17 January 2012

Cemburu Pertamaku


Dear Kisha,

Sudah beberapa kali aku terbangun lebih dini dari biasanya, seperti saat ini. Entah mengapa akhir-akhir ini aku seringkali mengalami insomnia. Tidur terlalu larut, bangun terlalu dini. Ini membuatku tak nyaman karena aku pasti akan menjadi sangat kelelahan sepanjang hari. Namun kurasa kali ini aku dapat menikmatinya. Aku jadi lebih awal menulis surat untukmu. Mengingatmu, bercengkrama denganmu. Bukankah itu menyenangkan? Ya, tentu saja menyenangkan bagiku.

Aku jadi teringat saat kita berusaha untuk mengejar merekahnya fajar. Kau ingat? Di setiap pertengahan bulan antara tanggal 13 hingga 17, pesisir pantai selalu ramai bahkan sejak sebelum fajar menyingsing. Para nelayan baru datang dari melaut, dan biasanya mereka membawa begitu banyak ikan. Orang-orang datang berbondong demi menyambut; entah untuk menolong bongkar muat, melepas kerinduan, atau  menawar hasil tangkapan. Kehadiran anak-anak pun turut meramaikan. Mereka sabar menunggu kebaikan hati nelayan-nelayan yang sudi membagi ikan-ikan yang telah menjadi bangkai, yang sudah tak lagi segar, yang sudah tak laku di pasar. Beberapa anak yang tak sabar lebih sigap mencarinya di dek-dek perahu, di sela-sela tumpukan perabotan dan peralatan melaut. Tak jarang mereka menemukan satu dua ikan yang tercecer.

Saat kehangatan pagi memeluk bumi, sebagian anak bermain layang-layang di sepanjang pantai. Ada puluhan layangan berwarna-warni yang menghias langit, terbang, melayang kesana kemari. Pemandangan demikian persis seperti lukisan pantai yang menawan. Pada beberapa kesempatan, anak-anak gembira dengan pertandingan layang-layang. Mereka mengadu beragam jenis layang- layang. Ada layang-layang sederhana, layang-layang berekor panjang, atau layang-layang berbentuk aneka rupa. Layang-layang besar biasanya dimiliki oleh orang-orang dewasa yang juga turut serta dalam pertandingan layang-layang itu. Tapi mereka takkan mengganggu layangan kecil, melainkan mencari pesaing-pesaing yang sepadan. Dalam pertandingan layang-layang, mereka saling berusaha memutus tali layang-layang para pesaing mereka. Namun ada juga yang lebih sibuk mengejar layang-layang kalah, yang melayang jatuh ke tanah. Ini pun adalah pertandingan yang tak kalah menarik. Kemenangan adalah milik siapa saja yang berhasil meraih layangan yang jatuh tersebut.

Mulanya aku memang sekedar menceritakannya padamu. Tapi kemudian kau merasa tertarik. Kau paksa aku untuk mengajakmu melihat pertandingan layang-layang sekaligus menyambut nelayan. Rasa antusiasmu pada hal-hal baru selalu besar. Maka kukatakan bahwa kau harus sanggup bangun pukul empat pagi untuk dapat melihat semuanya. Kau cemberut karena tak biasa bangun sedini itu.

Sore harinya, kau tergesa-gesa menemuiku di rumah. Kulihat wajahmu berbinar-binar. Dengan penuh kegembiraan kau katakan bahwa kau siap bangun pagi demi melihat nelayan dan layang-layang. Ibumu telah mengijinkan dan bersedia membantumu bangun pagi. “Apakah kita harus menyiapkan layang-layang?” tanyamu. “tak perlu,” kataku, “aku tak sempat membuat layang-layang. Tapi mungkin kita bisa mendapatkannya disana. Jangan khawatir”.

Benar-benar pada pukul empat dini hari aku menjemputmu. Tapi aku tak punya keberanian untuk memanggil-manggil namamu, apalagi mengetuk pintu rumahmu. Aku takut mengganggu. Bagaimana jika keluargamu marah padaku? Bagaimana jika mereka menilaiku sebagai anak yang tidak sopan karena bertamu terlalu dini? Aku terjebak dilema. Bagaimanapun, aku pun tak ingin mengingkari janji. Aku sudah katakan akan menjemputmu pukul empat pagi. Akhirnya kuputuskan untuk duduk di teras luar rumahmu, menunggumu keluar.

