30 January 2012

kepada tuan sapardi djoko damono

Yth. Tuan Sapardi Djoko Damono,



Januari tahun ini hujan rajin sekali mengunjungi Makassar. Kemarin pagi dia tidak datang dan saya tiba-tiba mengingatmu—dan salah satu puisimu, Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari. Saya sungguh menyukai puisi itu. Setiap kali melihat bayangan sendiri, saya mengingat dan mengucapkan puisi itu dalam hati.

Saya nyaris tidak menghafal satu pun puisi yang pernah saya tulis, tetapi puisi Tuan itu saya hafal di luar kepala. Jika mengabaikan bentuk asli puisi itu dan menjadikannya paragraf, maka beginilah puisi itu:

Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang. Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan. Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang. Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.

Sebuah puisi yang nampak sederhana dan singkat. Tetapi, sejak pertama kali membaca puisi itu, saya jatuh cinta. Saya masih kecil waktu itu, Tuan. Puisi itu pula yang membuat saya ingin sekali bertemu Tuan. Anehnya, setiap kali kita bertemu, saya selalu lupa mengatakan soal puisi itu.

Saya ingat pertemuan pertama kita, di depan toko buku di sebuah mall yang amat mewah di Jakarta. Saya lihat pengumuman di internet tentang sebuah peluncuran buku dan Tuan yang menjadi pembicara di acara itu. Saya buta dan membenci Jakarta, Tuan. Sore itu, saya memberanikan diri ke acara itu. Saya ingin bertemu dengan Tuan.

Sesaat setelah acara selesai, saya membeli buku kumpulan puisi Tuan yang baru terbit. Kolam. Bukan cuma karena saya memang sangat mendambakannya, tapi karena saya berharap buku itu bisa jadi alasan saya berbicara dengan Tuan. Sungguh, saya gugup waktu itu.

Saya berdiri di sudut, melihat Tuan melayani orang-orang yang meminta tanda tangan dan foto bareng. Saya tidak membawa kamera waktu itu. Saya tidak punya, tepatnya. Saya menunggu hingga tersisa satu orang yang meminta tanda tangan, kemudian saya mendekat. Saya ingat, tangan saya gemetar ketika menyodorkan buku Kolam untuk ditandatangani. Tuan bertanya sambil mendekatkan kuping ke wajah saya. “Kepada siapa?”

Ketika saya menyebut nama saya, Tuan seperti kaget dan berbalik memeluk saya. Saya lebih kaget dan bertambah gugup. Tuan bilang pernah membaca sejumlah puisi saya di koran dan menyukainya. Sore itu Tuan membuat waktu dan mengajak saya bicara tentang puisi, dan mengajak saya menginap di rumah Tuan. Pertemuan pertama dan sore yang indah, Tuan.

Pertemuan kedua kita terjadi di Kebun Raya Bogor. Saya dan Tuan sama-sama diundang membacakan puisi di acara Utan Kayu International Literary Biennalle 2009. Acara pembukaan acara sastra itu diadakan di Kebun Raya Bogor. Saya dan Tuan juga seorang penyair Korea masuk dalam kelompok yang sama. Kita membaca puisi masing-masing direkam dengan dua kamera video. Saya dapat giliran yang terakhir. Tuan yang pertama.


Malam-malam berikutnya, bersama beberapa penyair dari sejumlah negara lain, kita sering bertemu di Salihara. Saya dapat giliran membaca puisi pada malam ketiga, Tuan pada malam terakhir. Saya gugup membaca puisi di depan Tuan.

Oh, iya, saya ingat salah satu puisi yang Tuan baca adalah yang saya ceritakan di awal surat ini. Saya sudah membawa kamera saat itu. Saya pinjam kamera teman saya. Saya punya beberapa gambar Tuan.

Setelah peristiwa itu, kita beberapa kali bertemu. Terakhir kali, kita bertemu Juni tahun lalu di acara Makassar International Writers Festival 2011. Saya senang karena bisa berbincang lebih banyak hal kala itu. Saya jatuh cinta pada kesederhanaan dan keakraban Tuan bahkan kepada orang-orang yang baru menulis puisi seperti saya. Terima kasih, Tuan.

Saya pernah menulis sebuah kwatrin yang terinspirasi dari puisi Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari milik Tuan. Sebagai penutup, saya ingin menuliskan kwatrin itu di sini:

kwatrin tentang bayang-bayang
seorang pria tua pada suatu petang

dia berjalan bersama bayang-bayang
di suatu petang sambil bertanya ragu:
aku yang membuat bayangan panjang
atau bayangan yang memendekkan aku?

Itu satu puisi-empat-baris yang buruk. Maafkan saya, Tuan.

Terima kasih telah dan terus menulis banyak puisi untuk dunia dan kehidupan. Saya banyak belajar dari puisi-puisi Tuan. Jaga kesehatan, Tuan.

Hormat saya,

Aan


No comments:

Post a Comment