09 February 2012

Buat Sang Id

Aku ingin menulis surat cinta, tapi aku tdak memiliki seseorang yang dicintai saat ini, mengingat semuanya yang sudah terjadi. Aku lebih memilih mencintai diriku sendiri saja. Baiklah kalau begitu, aku mau menulis surat cinta untuk diriku sendiri. Ups..bukan. Ego ku mau menulis kepada sang id.



Dear id,

Aku benci bilang “apa, kubilang!” padamu. Tapi suratku ini saja mungkin sudah mengindikasikan demikian. Aku memang sombong. Aku berhak sombong, karena kalau tanpa nasehatku, mau jadi apa kamu sekarang? Terjerumus ke lubang neraka? Aku memang benci bilang ” apa, kubilang!”. Tapi aku suka mengingat-ingat. Mari kita putar ulang waktu dalam reka adegan…

Sepuluh tahun yang lalu..

kamu bahagia menjalin hubungan cinta dengan pemuda ini. mulai seterusnya aku akan memanggil si pemuda dengan J -JERK-dalam suratku ini sampai akhir. Tak usah merengut. Masih untung kau tak kusebut S -STUPID-.



Yah..Siapa yang tidak bahagia? J selalu menampilkan figur yang baik sebagai seorang kekasih. Tidak pernah hari berlalu lewat tanpa ia membuatku luluh dengan pernyataan cintanya baik dalam kata-katanya maupun perlakuannya kepadaku. Ah, anak muda boleh saja berkasih-kasihan, tapi orang tua juga yang akhirnya memutuskan untuk memberikan restu atau tidak bagi hubungan cinta anaknya. Menurutku itu wajar saja. Aku juga setuju pada orangtuaku -orangtua kita- saat mereka menolak memberikan restunya padamu, id, karena si J berbeda keyakinan denganmu. Biar bagaimanapun aku juga menentang pernikahan berbeda iman, tidak sepertimu yang terlalu liberal (atau terlalu terbutakan cinta?). Bagaimana dia mau menjadi imam yang baik untuk keluarga kalau keyakinan saja berbeda? tapi kamu malah mengamuk membabi buta pada orang tuamu. Ah, kamu yang tidak pernah sekalipun berpikir jernih. Memang kamu tidak tau kalau orang tua melarang itu bisa jadi nantinya pernikahan mu kelak akan berakhir buruk kalau-kalau dipaksakan juga? apalagi kalau menyangkut urusan keyakinan.





Delapan tahun yang lalu..

kamu terpaksa menerima kekalahan. Terang saja, aku yang menang. Aku berhasil menyuruh kita yang terfusi untuk menuruti orang tua saja. Putus hubungan dengan si J. Ah, tapi kamu mengamuk di dalam sana, memang aku tidak tau? apalagi begitu tau kalau si J sudah punya kekasih lagi, dan akan segera menikah. Kamu rupanya tidak bisa kunasehati. Aku kan sudah bilang berkali-kali kalau dia tidak pantas ditangisi sebegitu rupa. Ini sudah dua taun berjalan. Tapi kamu masih saja mengamuk.





Empat tahun yang lalu..

Kamu sudah agak reda, setelah empat tahun tidak bertemu si J. Ck, tapi rupanya kamu masih saja penasaran. Kamu membimbing kita yang terfusi untuk menemukan dia. Ah, pintar juga kamu. Ternyata dia tiba-tiba muncul lagi di kehidupan kita. Sudah menikah. Kamu…yang masih saja dipenuhi nafsu tanpa akal sehat, mendekati dia lagi. Kamu tidak mengindahkan aku yang sudah menjerit-jerit “jangan”. Nakal sekali. Kamu tidak pernah memikirkan konsekuensinya. Dia sudah menikah. Fakta bahwa dia mau berselingkuh denganmu, yang adalah mantannya, seharusnya sudah bisa membuktikan pria macam apa dia. Tapi kamu, seperti biasa, tidak pernah mau peduli. Bahkan saat dia mulai memperalatmu, mulai memintamu untuk menggunakan kartu kredit mu untuk membelikannya macam-macam barang, kamu masih saja menurutinya. Asalkan masih bisa bersama dia, katamu. Aku sudah berkali-kali memperingatkan. Kamu cuma menganggapnya angin lalu.





Tiga tahun yang lalu..

Setahun sudah kamu berselingkuh dengan J. Kamu bermasalah dengan kartu kreditmu. Hutangmu sudah bertumpuk, rupanya. Ditambah lagi, istri J tau apa yang sudah diperbuat suaminya denganmu. Si istri, di tengah depresi akutnya, nekad membakar dirinya sendiri. Ya. Peristiwa inilah yang membuatku mengambil langkah tegas dan mulai mengambil alih keadaan. Setelah sempat dibawa ke rumah sakit, istrinya meninggal. Kamu pikir J akan kembali padamu setelah istrinya meninggal? Tidak! dia bahkan tidak tampak menyesal melihat apa yang sudah dia perbuat. Malah, dia kabur, setelah tau bahwa kamu sudah tidak punya apa-apa lagi dan dililit hutang. Liat sekarang? apa yang terjadi kalau kamu mengambil alih keadaan tanpa mendengarkan nasehatku?





Sekarang..

Kita yang terfusi sudah bisa berpikir jernih. Dia tidak membiarkan lagi kamu berkuasa tanpa aku. Taukah kamu, sesungguhnya aku mencintai diriku sendiri, yang adalah kita satu kesatuan, terfusi. Aku tidak membiarkan lagi diri kita mencintai orang lain lagi. Siapapun. Aku hanya akan membiarkan kita jatuh cinta dengan diri kita sendiri, dan Tuhan. Untuk satu hal ini, ikuti saja kataku. Ok?

Tertanda

Ego

————————————————————————————————————————————————————————

Cat. Id, Ego dan Superego adalah tiga elemen unsur kepribadian dalam teori psikoanalisis nya Sigmund Freud. Id itu sumber perilaku naluriah dan primitif. Ego itu penyeimbang id, yang memfilter segala keingingan id berdasarkan realita. Superego itu tempat semua aspek moral ditampung, yang menentukan benar dan salah.

oleh: @sneaking_jeans
diambil dari: http://menyingsingfajar.wordpress.com

No comments:

Post a Comment