Pukul lima pagi kau baru membuka pintu. Matahari telah semakin tinggi. Kau terkejut melihatku yang sedang duduk sendiri di teras. Kau katakan bahwa kau baru bangun pukul setengah lima pagi. Tapi kau sudah menunggu-nunggu kedatanganku di dalam rumah. Kau sempat berpikir aku mangkir karena tak kujung hadir.

Sebelum berangkat, ibumu berpesan supaya jangan sampai pulang terlalu siang. Kau bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan. Kuiringi lagumu dengan siulan. Jarak pantai tak terlalu jauh, hanya tiga ratus meter dari kompleks rumah kita. Aku berharap semoga kita tak terlalu melewatkan momen-momen indah di pantai.

Seperti yang kuduga, pantai telah ramai. Perahu-perahu nelayan berjajar rapi di pinggiran. Orang-orang dewasa mengkerubungi nelayan-nelayan dengan bakulnya yang penuh ikan. Anak-anak berlarian kesana-kemari dengan benang layang-layang tergenggam dalam jemari. Beberapa bersorak dan bersuit-suitan. Kaki-kaki kecil mereka menggilas pasir putih pantai yang halus, mengejar layang-layang yang melayang jatuh.

Aku mengajakmu ke sisi selatan. Kulihat ada keramaian disana. Menurut desas-desus, beberapa nelayan berhasil menangkap seekor gurita besar. Kata mereka, gurita itu terdampar di antara batu karang. Kau penasaran dan semakin tak sabar. Kau belum pernah melihat rupa gurita selain dari televisi dan gambar-gambar. Kau pun sempat bertanya padaku apa beda antara cumi-cumi dan gurita. Aku bingung harus menjawab apa, karena aku pun tak tahu perbedaannya.

Berdesak-desakan diantara orang-orang dewasa dan anak-anak memang tidak mudah. Tak ada yang mau mengalah. Demikian juga aku, yang berusaha keras merangsek ke depan. Aku menggandengmu supaya kau tak terlalu ketinggalan, supaya kau pun dapat melihat gurita besar hasil tangkapan. Akhirnya kau pun berhasil melihat mahluk laut berlengan banyak itu. Besarnya nyaris serupa bocah lima tahunan. Tentakelnya menjulur-julur, tubuhnya keunguan. Matanya tampak menakutkan. Kau bergidik-gidik jijik. Tapi matamu tak mau lepas dari gurita itu. Dan kau sadari, kau terus merangsek ke depan. Apalagi orang-orang di bagian belakang pun tak henti mendorong-dorong.

Pada saat yang tak dinyana-nyana, salah satu tentakel gurita yang kebetulan sangat dekat denganmu tiba-tiba bereaksi. Mereka pikir gurita itu lemas. Tak ada yang menduga bahwa ia masih dapat menaikkan dan menjulur-julurkan salah satu tentakelnya. Orang-orang terkejut, Beberapa sigap menjauh. Namun kamu terlambat bergerak. Salah satu tentakel itu berhasil membelit kaki kecilmu. Kau sungguh kaget tak terkira, menjerit-jerit histeris. Tangismu memecah pantai, bersaing dengan keriuhan. Untunglah beberapa nelayan segera menolongmu. Dengan cekatan, mereka berusaha melepaskanmu dari cengkraman gurita. Tak berlangsung terlalu lama, akhirnya kau bebas, terlepas. Tak ada luka sedikitpun. Namun setahuku, sejak itu kau tak mau lagi memakan cumi-cumi dan sejenisnya.

Puas melihat gurita, aku mengajakmu bergabung bersama Romi, Johan, dan Santo yang asyik bermain layangan. Masih ada banyak lagi anak-anak lainnya yang aku lupa namanya. Kau masih ingat mereka? Ya, kawan sekelas kita dulu. Mereka itu benar-benar tergila-gila pada layangan. Aku berharap Romi atau Johan mau meminjamkan layangannya sebentar kepadaku.

Sembari menjinjing sandal jepit birumu, kau berlari-lari kecil mengikutiku. Kau pun berharap-harap semoga dapat pula bermain layangan. Seumur hidupmu kau belum pernah bermain layangan. Kukatakan pada Romi bahwa kita ingin bergabung. Kau pun membantu meyakinkan, bahkan setengah merengek demi dipinjami.

