25 January 2012

Variatio 11. a 2 Clav.


Untuk Amboina. Bukan kota, tapi rindu yang kadang menjamu nestapa.


Ikan bersisik emas di dalam kurungan capai beterbangan, angin malas, dan serat – serat asa telah tertidur pulas. Aku yang dengan penuh khusyuk mengingat – ingat dirimu dalam kotak beton, jadi nyaris tabir tangis, bersama remang lampu pendar menggantung hilang cadar, miris. Menebus belaian tiada sering, Aku berharap bahwa kata – kata bisa membasuh lebih baik dari ingatan yang kering.

Pada suatu masa, ada percaya: ingatan akan lebih tajam dari sentuhan. Seperti cengkram laut tangan – tangan buih yang kau kirimkan. Berdesakan sekumpulan pasir yang tak rundung patuh dijinakkan. Apa itu cinta jika tak cukup untuk diterbangkan  melewati nyiur bersama tajam karang bebatuan? Jangan sebut itu cinta jika asin garam laut tak terasa. Dan manusia – manusia kecil menelusuk masuk, mencabik kulit laut tiada binasa. Tanah hidup, disambut dua manusia. Lelaki dan perempuan melahap laut, sampai langit redup tiada masa tertaut. Di muka ari lautan, di jiwa sepi tenang bebatuan hutan. Dalam jiwa – jiwa pohon dan karang – karang terbenam kilauan.  Cinta mengalir dari tepi nyiur berdaun pala, sampai kekar pohon terlelap lama di rimba raya. Kerinduan merasuk, cinta erat jadi susuk.

Manusia – manusia pernah mati sembilan - sembilan. Beterbangan jiwa – jiwa, mengandung lahir baru singkat kurun, lebih kuat dari tetua dan darah merah marun, mengingat seikat turun temurun. Di laut ku tenggak sopi mayang, dahan cengkeh mengulum sirih – pinang. Di rumah bermandi sayang, di jalanan saudara tiada hilang. Jiwa bertepuk iring dentum tifa, cakalele lalu menyatu dua khalifa. Beda tiada, Kau mati, Aku pula.

Rumah adalah sauh, Kau bisa berlari sampai jauh. Tapi rindu memburu, membikin haru jadi biru, pilu dicacah sembilu.





oleh @MungareMike

diambil dari http://mungaremike.tumblr.com/

No comments:

Post a Comment