30 January 2012

inspirasi yang terus mengalir

Untuk Bapak
Di rumah

Assalamualaikum Pak.
Pagi ini saya sarapan bersama kawan saya Pak, Imam Arifin tetangga belakang kampung kita yang kebetulan sedang tugas di Denpasar. Ingat kan? Anaknya pak Bariot desa Ngepungrojo, petani pekerja keras yang cukup sukses untuk ukuran orang kampung seperti kita.

Pagi yang begitu indah Pak, jika kami nikmati seperti ini. Secangkir kopi, segelas susu, sepiring omelet dan beberapa buah roti menemani sarapan kami. Kami sarapan di sebuah restoran hotel Diwangkara yang tepat menghadap pantai Sanur. Syahdu banget kan Pak? Sarapan pagi sambil menikmati suasana pagi di pantai. Di sekitar kami orang-orang bule.

Kalau Bapak masih ingat, pantai Sanur itu pantai yang pernah kita nikmati dulu bersama ibuk saat menjengukku si sini. Waktu itu kita berangkat ke Sanur sehabis subuh untuk melihat matahari terbit. Masih ingat kan? Waktu itu kita cuma bisa menikmati indahnya pantai dengan duduk-duduk di gazebo di pinggir pantai sambil menikmati jagung bakar. Sangat sederhana, tapi itu pun sepertinya bapak merasa senang. Mungkin karena merasakan suasana yang jarang bapak temui di kampung. Di kampung, setelah sarapan di warung, bapak tidak bisa berlama-lama bersantai karena harus berangkat kerja. Tapi di sini memang suasana liburan. Orang datang ke sini untuk berlibur dan memang tujuannya menikmati liburan.

Tenang saja Pak, sarapan di restoran ini gratis. Itu karena Imam adalah salah satu tamu di hotel ini. Semalam saya memang diundang menginap di hotelnya. Disuruh nemenin dia yang lagi jenuh mungkin. Cari temen ngobrol karena teman-teman serombongannya cewe-cewe semua. Saya iyakan saja, itung-itung menikmati fasilitas hotelnya yang “lumayan” daripada kosan. Hehe…
Ngga perlu saya ceritakan lebih detil tentang kemewahan ini Pak, nanti malah jadi ngga enak. Ini sekedar fasilitas dari negara.

“Melihat fasilitas yang serba enak begini tiba-tiba kami teringat rumah”, awal mula Imam mengawali pembicaraan. Benar saja, suasana yang begitu kontras dengan yang bapak alami di rumah kan? Terkadang kami berfikir, betapa kenikmatan-kenikmatan seperti ini pun seharusnya bisa kita rasakan bersama. Ah, mungkin suatu saat. Atau mungkin bapak malah tidak berkenan jika tahu nominal yang harus dikeluarkan jika ingin menikmati fasilitas seperti ini. Dua ekor kambing untuk tarif per malamnya. Haduh,, uang segitu mending digunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat daripada sekedar liburan kan?

Begitulah Pak, hingga pembicaraan kami berlanjut tentang jasa-jasa kalian para orangtua, tentang keberhasilan mendidik anak-anak hingga menjadi kami saat ini. Terus terang Pak, terkadang kami iri dengan kalian. Memasuki usia-usia dewasa seperti ini, kadang timbul sedikit keraguan dalam diri kami tentang masa depan. Mungkin sebentar lagi kami akan menikah, lalu punya anak. Akankah kelak kami mampu membangun rumahtangga seharmonis kalian. Akankah kami mampu mendidik anak-anak kami seperti kalian mendidik kami. Kami ingin melihat anak-anak kami kelak bisa lebih berhasil dari kami orangtuanya.

Kami saling bertukar cerita. Atau lebih tepatnya menceritakan kekaguman pada orang tua masing-masing. Tentu saja saya mengagumimu Pak. Satu hal yang begitu lekat dibenak saya tentangmu adalah pandanganmu yang visioner. Jauh di luar fikiran-fikiran sederhana dari pemuda seusiamu, di sekitarmu waktu itu. Tentang antusiasme bapak dalam memandang pendidikan. Saya tahu, bapak cuma lulusan SD. Setidaknya itu legalitas formal yang tertuang di ijasah pendidikan. Meski pada kenyataannya bapak bersekolah di madrasah tanpa mendapat ijasah. Karena beban ekonomi keluarga mbah, pendidikan menjadi masalah yang besar untuk diwujudkan. Saya tahu itu. Saya juga tahu tentang kekecewaan bapak dengan keadaan ini. Tapi saya selalu berterima kasih karena kekecewaan itu melecut semangat bapak untuk mendidik kami mempunyai pendidikan yang tinggi sebisa bapak mampu. S2, itu cita-cita minimal yang pernah bapak utarakan. Meski sampai saat ini saya baru mengenyam D3, tapi tekat itu selalu bapak tanamkan pada kami anak-anakmu.

