31 January 2012

Jemput Aku Bisa?

Sebuah acara dinner yang begitu sederhana, kau tawarkan padaku. Di antara malam dan suara deru jalanan.


Dear kamu,

Aku tulis surat ini untukmu. Ku harap kau baca. Kelak, surat ini akan menjadi memori tersendiri bagi kita di saat tua nanti. Ketika rambutku mulai memutih, ketika gigiku sudah mulai tanggal dan jarang, ketika kulitku mulai berkeriput, bahkan ketika kita sudah tak sekuat hari ini lagi. Anggap saja, ini dokumentasi perjalanan hidup kita, untuk masa depan.

Hari itu, seperti biasa, kau mengirimkan sebuah pesan singkat. Mendarat tepat setelah aku menyelesaikan sholat asharku.

From: Adjie S.

Assalamualaikum. Sedang sibukkah?

Kau harus tahu, saat aku membaca pesan singkatmu, ada desir yang diam-diam mengalir. Perlahan, rona itu pun kembali hadir. Namun, segera kutepis rasa itu. Ya, rasanya aku tak pantas berharap sesuatu yang lebih kepadamu. Apalagi menyangkut hati.

To: Adjie S.

Walaikumsalam Kang. Alhamdulillah sedang tidak ada kerjaan, ada apa ya?

Begitu balasku padamu, masih ingat? Tenang, kalau kau lupa, sudah kutuliskan pada lembaran putih ini. Goresan memori kita.

Aku segera bebenah segala perangkat belajar yang baru saja kupakai. Di usia yang tidak lagi muda ini, rasanya aku semakin sadar, bahwa pengetahuanku semakin sedikit. Tidak salah bukan, kalau aku terus belajar? Iya, sama seperti kamu, yang begitu rajin membaca buku.

Masih ingatkah kamu? Di perpustakaan itu kita duduk. Berbeda meja, bersebelahan. Hanya dibatasi oleh tumpukan buku, seolah menjadi tembok antara kita. Aku masih ingat raut wajahmu saat berdiri, menatap heran atas sesuatu yang terjadi pada laptopmu. Dan, tak lama, senyum mengembang indah dari wajahmu. Ah ya, kau benar-benar ciptaan-Nya yang paling indah :”)

Tapi segera kutepis rasa yang makin berkecamuk itu. Aku bukan siapa-siapa kamu. Kenal pun tidak. Hingga akhirnya, laptopku pun berakhir sama denganmu…

Di saat itulah, perkenalan pertama kita…

From: Adjie S.

Bisa temani aku makan malam? Sebentar saja. Ada yang harus aku bicarakan..

Is it a date?

Stop! Itu yang tiba-tiba terlintas pada benakku. Ah ya, kupu-kupu dalam perutku ini mulai bekerja. Berterbangan tak tentu arah ke setiap penjuru ruang. Tapi, aku pun harus mempertimbangkan logika disini. Hati tak boleh sepenuhnya bekerja.

Sebab aku bukan siapa-siapa kamu. Rasa ini, hendaknya ku tahan, hingga waktu yang tepat…

To: Adjie S.

Makan malam? Dimana? Sebaiknya aku pamit dulu kepada ibu..

Hey kamu, kamu juga harus tahu betapa ribetnya aku saat itu. Memilih-milih baju, memilih-milih outfit yang pas. Ah, tapi lagi-lagi….. kutepis perasaanku. Aku tak boleh ‘semurah’ ini. Buat apa memakai baju bagus, toh kalau kamu pun ternyata tertarik padaku, bukan dilihat dari bajuku kan? (Hayoooo ngaku ya nanti.. :p)

From: Adjie S.

Di tempat biasa. Kujemput di rumahmu, 15 menit lagi..

Baru saja aku terpikir untuk memintamu menjemputku, namun aku bukan siapa-siapa kamu. Bukankah aku tidak berhak meminta? Isi pikiranmu hari ini, (sepertinya) sama dengan isi pikiranku..

Hey, tapi darimana kau tahu alamat rumahku?

Dan, tak lama, dengan isi kepala yang masih bertanya-tanya, aku membuka pintu. Melihat kau datang ke rumahku. Menjemputku. Pamit kepada ibu. Untuk pertama kalinya…

Eh, kita belum pernah seperti ini bukan?

