30 January 2012

Untukmu, Malaikat Hujan

Menuju hatimu, 29 Januari 2012

Untukmu, sebab dari lamunan dan diamku

Aku memutar otak, berharap wajahmu kembali berotasi dalam jutaan sel yang berada otakku. Aku berharap bayangmu kembali mengalir menuju otak kanan, lalu bermuara di otak kiri sehingga aku bisa menghasilkan tulisan. Tahukah kamu kalau aku membutuhkan waktu beberapa menit untuk sekedar mematung dan terdiam? Hanya untuk mengingatmu kembali, hanya untuk mereka-reka kata-kata yang pasti, agar bisa menggambarkanmu dalam persepsi.

Tak ada yang bisa memastikan bahwa pada akhirnya takdir mengecoh kita. Takdir meluruhkan asa dan harap, menjebak kita pada suatu lini masa yang biasa kita sebut pertemuan. Siapa yang bisa menyangka? Aku yang iseng menuruni tangga kala itu tiba-tiba saja bertemu pandang denganmu. Ada detik saat kita saling mengunci tatapan. Detik itu juga, perhatianku kau renggut habis. Daya tarikmu layaknya gaya sentripetal, menembus batas yang tak terjamah logika. Sepotong sore yang begitu sempurna dan desah hujan yang melemah benar-benar mengundang resah. Dalam sosokmu, kupendam rasa penasaran dan tawa. Pada segalamu, tak kutakar lagi.

Aku yang masih mematung, kau tinggalkan begitu saja. Kamu melanjutkan langkahmu menuju lantai dua, tanpa pikir panjang, aku menerobos langkahmu, menuju kelasku. Langkahku berhamburan tak karuan, kusandarkan rasa terkejutku pada bangku, sementara wajahmu masih berputar-putar dalam anganku. Kelas yang riuh tak mampu menggugatku untuk melupakan beningnya matamu. Kau mungkin memang tak merasakan hal yang sama denganku, kita jelas berbeda, karena pertemuan pertama kita tak diselipkan kata-kata, cukup dengan tatapan mata.

Tahu-tahu, kamu memasuki kelasku, dengan rambut yang lepek dan baju yang agak basah. Tapi tetap saja, ketampananmu tak pudar oleh luruhnya benang-benang hujan yang mencoba untuk menciumi tubuhmu. Mataku terbelalak, mulutku merancau diam-diam, jadi kamu guru bahasa Indonesiaku yang baru? Semuda kamu? Pria kelahiran tahun 1991? Teman-teman lesku menatapmu dengan tatapan "gusar", karena bagi mereka, kamulah pria paling tampan yang mengajar pelajaran bahasa Indonesia. Dan... hanya pada saat jam pelajaranmulah mereka bisa duduk diam dan memerhatikan. Memerhatikan kerlingan matamu, gerak bibirmu, dan bisikan malaikat yang berasal dari pita suaramu. Berlebihankah? Ah... bukankah setiap orang yang sedang jatuh cinta selalu melebih-lebihkan perasaannya?

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tibalah masa-masa Ujian Nasional, aku menyimpan rasa khawatir pada setiap mata pelajaran yang akan diujikan nanti. Saat itu, aku kelas 9 SMP, dan setiap kali menatap senyummu di tempat les kala itu, rasa khawatir yang membuncah tiba-tiba saja menyerah lemah. Andai saja waktu tak menyekap tatap, kita tentu bisa bertemu setiap hari. Sayangnya, jam pelajaranmu hanya satu kali dalam seminggu. Apakah kau tahu usahaku untuk memperoleh quality time bersamamu? Dengan terus bertanya tentang Ejaan yang Disempurnakan, dengan terus membuatmu bingung pada pertanyaan-tanyaanku. Bagiku, wajahmu yang sedang bingung sekalipun tetaplah wajah yang ingin terus kutatap. Jangan salahkan aku, jika geliat kangenku merambah bayang-bayangmu. Menggelitik sadarku dari bias wajahmu. Andai pertemuan kita bisa terus-menerus terjadi. Sayangnya, hal itu hanyalah mimpi yang menyentuh bibir pagi.

Dan... Saat ini, sudah lebih dari 3 tahun aku tak merasakan bias matamu. Sudah seratus sembilan puluh lima hari, aku tak melihat sosokmu. Dimana sosokmu saat ini? Dimana rumahmu saat ini? Apakah kau masih mengingat aku? Si bocah ingusan yang diam-diam memerhatikanmu. Aku tak pernah lupa caramu menulis dan menghapus papan tulis. Aku tak pernah lupa caramu membolak-balik buku. Aku selalu ingat cara berpakaianmu. Aku selalu ingat suaramu yang menggelitik lembut gendang telingamu. Bagaimanapun itu, semua hal tentangmu tak pernah kecil dimataku.

Mungkinkah kamu membaca surat ini? Sepotong surat tak logis dari seseorang yang sering membiarkan bayangmu tetap berotasi diotaknya. Sejumput kata-kata yang bercerita tentangmu. Tahukah kamu bahwa jemariku juga merindukan kamu sebagai seseorang yang ingin sekali ditulis olehnya?

Aku hanya ingin melihat senyummu yang jujur seperti waktu itu. Aku hanya ingin kembali merasakan bening matamu menggerogoti indra pengelihatanku. Inginku hanya satu: menjalani apa yang kuyakini sebagai kata hati. Berjalan lurus ke rumah hatimu, dan setia menjaga satu rindu atas namamu, tak lebih.

Semoga kita bertemu lagi, Meidy. Dan semoga kamu tetaplah pria menakjubkan yang rela basah oleh hujan senja, kala itu kau begitu memesona.

dari muridmu
yang lebih senang menatap senyummu
daripada menatap papan tulis bisu


No comments:

Post a Comment