Itu visi yang jarang ditemui orang tua-orang tua di kampung kita bukan? Kebanyakan orang tua-orang tua di kampung kita masih menomorduakan pendidikan. Ekonomi masih menjadi prioritas pertama. Lebih tepatnya sekedar menyambung hidup. Dan memang seperti itulah yang terjadi di kampung kita Pak. Teman-teman seusiaku bahkan sama sekali tidak ada yang melanjutkan kuliah. Bapak tahu itu. Saya patut berbangga dilahirkan dalam keluarga yang bapak bangun.

Kebanyakan orang-orang kampung mungkin memandang sebelah mata tentang visi revolusionermu ini. Bahkan hingga mereka melihat kenyataan yang ada saat ini, ketika kami, dua orang anakmu, dua-duanya mampu melanjutkan kuliah sekalipun, itu tak lepas dari peran ibu bukan bapak. Mungkin mereka belum tahu. Mereka hanya memandang bapak sekedar seorang petani dan tukang kuli bangunan yang menggantungkan nasibnya pada orang lain yang membutuhkan tenaga bapak. Mereka mungkin hanya melihat ibu yang kebetulan berasal dari keluarga cukup berada. Seorang PNS pula. Tapi mereka tidak tahu, bahwa keluarga yang bapak bangun sekarang ini adalah realisasi dari langkah visioner yang bapak buat.

Saya tahu Pak, ketika bapak memantabkan diri untuk melamar ibuk waktu itu,bapak tidak sekedar menuruti hawa nafsu untuk menikah. Tidak sekedar melampiaskan cinta yang bersemi dalam hari. Tapi ada langkah besar yang ingin bapak capai. Ini yang sering para pemuda lupakan ketika memutuskan diri untuk menikah. Saya ingat perbedaan usia diantara kalian. Bapak, yang notabene teman sepermainan lik Tofa, adik kedua ibuk setelah lik Um, mengutarakan niat seberani itu.

Ada sedikit kekaguman sekaligus pertanyaan. Kenapa Ibu? Bukan lik Um yang sedikit sebaya atau lik Amin yang seusia adik bapak? Suatu keputusan yang menurutku tidak lazim, tapi luar biasa. Tidak semata-mata masalah umur, melainkan ada indikator lain yang sangat penting untuk pertimbangan. Tapi masalah tidak sampai di situ kan? Status sosial pun sepertinya juga mempermasalahkan. Ibuk yang berasal dari keluarga cukup berada pada saat itu, seorang pegawai negeri, tentu menjadi sebuat standar yang sangat tinggi untuk ukuran seorang pemuda petani dan tukang bangunan seperti bapak, hanya berijazah SD, dan dari keluarga yang sangat sederhana pula. Bapak pernah ungkapkan ingin sekali mendapatkan istri seorang pegawai negeri. Itu berarti hal yang ada pada diri ibuk. Lalu bapak berusaha keras untuk mendapatkannya. Iya, berusaha keras, karena waktu itu katanya ibuk juga sudah memiliki pacar.

Saya selalu memandang langkah mempersunting ibuk adalah langkah paling riil dan paling vital untuk mewujudkan pandangan visioner bapak sebelumnya. Membangun keluarga yang harmonis lalu melahirkan anak-anak seperti kami. Kami sadar, dari perjalannmu itu, hingga keberhasilanmu membangun keluarga saat ini, jauh sudah dimulai sebelum kami lahir, dengan strategi yang jelas, ikhtiar yang kuat, dan do’a harapan yang tak pernah putus.

Saya ingat Pak, ketika zaman sahabat Umar ibn Khattab menceritakan tentang durhakanya seorang ayah kepada anaknya. Ada tiga hak yang wajib diberikan seorang ayah kepada anaknya, pertama kewajiban memilih calon ibu yang pantas untuk anak-anaknya, memberikan nama yang baik, lalu mengajarkannya al qur’an. Ketiga hak anak itu telah engkau berikan kepada kami Pak, kami selalu berterimakasih untuk hal itu. Kami bangga dengan ibu yang telah bapak pilih, ibu yang luar biasa yang begitu kami cintai, kami senang dengan nama indah yang bapak berikan, malah terkadang saya merasa nama ini terlalu indah jika harus saya sandang, dan kami juga terimakasih telah mengajarkan al Qur’an meski kami sadar baru memahaminya sangat sedikit. Sangat sedikit. Tapi itu bukan salah bapak.

Karena hal itu pula, terus terang Pak, saya sedikit iri dengan apa yang telah bapak lakukan. Kami adalah keberhasilan bapak, karena sebenarnya kami belum melakukan apa-apa. Entah kami akan mampu membangun keluarga macam apa di masa depan kelak. Ada sedikit kekhawatiran karena kami, hingga saat ini pun, masih terbelenggu dengan hal-hal remeh-temeh. Kami masih seperti pemuda-pemuda lainnya, sekedar mengalir menjalani hidup, tanpa visi yang jelas. Kami perlu menata kembali visi-visi hidup kami,memulai dengan langkah-langkah konkret. Kami menyadari keberhasilan di masa depan dimulai jauh hari sebelum keberhasilan itu didapatkan. Itu yang bapak contohkan.

Terimakasih yang tanpa batas.

Dari anakmu
Saiful



No comments:

Post a Comment