Kamu pun melaju, bersama dengan mobil yang kamu bawa. Aku hanya bisa duduk di bangku depan. Sembari menyembunyikan desir yang mengalir, kupu-kupu yang berterbangan, rona merah yang semakin terlihat jelas, dan getar gemetar jari-jariku. Ah, aku malu :”>

Kamu membawaku ke sebuah tempat makan sederhana favoritku: sate keroncong. Memesan seporsi sate kambing bumbu kecap, seporsi tongseng, setengah porsi nasi untukku dan satu porsi nasi untukmu, dan dua gelas jeruk hangat. Diiringi alunan musik keroncong era tahun 60-an. Dan kamu pun memulai pembicaraan…

“Arina…”

“Ya?”

“Kita sudah saling mengenal selama sepuluh bulan terakhir bukan? Sedikit sekali ya kita berbincang. Eh, atau bahkan sebenarnya banyak ya? Aku tidak begitu menghitung dengan jelas. Di perpustakaan pun kita tidak selalu bertemu bukan? Tetapi, aku selalu merindukan hadirmu di perpustakaan itu. Memintamu untuk menjelaskan padaku beberapa ilmu yang baru saja kau baca. Mengajarkanku beberapa hal yang ternyata ada yang tidak kudapatkan selama mengecap pendidikan disana. Merindukan setiap senyum yang mengembang di wajahmu. Entahlah. Aku belum pernah merasakan seperti ini sebelumnya.”

Bagiku bukan sepuluh. Bukan sepuluh bulan. Aku sudah mengamatimu sejak lama. Iya, tapi itu aku, bukan kamu. Aku masih menahan semuanya, hingga hari ini, di depanmu.

Batinku bergejolak. Bibirku masih terdiam. Sesekali bergerak, berusaha membalas ucapanmu. Namun, rasanya………. kelu.

“Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Selama sepuluh bulan terakhir merasa uring-uringan. Merasa bahwa….. yah, ini memang sudah waktuku. Usiaku sendiri sudah menginjak kepala dua, pertengahan, menuju kepala tiga.”

Panas. Aku merasa suasana di sekelilingku mulai memanas.

“Maka, kali ini aku…”

Suaramu terhenti. Aku hanya bisa menunduk. Rasa yang kutahan selama ini agaknya sebentar lagi akan meledak. Meledak dan menghancurkan hatiku. Ah ya, kamu harus tahu, saat itu aku merasakan sakit yang teramat sangat. Sakit karena menahan perasaanku sendiri :”(

“…aku ingin kamu menjadi pendamping hidupku, membangun mahligai indah yang selama ini -mungkin- kau idam-idamkan, menerima dan memelihara segala rasa yang -sepertinya- sedang kau tahan sekarang, ya kan? Bisa?”

JEDERRRR!!!

Mungkin seperti itu bunyi yang ada di hatiku. Ah ya, mungkin kau diam-diam mendengarnya ya? Mendengar jeritan hatiku yang menahan segala rasa ini untuk tetap diam hingga waktunya tiba. Aku berpikir keras. Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu saat itu juga. Aku takut ini hanyalah sebuah keterburu-buruan. Aku takut….

“Kamu…… melamar aku?”

“Semacam seperti itu. Hmm, atau, ya memang itu…” jawabmu.

Namun tak kujawab. Tak lama, beragam menu yang dipesan pun sudah datang. Alhamdulillah :”) Kau harus tahu, betapa lega perasaanku saat bapak tua itu membawakan pesanan makanan kita. Bukan apa-apa, Tuhan memang sedang memberikan waktu kepadaku untuk berpikir. Hingga akhirnya kau mengantarkanku sampai depan rumah, belum juga kujawab permintaanmu itu. Hahaha bersabarlah, sehabis aku bebenah diri, sholat istikharah, dan berbicara dengan ibu, akan kukabarkan secepatnya kok kepadamu :p

Hingga detik ini, saat aku menulis surat dokumentasi memori kita, aku masih belum menjawab pertanyaanmu. Kau tahu apa jawabanku? ;)

To: Adjie S.

Assalamualaikum Kang. Besok jemput aku, bisa? Menjemputku, untuk merangkai masa depan bersamamu. Ajak orangtuamu ya, jangan lupa.. :)

Klik! Sent.

Iya, ini jawabanku: jemput aku, bisa?




Senin, 30 Januari 2012
Your future life-partner (insya Allah),


No comments:

Post a Comment