Sekilas kulihat kilatan sorot misterius di mata Romi. Ia mengerling ke arahmu, kemudian tersenyum lebar. “Kalau kau ingin meminjam layanganku, kau harus bayar, Ramu!” kata Romi padaku. Suaranya seringan angin. Aku benar-benar terperanjat. Bagaimana mungkin ia bisa sedemikian perhitungan? Padahal ia selalu mencontek padaku tiap kali ulangan dan mengerjakan PR. “Tapi Kisha boleh pinjam layanganku.” terusnya kemudian. Kau kegirangan mendengar pernyataan Romi. Tapi sejenak kau ragu, “Apa aku juga harus bayar?” tanyamu. “Tidak, buat Kisha gratisss!” jawab Romi sambil tersenyum lebar penuh muslihat. Kau terlonjak-lonjak kegirangan, tak lagi peduli padaku.

Sebuah layangan hijau dan merah bergambar naga telah tergenggam di tanganmu. Tapi kemudian kau teringat bahwa kau tak bisa menerbangkan layang-layang. “Tapi bagaimana caranya?” tanyamu pada Romi. Senyum lebar Romi kembali terbit. Kemudian ia meraih layang-layang itu dari tanganmu, meminta anak-anak yang lain untuk membantunya menerbangkan sedangkan ia mengulur-tarik benangnya. Perlahan-lahan layang-layang itu naik ke udara, semakin lama semakin tinggi. Ketika telah berkibar-kibar menghiasi langit biru, Romi memberikan gulungan benang itu padamu. “Pegang ini, cobalah untuk menarik ulur.” Katanya, sok menjadi guru.

Aku tahu saat itu kau teramat senang. Binar matamu berpendar-pendar. Namun hatiku justru digelayuti mendung yang muram. Aku kesal sekali pada Romi yang bersikap jahat padaku. Aku pun kesal denganmu yang dalam sekejab tak hiraukanku. Kau telah disibukkan oleh permainan Romi dan kawan-kawannya, sedang aku hanya duduk terbengong di atas pasir, menghitung jumlah layang-layang yang terbang di langit, yang juga bersaing dengan camar-camar pantai.

“Ramu! Ramu! Kemarilah! Tidakkah kau mau ikut? Kami akan mengejar layang-layang jatuh!” Dari kejauhan kau melambai padaku dan berteriak. Kulihat mukamu masih berseri-seri. Meski masih menyimpan kedongkolan, kuputuskan untuk menghampirimu. Langkahku gontai, tak lagi bersemangat. Aku ragu untuk turut bergabung mengejar layang-layang karena lariku tak terlalu cepat. Apalagi jika dibanding Romi dan kawan-kawan lainnya. Aku tak terlalu suka olah raga meski tak juga membencinya.

“Kalau aku mendapatkan layang-layang kuning yang besar itu, aku akan memberikannya padamu, Kisha.” kata Romi saat bersiap mengejar layang-layang. Kau terpekik gembira. Layang-layang kuning yang sedang bertanding itu memang terlihat bagus sekali. Ekornya panjang, tubuhnya bergambar seekor rajawali. Siapapun yang memilikinya pasti akan merasa bangga, apalagi layang-layang kuning itu termasuk layang-layang tangguh yang sedari tadi tetap bertahan. Sekilas terbersit rasa curiga pada Romi. Sikap baiknya padamu terlalu berlebihan. Pasti ada maksud tersembunyi dibalik senyum lebar anak nelayan itu.

Benar dugaan Romi, akhirnya layang-layang kuning itu kalah. Angin sepoi mempermainnya, terhuyung kesana kemari semakin lama semakin rendah. Anak-anak bersorak-sorai. Mereka mengambil ancang-ancang. Bahkan ada yang telah berlari kesana-kemari tiada tujuan sembari matanya tak lepas pada layang-layang kuning itu. Semua berharap layang-layang itu tak jatuh ke tengah laut. Dan semua pun bergairah untuk segera mendapatkan layang-layang mempesona itu. Romi dan kawan-kawannya telah berlari. Mereka mengikuti gerak layang-layang, berharap layang-layang itu segera menukik ke bawah. Aku pun mencoba tak ketinggalan, bersaing bersama anak-anak itu.

Layang-layang itu jatuh, tersangkut di sebuah batu karang besar yang sedikit menjorok ke tengah. Hanya Romi yang tanpa ragu segera menceburkan diri, berenang menuju bongkahan batu karang besar itu. Tindak-tanduknya benar-benar bak seorang ksatria perkasa yang tak gentar menghadapi segala rintangan.

Layang-layang kuning itu benar-benar telah ada di tangannya. Dengan gaya heroik, Romi mengumbar pekikan kemenangan di atas batu karang. Tangannya yang menggenggam layang-layang teracung-acung. Anak-anak bersorak-sorai. Kemudian ia berenang kembali sembari menenteng layangan kuning itu. Sesampai di bibir pantai, Romi bergegas menghampirimu sembari melambai-lambaikan layangan itu ke arahmu. Kau yang sedang berdiri di pinggir pantai tak sabar menyambutnya. Aku mengerti jika kau ingin segera mengelus-elus layangan indah itu. Dan Romi benar-benar membawakannya untukmu.

Namun entah apa yang ia rencanakan, Romi tak langsung memberikan layang-layang itu kepadamu. Ia justru berlari ke arah salah satu perahu nelayan yang sedang terparkir di pinggiran, berbicara pada salah seorang nelayan kawan ayahnya yang ia kenal. Rupanya ia sedang meminjam sebatang pulpen. Kulihat Romi menuliskan sesuatu di atas kertas layang-layang itu, kemudian bergegas ke arahmu.

Dapat kupastikan kau sedang berdebar-debar. Layang-layang itu seperti bendera kehormatan musuh yang hendak dipersembahkan hulubalangmu. Aku, yang berdiri di sampingmu pun berdebar-debar. Tapi bukan debar yang sama seperti yang kau rasakan, melainkan rasa penasaran atas apa yang akan dilakukan Romi selanjutnya. Debar yang bercampur dengan perasaan kesal, jengkel, dan ingin menjotos anak nelayan berwajah tengil itu. Tak bisa kupungkiri, aku iri pada Romi yang berhasil menangkap layang-layang itu. Seharusnya aku tak boleh iri karena ia memang dikenal sebagai anak yang paling jago menangkap layang-layang. Tapi entah mengapa, kali ini aku kesal sekali padanya.

“Kisha, layang-layang ini kutangkap khusus untukmu. Terimalah. Aku juga mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi aku sudah menuliskannya di layang-layang itu. Bacalah. Aku tunggu jawabannya, ya..” susunan kata Romi, meski menggelikan, namun ia ucapkan dengan penuh kepercayaan diri. Ia nampak tersipu-sipu saat menyerahkan layang-layang itu kepadamu. Tapi senyum lebarnya tetap terkembang. Semua anak penasaran dengan apa yang telah ditulis Romi di atas layang-layang.

Sesegera engkau menerima layang-layang itu dari Romi, kau membaca tulisan kecil-kecil yang buruk dan tak lurus itu. Aku pun sempat mengintipnya. — “Aku suka kamu Kisha. Mau jadi pacarku ya?” – Johan yang juga mengintip tulisan itu membacanya keras-keras. Nyaris semua anak bersorak-sorai, bersuit-suitan. Mereka menggodamu, juga menggoda Romi. Seketika mukamu bersemu merah. Kau sedikit tersipu malu. Romi masih berdiri di hadapanmu dengan senyumnya yang lebar. “Bagaimana?” tanyanya masih dengan kepercayaan diri yang tinggi. Bibirmu mungilmu yang merah itu hanya berucap, “terima kasih, tapi aku hanya ingin menjadi temanmu..” Kemudian kau mengajakku pulang, menjauh dari kerumunan.

Saat itu kira-kira pukul sembilan pagi. Dengan penuh kegembiraan, kau pulang sambil menenteng layangan kuning. Kau katakan bahwa kau hendak memajang layangaan itu di dinding kamarmu. Aku hanya mendengarkan, lebih banyak terdiam.  Aku kehilangan minat untuk membicarakan apapun. Padahal sebelum-sebelumnya tak pernah demikian. Entah mengapa, semangatku seperti tercerabut. Hilang sama sekali. Tapi aku juga takut kemuramanku tertampak jelas di hadapanmu. Sepanjang perjalanan kita tak saling bicara. Kau pun tampaknya tak menyadari perubahanku.

Tahukah kau apa yang terjadi denganku saat itu? Dalam sekejab aku diliputi perasaan muram yang kelam. Entah mengapa, aku tidak suka melihat rentetan kejadian tadi. Romi yang bergaya bak pahlawan, Romi yang mempersembahkan layangan, Romi yang menyatakan cinta sekaligus tawaran… Mengingat itu semua membuatku mual. Bagaimana mungkin anak kelas lima sudah berani main suka-sukaan, cinta-cintaan? Kami memang mengerti makna dari ungkapan tersebut, terutama dari tayangan-tayangan televisi yang kerap memutarkan film-film seperti itu. Tapi seharusnya anak kelas lima belum waktunya beranjak ke arah sana. Dan Romi telah melanggar itu. Dengan enteng, tanpa beban. Kebencianku pada Romi telah terbentuk dan tumbuh membesar cepat sekali. Aku benci ketika ia menyatakan perasaannya padamu. Tiap kali mataku melirik layangan kuning yang berada dalam genggamanmu, rasanya ingin kurobek-robek, kucampakkan, kemudian meludahinya.

Tiga hari berturut-turut aku enggan bermain bersamamu. Aku memilih untuk mengurung diri di kamar dan membentangkan lamunan dengan tatap mata nanar. Beberapa kali kau mencariku, tapi kukatakan pada ibu untuk menyampaikan padamu bahwa aku sedang tak enak badan. Kau pun tak curiga. Aku bersyukur atas kepolosanmu. Mungkin yang kuperlukan adalah menyendiri sejenak, menelaah apa yang sebenarnya terjadi denganku, mengapa aku begitu melankolis, dan mengapa hatiku bergemuruh. Jujur saja, dalam kesendirianku, dalam tiap lamunanku, lamat-lamat aku mulai senantiasa melihat bayangan sosok yang tak bisa kuabaikan dalam benakku. Sosok yang mulai menjelmakan diri sebagai seorang yang memiliki arti penting bagiku. Yang membuatku begitu takut kehilangannya. Yang membuatku selalu ingin dekat dengannya. Yang membuatku merasakan keceriaan, kegembiraan, hingga kenyamanan saat bersamanya. Kutemukan, bahwa sosok itu adalah kamu, Kisha…

Aku mulai paham bahwa aku sedang mengalami rasa cemburu. Aku mulai paham bahwa ternyata aku menyukaimu. Yah, aku menyukaimu lebih dari seorang teman biasa. Tapi bukankah kita masih kelas lima? Jadi aku mencoba memahami bahwa rasa dalam dadaku ini harus kuendapkan terlebih dahulu, kusimpan rapat-rapat hingga tiba waktunya. Setidaknya sugesti ini membuatku merasa jauh lebih baik daripada menggamit kenyataan bahwa sebenarnya aku tak pernah punya nyali, seperti layaknya Romi.

Setelah kerinduanku tak lagi tertahankan, kita kembali bermain bersama. Namun selanjutnya, aku mulai memandangmu sebagai sosok yang berbeda. Sosok yang memiliki arti begitu penting bagiku.

Aku senang sekali kau menolak tawaran Romi. Lebih tepatnya bahagia. Tapi kurasa itu hanyalah karena egoku semata. Mungkin seharusnya aku berterima kasih pada Romi, yang telah membantuku menerjemahkan rasa yang telah kukandung sejak lama. Tanpa Romi, barangkali aku takkan pernah menyadari bahwa sejatinya aku mencintaimu…

Kisha yang kucintai,

Satu hal yang membuatku bersyukur tiada habis adalah, serumit dan seriuh apapun gejolak dan lika-liku hidupku, kau adalah kenangan cinta pertamaku. Cinta suci yang tulus dari seorang bocah yang baru mengenal cinta untuk pertama kalinya. Aku pun bersyukur bahwa kita tetap membiarkan kenangan itu, kebersamaan kita, terbingkai dengan indah.

Baiklah, Kisha. Kusudahi dulu surat kali ini. Ada beberapa hal lain yang harus kuselesaikan hari ini. Kau pun harus istirahat dan menjumpai kembali matahari yang bersinar indah untukmu. Aku akan kembali menjumpaimu esok, jika kau masih tak keberatan. Salam hangatku untuk kedua anakmu, mataharimu, semoga mereka mewarisi gemerlap cahaya ibunya.


Yang selalu merindumu,

A. Ramu


dikirim oleh @bintangberkisah


No comments:

Post a Comment