08 February 2012

Balasan Untuk Mentari

Kedah, 7 Februari 2012

Untuk kamu, Mentari..

yang masih bangunkan kami tiap pagi, tanpa pamrih

Selamat pagi..

00:02. Masih terlalu dini sebetulnya untuk sapaan selamat pagi. Tapi, bukankah jarang sekali orang menyapa dengan: “Selamat dini hari..”?

Ah, tentu saja kamu yang lebih tau. Mungkin saya yang terlalu sok tau. Manusia semuda saya mana tau apa-apa dibandingkan dengan kamu. Kamu yang umur aslimupun, siapa yang pernah tau.

Barangkali kamu juga masih tidur di atas sana. Saya malahan belum beranjak masuk mimpi, padahal beberapa jam lagi kamu datang menjemput dari sela-sela tirai kamar. Daripada buru-buru masuki mimpi, saya lebih memilih duduk di bawah cahaya neon lampu belajar. Lalu menulis surat balasan ini untuk kamu.

Mentari..

Seperti apa rasanya berada diatas sana?

Saat malam begini, apa yang kamu lakukan?

Pertanyaan barusan saya tulis sambil mencari adanya kamu di langit Kedah yang gelap. Dan seperti biasa, cuma cahayamu yang dipinjam bulan yang saya temukan.

Jujur saja, Mentari..

Saya terbiasa mengutuki kamu yang terkadang berlebihan senyumi kami di Kedah. Entah kamu sadar ataupun nggak. Bayangkan saja, saya harus jalan kaki dari kantor untuk sampai di asrama. Jadi, jangan salahkan kebiasaan saya yang lebih mencintai payung dan bayangan pepohon daripada sinar kamu di siang hari. Sinarmu terlalu banyak, terlalu membakar. Terlalu terik dan melelahkan untuk perjalanan pulang saya yang bisa melebihi 45 menit jalan kaki. :p

Mentari..

Telah saya baca suratmu. Suratmu yang lalu membuat saya tertegun.

“Pagi dibilang hangat. Siang dibilang menyengat.
Senja dikata merona. Malam dikata memesona.
Andai saja mereka sadar bahwa itu semua wujudku yg satu, yg hanya saja sedang mereka pandang dari sudut elevasi yg berbeda.
Atau memang seperti itukah hakikat manusia? Gemar melabeli satu objek yg sama sesuka hati, hanya berdasarkan subjektifitas sudut pandang mereka masing-masing yg tentunya berbeda-beda, tanpa mencoba mengandai bagaimana rasanya memandang dari sudut pandang yg lain?”

Kami, manusia, begitu kurang gemar bersyukur. Mungkinkah itu maksudmu?

Kami, manusia, terlalu pandai mengingat yang buruk, lalu lupakan yang baik. Begitukah maksudmu? :)

Mentari..

Mungkin permintaan maaf akan terasa sungguh klise untuk diutarakan. Tapi, jika betul yang kamu rasa bahwa kami begitu lancang adanya, maaf. Barangkali satu kata maaf dari saya gak akan cukup. Maka, bayangkan jika maaf ini dikatakan setiap mulut manusia di bumi.

Hitunglah, Mentari..

Kalaupun belum mencukupi, coba hitung ribuan, mungkin jutaan pinta ibu-ibu rumah tangga yang butuh bantuanmu keringkan pakaian-pakaian setengah basah keluarga mereka saat awan mendung mulai menggantung.

Hitung pula jutaan, mungkin milyaran wanita yang gelisah menunggu kencan pertama dengan kekasihnya di minggu pagi. Sudah barang tentu mereka gak sabar menunggu kamu, yang nantinya bangunkan mereka sambil tersenyum.

Lalu, ini harus masuk hitunganmu juga. Milyaran harapan para manusia bumi yang merindu adanya kamu saat musim penghujan.

Mentari..

Terimakasih untuk siang-siang terang benderang. Terimakasih untuk malam-malam penuh pinjaman sinarmu oleh si bulan. Ajari kami bersabar akan terikmu, ajari kami bersyukur akan jasamu. :)

Dari saya, atas nama kami,

yang kadang lupa betapa setianya kamu di atas sana

*Surat Balasan untuk Surat Cinta @herv_ untuk surat cintanya yang berjudul “Sudut pandang”



Oleh:

No comments:

Post a Comment