“keluar lift di lantai empat, langsung belok kanan. Di sana tempatnya. Makanannya enak-enak, Mas.” Begitulah pesan dari satpam berkumis aneh tadi. Dan ternyata benar, itu tempatnya. Lalu demi meyakinkan diri, aku membuka pesan pendek darimu sekali lagi.


Aku di depan resto kebab nih. Kamu udah di mana? – xxxxx (+628560909898)

Setelah membaca pesan pendek itu, aku langsung mencari resto yang kamu maksud. Beruntung, resto kebab hanya ada satu di sana. Dengan perlahan, aku pun mendekat ke deretan-deretan kursi dan meja yang berada di depannya.

Lalu, di situlah kamu berada. Di antara sebuah meja dan kursi dengan sandaran yang cukup tinggi. kamu sedang meminum lemon tea dari gelas plastik berwarna putih, ketika untuk pertama kalinya aku melihat sekaligus menyadari kalau ternyata kamu sangat cantik hari itu. Rambutmu yang dibiarkan tergerai manis, terlihat pas dengan baju yang kamu kenakan. Sweet. Samar-samar lagu You’re buatiful milik James Blunt bermain di kepalaku.

Sedetik kemudian, mendadak perutku mules. Kegugupan yang luar biasa besar menyergap dada dan mulai naik ke kepala. Tanpa pikir panjang, aku langsung berlari masuk ke lorong tempat di mana wastafel tempat cuci tangan berada. Dengan tidak sabaran, aku mencuci muka sambil berharap semoga ketegangan ini bisa lekas menghilang. Larut bersama debu dan kotoran yang sebelumnya menempel di wajahku yang kusam dan jerawatan.

Setelah membasuh wajah dengan handuk kecil yang selalu aku bawa di dalam tas, aku mencoba mematut diri di depan cermin sekali lagi. Baju kotak-kotak yang tadi rapi, kini sudah kusut mungkin karena berdesak-desakkan di dalam Bus Transjakarta. Celana jeans yang tadi belel, jadi makin belel entah karena alasan apa. Hanya rambut semi mohawk gagalku yang masih berdiri dengan gagahnya.

Tapi lepas dari itu, ada ketakutan luar biasa besar yang aku rasakan di dalam dada. Aku takut ada penolakan yang harus aku tangkap, ketika kamu mendapatiku yang mungkin tidak sesuai dengan harapan yang sudah kamu bangun sendiri di dalam kepalamu. Iya, ketakutan-ketakutan seperti ini selalu berhasil membunuh rasa pede pada setiap blind date di seluruh dunia.

Ketika sibuk mengatasi gugup itu, tanpa sengaja aku menangkap bayanganmu di cermin yang ada di hadapanku. Dari sana terlihat jelas kalau kamu sedang makan dengan pelan, sambil sesekali melihat ke sembarang arah. Mungkin kamu sedang mencariku.

Demi memastikan bahwa itu beneran kamu, aku pun mengambil ponsel dan memencet tanda gagang telepon berwarna hijau setelah mencatut namamu dari dalam phonebook. Sambungan telepon masuk, dan dari bayangan kaca di hadapanku, terlihat jelas reaksi kamu yang terburu-buru mengangkat ponsel. Lalu aku menutup teleponnya, sedetik sebelum sempat diangkat oleh kamu yang lalu kebingungan.

Iya. Itu ternyata benar kamu. Dan mulesku makin menjadi-jadi.

Tapi aku harus berani menghampiri. Tidak ada kata mundur dalam kamusku. Mau nggak mau aku harus berani. Aku terus-terusan menyemangati diri sendiri.

Sekali lagi aku mematut diri di depan cermin. Tampilan kusam tadi, kini berganti menjadi tampilan tidak kusam-kusam amat setelah mencuci muka. Sambil melafadzkan doa-doa langit, aku pun bergegas menghampiri kamu dari arah belakang.

“Hai..” Aku nyengir dan kamu kaget.

“Hei..”

Tidak ada tanda-tanda penolakan, dan kita lalu bersalaman.

Dan detik-detik setelahnya, aku langsung jatuh cinta sama cara kamu tersenyum.

* * *

Sekarang adalah satu tahun setelah hari itu, kita sudah menjadi lebih dewasa, lebih mengenal satu sama lain, lebih bisa saling menghargai dan lebih saling menyayangi. Kita sudah tahu kebiasaan masing-masing, kita sudah tahu keinginan masing-masing, kita sudah hapal cara untuk berbaikan ketika salah satu dari kita ngambek seharian. Kita sering tertawa bersama, tidak jarang pula menangis bersama. Tangisan atau tawa yang akhirnya kita habiskan di bawah selimut sampai ketiduran.

Kita sudah semakin pandai sebagai sepasang orang yang saling sayang.

Ada luka, ada tawa, ada sedih, ada kecewa, ada penolakan, ada penyesalan, ada kita. Ada kamu, ada aku, saling mengisi di saat-saat paling terpuruk dalam hidup kita masing-masing. Saling menguatkan, saling menunjukkan rasa sayang. Saling melengkapi, seperti sela-sela jemari yang saling mengisi ketika tangan kita berpegangan.

Sekarang kita semakin dewasa dan terus tumbuh bersama. Aku makin kecanduan keberadaan kamu. Aku pun semakin sering mengalami proses jatuh cinta pada orang yang sama, pada kamu. Aku juga semakin meyadari kalau secara pelan namun pasti, kamu sudah menjadi salah satu bagian paling penting dalam kehidupanku.

Ya. Ini aku, orang yang sama yang selalu berusaha menjadi sebab bahagianya kamu sejak satu tahun belakangan. Orang yang sama yang akan berbagi peluk kapanpun kamu mau. orang yang sama yang akan selalu berada di tempatnya, hanya demi memastikan kamu baik-baik saja. Orang yang sama yang bersama-sama dengan kamu sudah banyak menyusun mimpi ini itu. Orang yang sama yang ingin menghabiskan hidup dengan terus menjadi partner-mu. Orang yang sama yang akan sayangi kamu apa adanya.

Selamat satu tahun hubungan ini, kamu. Dan.. Selamat menempuh hidup yang baru, kita.

I love you, sayang.


fin

P.s : Surat ini ditulis sambil mendengarkan lagu When You Say Nothing At All-nya Ronan Keeting secara berulang-ulang. Lagu kesukaan kamu.


1 comment: